Senin, 02 Mei 2011

Selayang Pandang "Ijtihad"

A. PENDADAHULUAN
Ijtihad menurut bahasa diambil dari asal kata ja, ha, da, yang artinya mengerahkan kekuatan (thaqah), atau menangung beban (masyaqqah). Shigat Ijtihad menggunakan shigat iftia’al yang menunjukan mubalaghah fi al fi’li (kesungguhan dalam berbuat sesuatu).[1]
Ijtihad dalam bahasa juga bisa di artikan “mengerahakan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu apapun”. Dan hal ini tidak di maksudkan pada selain suatu perbuatan yang tidak mengandung suatu beban berat dan membutuhkan kemampuan/ tenaga yang serius. Seperti ucapan mengerahkan kemampuan untuk membawa batu yang besar, bukan mengerahkan kemampuan untuk membawa biji sawi, atom yang kecil.[2]
Sedangkan menurut istilah mengambil statement dari Yusuf Qaradhawi yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat dari As Syaukani dalam irsyadul fuhuul yang juga sependapat dengan imam Zarkasyi dalam Bahrul Muhit yang mengatakan bahwa Ijtihad menurut istilah adalah “mengerahakan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali (praktis) dengan jalan beristimbat/ menggali hukum”.[3]
Lain lagi dengan mufti mesir Syekh Ali Jum’ah yang mengatakan bahwa sebagian besar ulama ushul sepakat dengan pendapat imam Asnawi bahkan dari kalangan Hanafiah-pun (Ibnu Hamam, Ibnu Nujaim, Ibnu Abdu Syakur) mendefinisikan ijtihad dengan “mengerahkanya kekuatan/ thaqah seorang faqih (ahli fiqih) di dalam menghasilkan hukum syara’a yang bersifat dzanni”[4]    
Berdasarkan pengertian yang terakhir (definisi yang dikutip oleh Syekh Ali Jum’ah), maka terdapat dua rukun ijtihad yaitu:
1. Al Mujtahid (orang yang berijtihad).
2. Al Mujtahad fiihi (sesuatu yang di ijtihadi).

B. HUKUM IJTIHAD
Hukum Ijtihad adalah fardhu kifayah (kewajiban yang bersifat kolektif) hal ini seperti yang di tuliskan oleh Imam As Syaukani dalam kitabnya Al Badru at Thali’ fiiman ba’da al Qarni as Sa’bi. Beliau juga mengatakan “Al Mu’asharah hijab” bahwa poblemantika  masa depan adalah suatu penghalang. Atau Imam Sya’roni yang mengatakan dengan ungkapan lain “Al Hadirah hijab”.[5]
Dua hal yang menyebabkan mengapa Ijtihad menjadi suatu hal yang sangat penting adalah:
1). Karena adanya nash yang dzanni, dari sinilah nampak suatu hikmah Allah yang telah menjadikan masalah-masalah furu’iyah yang memberikan suatu ruang khusus kepada hambanya untuk berijtihad (berfikir untuk menggali hukum Allah yang belum di jelaskan secara rinci). Masa kerasulan Nabi Muhammad saw. sudah selesai sementara syari’at Allah harus terus berlangsung sampai hari kiamat dan permasalahan terus berkembang, permasalahan yang ada pada masa rasul dan sahabat tentu tidak sama dengan permasalahan yang ada saat sekarang dan masa yang akan datang, sementara wahyu Allah tidak akan turun lagi maka dari itu keberadaan ijtihad sangat diperlukan untuk menyelesaikan problemantika yang ada.
2). Karena nash yang ada sangat terbatas, akan tetapi peristiwa, kejadian dan permasalahan tidak terbatas dan terus berkembang. Hal ini senada dengan apa yang di sampaikan oleh Imam Haramain:القياس مناط الاجتهاد....وهو المفضى الى الاستقلال بتفاصيل احكام الوقائع...فان نصوص الكتاب والسنة محصورة مقصورة ومواقع الاجماع معدودة ماءثورة....ونحن نعلم قطعا ان الوقا ئع التى يتوقع وقوعهالا نهاية لها.
Artinya: “Al Qiyas merupakan manath al ijtihad (tempat bergantungnya ijtihad) ia adalah yang menjadi penguarai permasalahan hukum yang terjadi…karena nash Al Kitab dan As Sunah terbatas dan permasalahan ijmak yang disepakati oleh para ulama (konsesus ulama) juga sangat terbatas dan saya tau pasti bahwa peristiwa dan problemantika yang terjadi tidak terbatas”.[6]
C. RUANG IJTIHAD
Ulama usul fiqh mengistilahkan ruang yang diperbolehkan untuk dijtihadi dengan sebutan al mujtahad fiih, sebagaimana komentar Imam Ar Razi” yaitu setiap hukum syar’i yang tidak ada dalil qath’i[7] maka atas dasar ini setiap permasalahan yang sudah di jelaskan didalam dalil qath’i (pasti) secara otomatis tidak ada ijtihad di dalamnya. Maka dari itu para ulama usul membuat kaidah yang berbunyiلا مساغ للاجتهاد في موردالنص[8] tidak di perbolehkan berijtihad di dalam permasalahan yang sudah ada nash (yang qath’i).
Sebagian Ulama berpendapat dalil dzanni yang di mungkinkan untuk di ijtihadi ada 4, yaitu:
1. Nash yang qath’i as subuth dzanni ad dilalah, seperti iddahnya wanita yang dithalaq, yang terdapat dalam ayat:
والمطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء
Para fuqaha berbeda pendapat dalam menafsirkan makna quru’, sebagian menafsirkan quru’ dengan arti “haid” dan sebagian lagi mengartikan “tuhr/ suci”. Dalam ayat ini nash-nya qath’i karena ini adalah ayat Qur’an akan tetapi dilalahnya yang menunjukan makna iddah adalah dzanni.
2. Nash yang dzanni atssubut qath’i addilalah, seperti Hadits Nabi saw. “في اربع وعشرون من الابل فما دونها من الغنم من كل خمس شاة "[9] Mujtahin menganalisis dari sanad yang terdapat dalam hadits ini, apabila memang sanadnya terbukti hasan atau shahih maka mereka berpendapat bahwa pada setiap 5 ekor unta wajib dikeluarkan zakat berupa satu ekor kambing.
3. Nash dzanni atssubut dzanni addilalah, seperti dalam Hadits Nabi saw.”لا صلاة لمن لم يقرء بفاتحة الكتاب" nash yang terdapat dalam hadits ini adalah dzanni karena tidak mutawatir, sedangkan jika dipandang dari segi dilalahnya terdapat dua makna: pertama, shalat yang tidak ada bacaan fatihahnya tidak sempurna. Dan yang kedua, shalat yang tidak ada bacaan fatihahnya tidak sah.
4. Ijtihadnya faqih dalam permasalahan yang tidak ada nash dan tidak ada ijma’ yang menjelaskan dalam permasalahan tersebut. yaitu dengan menganalisa dari dalil yang lain seperti qiyas, istihsan, dan juga istishab, seperti berijtihad untuk mengetahui arah kiblat dengan suatu tanda khusus yang bisa dijadikan sebagai petunjuk, firman Allah swt dalam surat An Nahl ayat 16:

;M»yJ»n=tæur 4 ÄNôf¨Z9$$Î/ur öNèd tbrßtGöku
Artinya: dan (Dia mencipatakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang mereka mendapat petunjuk. QS (An Nahl, 16)                                                  
Ayat di atas menerangkan bahwa: boleh berijtihad dalam menentukan arah qiblat dengan menggunakan suatu tanda yang bisa menunjukan arah tersebut, seperti menggunakan arah mata angin dan juga tempat keluarnya bintang.[1]

D. SYARAT-SYARAT MUJTAHID
Dalam otoritas berijtihad tidak semua orang yang bisa melakukanya akan tetapi ada beberapa syarat yang di haruskan terpenuhi oleh mujtahid baik persyaratan yang disepakati (al muttafaq alaih) ataupun syarat yang diperselisihkan (al mukhtalaf fiih).



Syarat  yang di sepakati (al muttafaq alaih):
1. Mengetahui tentang Al Qur’an
Al Qur’an merupakan sumber utama dalam islam, seperti yang disampaikan As Syatibi bahwa Al Qur’an “memuat hukum syara’, merupakan pilar agama, menjadi sumber hikmah, sebagai tanda risalah, serta menjadi penerang mata hati seorang muslim”[2]
2. Mengetahui Sunnah Rasul
Yaitu sesuatu yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun ketetapan. Dan dalam hal ini tidak di syaratkan mengetahui apa saja yang terdapat dalam sunah rasul akan tetapi yang disyaratkan adalah mengetahui hadits yang berkaitan dengan hukum. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat berapakah jumlah hadits yang harus di ketahui oleh para mujtahid? As Syaukani mensyaratkan 500 hadits, Ibnu Arabi mensyaratkan dalam Al Mahsul sebanyak 3000 hadits, Abu Ali Ad Dharir bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal: tentang berapa hadits yang harus di ketahui oleh seorang untuk mengeluarkan fatwa? apakah cukup 100.000? jawab Imam Ahmad: tidak cukup, kemudian ditanyakan lagi 300.000? kemudian Imam Ahmad menjawab lagi: tidak cukup, kemudian ditanyakan lagi 400.000? Jawab Imam Ahmad: tidak, kemudia ditanya lagi 500.000? kemudian Imam Ahmad menjawab itu yang saya harapkan.
 - Mengetahui ilmu Dirayah Al Hadits yatiu: mengetahui riwayat hadits, mengetahui antara hadits yang shahih dan yang fasid, antara hadits yang makbul dan matrud.
 - Mengetahui nasikh dan mansukh hadits. Sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menggunakan hadits, seperti hadits yang sudah jelas di nasakh dan tidak sah di pergunakan sebagai sumber hukum, misalnya hadits yang meriwayatkan di perbolehkanya “nikah mut’ah” yang sudah nyata-nyata di nasakh dengan hadits lain.
- Mengetahui Asbab Al Wurud yaitu: sebab turunya hadits, seperti hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslimسموا باسمي ولا تكنوا بكنيتي “ secara dahir hadits ini melarang memanggil orang dengan sebutan “Abi Qasim” disetiap waktu dan tempat. Akan tetapi ada riwayat lain yang di riwayatkan oleh Anas r.a.:عن انس رضي الله عنه قال:كان النبي صلى الله عليه وسلم في السوق فقال رجل: يااباالقاسم! فالتفت النبي صلى الله عليه وسلم فقال: انما دعيت هذا. فقال النبي صلى الله عليه وسلم : سموا باسمي ولا تكنوا بكنيتي.
Hadits ini menunjukan bahwa larangan yang dimaksudkan dalam hadits ini berlaku pada masa Nabi saw. Saja, sehingga tidak terjadi kesamaran dalam memanggil nama beliau. Maka atas dasar ini banyak ulama dan juga orang-orang shalih menggunakan panggilan “Abi Qasim” dan hal ini terjadi dalam sejarah umat islam. Dan memang ini bukan merupakan suatu perbuatan dosa, dan tak ada seorang-pun yang mengingkari hal tersebut.[3]
3. Mengetahui Bahasa Arab
Di syaratakan bagi mujtahid untuk mengetahui bahasa arab, yaitu mengetahui bahasa dan ilmu yang bisa memudahkanya untuk memahami khitab arab. Hal ini di karenakan Al Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa arab, begitu juga Hadits yang disampaikan oleh Nabi pun berbahasa arab, maka atas dasar inilah mujtahid harus menguasai ilmu bahasa dan nahwu, sebagaimana yang disampaikan Imam Ghazali mujtahid harus memahami khitab arab dan juga adat istiadatnya, sehingga bisa membedakan antara ucapan yang jelas, antara yang dhahir dan mujmal, antara haqiqah dan majas, antara yang ‘am dah khas, antara yang muhkam dan mutasyabih, mutlak dan muqayyad dan lain sebagainya.[4]
4. Mengetahui ijma (kesepakatan/ konsensus) ulama’.
Imam Ghazali dalam Mustshfa-nya mengatakan mujtahid harus menghafal semua permasalahan yang telah di sepakati oleh para ulama, sehingga ketika memberikan fatwa tidak bertentangan dengan ijma’ ulama.
5. Mengetahui Usul Fiqh
Yang di maksudkan disini adalah ilmu yang dipergunakan untuk menggali kaidah-kaidah yang berasalkan dari nash. Syarat yang kelima ini disepakati banyak ulama’ diantaranya Imam As Syaukani, Imam Ar Razi menjelaskan dalam Al Mahsul, Imam Ghazali juga menjelaskan dalam Irsyad Al Fuhul “ilmu yang sangat dibutuhkan dalam berijtihad ada tiga yaitu: Al Hadits, Al Lughah, dan juga Ilmu Usul fiqh.[5]
6. Mengetahui Maqashid Syari’ah.
Di antara syarat utama yang disyaratkan oleh Imam Abu Ishak As Syatibi dalam Muwafaqat adalah mengetahui tentang Maqashid Syari’ah, yang karena hal inilah Allah menurunkan Al Qur’an, mengutus Rasul dan juga menjelaskan hukum. Karena tujuan syariat adalah untuk kemaslahatan manusia. Dengan menggunakan prinsip keadilan dan kesetaraan, menghindarkan kesewenang-wenangan. Hal ini sebagaimana di firmankan oleh Allah swt. dalam Al Qur’an surat Al Anbiya’ ayat 107: “dan kami tidak mengutus kamu (Muhammad) kecuali membawa rahmat bagi semua alam”.
7. Mengetahui kondisi, keadaan manusia dan lingkungan sekitarnya.
Syarat inilah yang tidak di sebutkan oleh usuliyun, hal ini di sebabkan karena ketika seorang mujtahid ingin memberikan sebuah fatwa maka dia harus melihat kondisi masyarakat yang ada disekitarnya. Hal ini juga disinggung oleh Imam Syatibi dalam persyaratan bagi seorang mufti dalam kitabnya ‘Ilamu’ al muqi’in.[6]
8. Adil dan Bertakwa.
Di antara syarat yang di sepakati oleh usuliyun, seorang mujtahid haruslah adil, bertakwa kepada Allah swt., berpegang teguh kepada kebenaran, tidak mementingkan hal yang bersifat duniawi, karena orang yang fasik dan mempermainkan agama tidak akan bisa amanat terhadap syari’at Allah swt. serta tidak bisa menggantikan dan meneruskan misi yang di bawa oleh Rasulullah saw.
Syarat- syarat yang di perselisihkan (al mukhtalaf fiiha)
1. Mengetahui ilmu usuluddin
Yang dimaksud dengan Ilmu Ushuluddin adalah ilmu kalam, dan yang berhubungan dengan i’tiqad . dan yang termasuk mensyaratkan dalam hal ini adalah Muktazilah sedangkan yang tidak mensyaratkan adalah Jumhur ulama’.
2. Mengetahui ilmu Manthiq.
3. Mengetahui furu’ al fiqh (cabang-cabang fiqh).

E. BENAR DAN SALAH DALAM BERIJTIHAD
Perbedaan pendapat dalam masalah ini, dapat dibedakan menjadi dua bagian:
I. Masalah usul dan qadhaya al aqliyah
II. Masalah furu’ al fiqhiyah.
I. Masalah usul dan qadhaya al aqliyah
Hampir semua ulama usul bersepakat bahwa semua orang yang menganalisa/ mencermati dalam masalah qadaya al aqliyah al mahdah dan masa’il al usuliyah: harus benar karena dalam masalah ini yang benar hanya satu, dan yang mengena jawabanya hanya satu, karena jika ada dua pendapat maka akan terjadi naqidhan (kontradiksi). Barang siapa yang mengena jawabanya maka dia benar dan barang siapa yang salah maka berdosa, akan tetapi kategori dosa bermacam-macam. Jika kesalahan itu berhubungan dengan keyakinan kepada Allah swt. atau kepada Rasul maka yang salah di hukumi kafir, atau paling tidak fasiq. Karena telah menyimpang dari kebenaran, dan menyesatkan, seperti ungkapan bahwa “kita besok di akhirat tidak bisa melihat Allah swt., mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk”.[7].
Sedangkan qadaya aqliyah: yaitu sesuatu yang diperbolehkan untuk di cari kebenaranya dengan akal sebelum ada hukum syar’i, seperti suatu bukti yang menunjukan adanya pencipta yang menciptakan segala sesuatu, di utusnya rasul dan membenarkan kerasulanya dengan adanya mukjizat, hudus (baru)-nya alam, bahwa seberapa banyak dosa yang diperbuat oleh orang mukmin maka suatu saat dia akan di keluarkan dari neraka. 
Sedangkan al masail al usuliyah: seperti kehujahanya ijma’, qiyas, khabar ahad, karena dalilnya merupakan dalil qath’i (pasti), maka siapapun yang menentangnya dia berdosa, bersalah (atsiman mukhti’an).[8]
Al Jahid (w 255 H) dan Ubaidillah bin Hasan Al Anbari dari kalangan muktazilah berkomentar: “tidak ada dosa bagi mujtahid yang salah dalam masalah aqliyat selama tidak sampai pada tingkatan anad (durhaka). Jika berijtihad bertentangan dengan agama Islam (Yahudi, Nasrani, Dahriyah (golongan yang mengingkari adanya pencipta). Kemudian berijtihad  kepada apa yang di yakininya maka tidak berdosa. Karena dia telah berusaha dengan kemampuanya untuk berijtihad dan hal semacam ini merupakan suatu yang ma’zur (yang diampuni), Al Anbari menambahkan: setiap mujtahid dalam aqliyat adalah mushib (betul)[9]
Dan pendapat yang dikemukakan oleh Muktazilah ini berakar kepada pendapatnya Al Anbari , karena pada intinya mereka membenarkan ijtihadnya golongan Yahudi, Nasrani, dan golongan kafir lainya.[10] Mereka menakwilkan apabila berbeda pendapat dalam masalah ilmu kalam sebagaimana halnya bahwa nanti di akhirat orang mukmin akan melihat Allah, bahwa Al Qur’an itu makhluk, karena memang dalam masalah ini ayat dan juga hadits yang digunakan sebagai dalil merupakan termasuk kategori ayat dan hadits mutasyabihat dan juga termasuk dalil dzanni yang kontradisi (muta’aridhah) maka dengan demikian apabila mujtahid salah di maafkan.
A. Dalil yang di pakai argumen oleh Al Anbari, (dalil Al Kitab, Al Ma’qul).
a. Al Qur’an.
Al Baqarah ayat 286. لا يكلف الله نفسا الا وسعها . Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupanya.
b. Al Ma’qul
Allah swt. maha penyayang terhadap hambanya, maka tidak pantas bagi Allah swt untuk menyiksa hambanya diluar kemampuanya, maka dari itu tidak ada dosa bagi para mujtahid dalam hukum syara’a meskipun berbeda akidah, berdasarkan ijtihad yang telah di keluarkanya.

B. Dalil yang di gunakan oleh kebanyakan usuliyun:
a. Al Qur’an
Shad ayat 27. ذالك ظن الذين كفروا فويل للذين كفروامن النار , Fusshillat 23: ذالك ظنكم الذي ظننتم بربكم ارداكم , Al Mujadilah 18: ويحسبون انهم على شيء الا انهم هم الكاذبون
Wajhu ad dilalah:
Allah swt mencela I’tikad (keyakinan) mereka, dan mengancam kepada mereka dengan siksaan yang amat pedih.
b. As Sunah
Diriwayatkan dari Rasulullah saw. Bahwa beliau menyeru kepada kuffar baik dari kalangan yahudi maupun nasrani untuk membenarkan apa yang di wahyukan oleh Allah kepada beliau.[11]

c. Ijma
Umat Islam bersepakat bahwa aqidah yang di yakini oleh kaum kafir adalah salah.
II. Al Ijtihad  fi al masail al fiqhiyah al fariyah
a. Dalam masalah ini ada dua bagian:
pertama: Al masail al qathiyah al ma’lumah minaddin bi dharurah.(masalah yang sudah pasti merupakan suatu kewajiban agama yang harus di kerjakan). Seperti: wajibnya shalat fardhu 5 waktu, zakat, haji, puasa ramadhan, haramnya zina, membunuh, mencuri, minum khamr. Dalam masalah inipun sama dengan masalah aqliyat, bahwa tidak semua mujtahid benar dalam masalah ini, akan tetapi yang benar hanya satu, dan yang lain salah. Bahkan apabila pernyataanya bertentangan dengan dalil qathi maka bisa menjerumuskan kepada kekufuran. Sedangkan apabila pernyataanya bertentangan dengan ijma’ ulama maka tidak di hukumi kafir akan tetapi berdosa, dan bersalah (atsim mukhti’). [12]
kedua: Al masail al fiqhiyah adzanniyah allati laisa alaiha dalil qathi’, dan masalah ini memang merupakan suatu ruangan yang di perkenankan untuk berijtihad, dan bagi yang berijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah maka dia tidak berdosa.[13]
Menurut Abu Bakar Al Marisi, Al A’sham, dan Ibn Aliyah dan golongan yang mengingkari qiyas seperti Dzahiriyah dan Syiah Imamiyah mengatakan” bahwa dosa tidak di angakat dari mutjtahid dalam masalah furu’iyah karena dalam hal ini yang benar hanya ada satu (haqqun mu’ayyan),  dan juga sudah ada dalil qathi yang menunjukanya, akan tetapi apabila ijtihadnya salah maka berdosa, tidak kafir dan juga tidak fasiq.

Akan tetapi pendapat ini di tolak dengan dua alasan:
Pertama, karena masalah dzanniyah ini tidak menjelaskan semestinya, dan tidak ada dalil qathi.
Kedua, Para sahabat telah bersepakat untuk mengabaikan orang-orang yang ingkar (pendapat mungkirin) terhadap masalah-masalah fiqhiyah. Seperti bagianya kakek apabila berkumpul dengan saudara laki-laki, masalah aul dan masalah-masalah faraidh yang lainya., mereka bermusyawarah dan berbeda pendapat dan tidak ada yang menyanggah antara yang satu dan yang lainya, dan mereka juga tidak saling melarang/ menghalangi antara yang satu dan yang lainya untuk memberikan fatwa kepada khalayak umum, dan juga tidak melarang khalayak umum untuk mengikuti pendapatnya. .......
Akan tetapi dalam teori tashwibah dan takhtiah berijtihad dalam masalah furuiyah, para ulama berbeda pendapat, paling tidak disini ada dua pendapat yaitu (masubah dan mukhtiah):
a. Almasubah (yang benar) yaitu kelompok yang mengatakan bahwa semua mujtahid adalah benar.
b. Almukhtiah (yang salah) yaitu yang mengatakan bahwa pendapat yang benar hanya satu dan yang lain salah, karena kebenaran hanya ada satu. Imam Akhmad berkomentar: “kebenaran menurut Allah hanya ada satu, dan tidak semua mujtahid benar, akan tetapi yang benar mendapatkan dua pahala, dan yang salah mendapatkan satu pahala”.
Dan yang menjadi bahan perbedaan disini adalah: apakah setiap masalah yang diturunkan Allah mempunyai hukum yang jelas sebelum di ijtihadi oleh mujtahid? Atau tidak mempunyai hukum yang jelas? Akan tetapi hukum tersebut di hasilkan oleh ijtihadnya Mujtahid?.[14]
Sebagian mengatakan : “tidak semua masalah yang diturunkan Allah sebelum di ijtihadi oleh mujtahid mempunyai hukum yang jelas, baik itu boleh dan tidak boleh, halal haram, akan tetapi hukum Allah mengikuti hasil prediksi mujtahid, ini adalah pendapat kelompok yang mengatakan bahwa semua mujtahid adalah benar, yang termasuk dalam kelompok ini adalah Al ‘Asyairah, Muktazilah, Al Qadhi Al Baqilani dan dua sahabatnya Abu Hanifah, dan juga Ibnu Sarij.
Sebagian lagi mengatakan: ”bahwa setiap masalah yang di turunkan Allah mempunyai hukum sebelum di ijtihadi mujtahid, barang siapa prediksinya benar maka benarlah ijtihadnya, dan barang siapa salah ijitihadnya maka berdosa, maka yang benar hanyalah satu. dan pendapat ini menurut wahbah zuhaili dalam usul fiqh islami adalah pendapat yang salah (haa ula’ hum al mukhtiah), meskipun demikian mereka berbeda pendapat baik apabila dalam hukum tersebut ada tanda (amarah) ataupun tidak, diantaranya:
1. Sekelompok Fuqaha dan Mutakallimin mengatakan: “hukum itu tidak ada tanda, akan tetapi dia bagaikan sesuatu yang tersembunyi/ terkubur, barang siapa yang menemukanya/ benar maka dia akan mendapatkan dua pahala, dan barang siapa salah maka akan mendapatkan satu pahala, pendapat ini menurut menurut saya (Wahbah Zuhaili) adalah merupakan perakataan yang tiada artinya/ omong kosong (la mana’ lahu).[15]
2. kelompok kedua (sebagian fuqaha dan mutakallimin) mengatakan: “bahwa pada hukum tersebut terdapat suatu dalail dzanni (amarah dzanniyah), dan mujtahid tidak di tuntut untuk berpendapat benar karena memang terdapat kesamaran, barang siapa yang pendapatnya salah maka di maafkan dan bahkan akan mendapat pahala, dan pendapat ini merupakan kesepakatan ulama, dan pendapat ini juga di sepakati oleh Wahbah Zuhaili dalam usul fiqh islami.[16]
3. Sebagian lagi berpendapat: “ bahwa dalam hukum terdapat dalil qathi”, mujtahid di perintah untuk mencari dalil ini,  dan apabila ijtihadnya salah maka dia tidak berdosa, serta pendapatnya tidak di ralat/ revisi karena memang ketidakjelasan dalil.
4. Pendapat Basyir Al Marisyi. “bahwa mujtahid yang ijtihadnya salah maka dia berdosa dan tidak mendapatkan ampunan, sebagaimana dalam dalil qathi.
5. pendapat Al Asham.” Merevisi/ mengganti hasil ijtihad yang salah”.
Dalil kelompok Al Masubah: (bahwa semua mujtahid adalah benar):
a. Al Qur’an:
surat Al Anbiya’ ayat 79, menerangkan tentang kebenaran Nabi Sulaiman dan Nabi Dawud, وكلا اتينا حكما وعلما , wajhudilalah: apabila salah satu dari keduanya mukhti (salah) maka rekdaksi nya bukan hukman wa ilman.
b. As Sunah
اصحابي كاالنجوم, باييهم اقتديتم اهتديتم , wajhudilalah: Rasul menjadikan sahabat sebagai panutan bahwa mereka itu adalah hadyun (petunjuk). Meskipun mereka juga berbeda pendapat apabila di antara mereka itu pendapatnya salah maka tidak akan ada keluar istilah اقتداء و هدي, akan tetapi yang ada adalah ضلالة.
c. Ijma
 Para sahabat telah menyepakati dengan adanya perbedaan diantara mereka dan hal ini tidak ada yang mengingkarinya, meskipun ada salah tafsir dalam ijtihad. Dan apabila ada salah satu sahabat yang ditanya tentang suatu masalah maka setelah di jawab pertanyaanya merekapun memerintahkan untuk bertanya kepada sahabat yang lain untuk memberikan jawabanya, dan hal ini menunjukan bahwa semua mujtahid adalah benar.
d. Ma’qul
Apabila dalam setiap masalah dalam bab ijtihad itu yang benar hanya satu, maka Allah akan menurunkan dalil qath’i untuk menjawabnya. Sebagaimana yang berlaku dalam hal syariah: رسلا مبشرين ومنذرين لئلايكون للناس على الله حجة بعد الرسل.
Dalil kelompok Mukhtiah (bahwa dalam ijtihad yang benar hanya ada satu), yang termasuk dalam kelompok ini adalah As Syaifi’i (akan tetapi banyak dari sahabatnya yan g tidak sependapat), Hanafiyah dan juga Syiah.
a. Al Qur’an
Surat Al Anbiya ayat 78-79, وداود وسليمان اذ يحكمان في الحرث اذ نفشت غنم القوم وكنا لحكمهم شاهدين – ففهمنهاسليمان......... wajhuddilalah: dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa dalam masalah ini Nabi Sulaiman lebih faham dari pada Nabi Dawud a.s.
b. As Sunah
قول الرسول صلى الله عليه وسلم : اذا اجتهد الحاكم فاصاب فله اجران وان اخطاء فله اجرواحد, wajhuddilalah: dalam Hadits jelas dikatakan bahwa ijtihad ada yang musib (benar) dan juga ada yang mukhti (salah), dan apabila semuanya benar maka menyalahi dahirnya hadits.
c. Ijma
Shabat sepakat bahwa apa yang di kemukakan Abu Bakar r.a dalam masalah كلالة adalah salah., termasuk juga pendapat yang dikemukanan Umar r.a. dalam مبالغةالمراءة في المهر  , dan masih banyak lagi contoh yang lain,[17]
d. Al Ma’qul
pernyataan yang mengatakan bahwa semua mujtahid itu adalah benar akan menimbulkan chaos, ketidak jelasan dan membingungkan mana yang halal dan mana yang haram, mana yang sah dan tidak sah.
 Pendapat penulis:
Dalam masalah ini penulis lebih cenderung kepada pendapat al mukhtiah (yang mengatakan bahwa yang benar hanyalah satu), bahwa Allah telah menurunkan hukum yang jelas pada setiap masalah yang terjadi sebelum di ijtihadi oleh para mujtahid, dan para mujtahidin di tuntut untuk benar dalam berijtihad, yang benar pendapatnya akan mendapatkan dua pahala, akan tetapi yang salah tidak berdosa bahkan mendapatkan satu pahala. Yang benar dalam Syari’ah hanya satu, mujtahid mushib dan mukhti’, dan yang benar menurut Allah hanyalah satu, barang siapa mengena jawabanya maka benarlah dia dan barang siapa tidak mengena jawabanya maka dia adalah salah.

F. MERALAT IJTIHAD
Jika terjadi ijtihad dalam suatu masalah kemudian ada mujtahid, Qadhi lain yang mengeluarkan hasil keputusan hukum yang berbeda dan terbukti hasil ijtihad yang pertama salah, maka dalam kasus ini ada dua masalah:
I. Ijtihad yang pertama di ganti/ di revisi walaupun sudah diputuskan hukumnya.
II. Ijtihad yang pertama tidak di ganti/ di revisi walaupun sudah terbukti keliru.

I. Usuliyun berpendapat bahwa ijtihad di ganti apabila bertentangan dengan hukum yang qath’i seperti seorang yang berijtihad dan ijtihadnya bertentangan dengan ijma’, atau bertentangan dengan nash dzanni, seperti nash dhahir atau qiyas jali.
Beberapa  masalah yang hukumnya di ganti/revisi:
1. Bertentangan dengan dalil qathi: yang dimaksud dengan dalil qathi disini adalah setiap hukum yang tidak di pertentangkan dan yang masuk dalam kategori ini adalah hukum yang sedikit sekali perbedaan didalamnya. Imam Ar Razi berkomentar: “ketahuilah bahwa hasil keputusan Qadhi tidak di ganti selama tidak bertentangan dengan nash qath’i[18]. Di antara dalil qathi adalah seperti yang terdapat dalam firman Allah swt:  يوصيكم الله في اولادكم للذكرمثل حظ الانثيين( النساء 11) dan juga hadits mutawatir yang sudah disepakati oleh para ulama, dan juga ijma yang sudah disepakati oleh para ulama’.
2. Bertentangan dengan khabar al wahid (khabar ahad).          
Yang dimaksudkan disini bukanlah secara otomatis langsung di revisi/ diganti, akan tetapi yang di maksudkan disini yaitu apabila memang setelah di teliti tidak ada mu’aridh nya (yang kontra terhadapnya).
3. Bertentangan dengan qiyas jali. Yaitu setiap qiyas yang kuat kehujahanya, qiyas yang illatnya manshus, seperti ijma’ bahwa had sebagai pencegahan/ preventif bagi orang yang berbuat maksiat, begitu juga meringankan/ mengurangi hadnya hamba sahaya dari had-nya orang yang yang merdeka.[19]
Setiap hasil ijtihad yang bertentangan dengan dengan nash, ijma’ dan qiyas jali maka harus di teliti kembali hukumnya (menurut kesepakatan para ulama usul)[20]. Akan tetapi pendapat ini berbeda dengan apa yang di kemukakan oleh Ibnu Badaran bahwa hasil ijtihad yang bertentangan dengan qiyas jali tidak perlu di ganti/ revisi. Dengan statment beliau “hasil ijtihad tidak dirubah/ revisi baik bertentangan dengan qiyas jali ataupun bertentangan dengan qiyas khafi hal ini berbeda dengan pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i”[21]
4. Bertentangan dengan qawaid kulliyah, Imam Qarafi berkomentar “diantara hasil hukum yang di ganti/ di revisi adalah hukum yang bertentangan dengan qawaid kulliyah yang selamat dari pertentangan”.[22]
5. Kesalahan pada tahqiq al manat: Imam Ghazali berkomentar: “ apabila ketika suatu ijtihad terbukti salah di sebabkan karena setelah di teliti  bertentangan dengan dalil qathi maka harus di revisi/ di ganti”[23]
Dan revisi ijtihad tersebut bisa terjadi di sebabkan karena memang bertentangan dengan dalil naqli yang bermuara pada suatu nash, dan bisa juga disebabkan karena dalil aqli yang mana hukum yang ditetapkan sudah benar akan tetapi salah sasaran obyek (kaunu al hukmi as shadir shahihan lakin nazala ‘ala ghairi manzilihi), sebagaimana ketika saksi memberikan persaksian terhadap suatu masalah akan tetapi ternyata kemudian hakim mengetahui bahwa saksi tersebut berdusta terhadap persaksianya.

II. Ijtihad yang pertama tidak diganti/ direvisi walaupun terbukti salah.
Berkaitan dengan hal Al Amidi mengatakan “mereka (usuliyun) bersepakat bahwa keputusan hukum yang diputuskan oleh hakim tidak boleh di ganti dalam masalah ijtihadiyah hanya karena kemaslahatan hukum, karena apabila menggantinya baik dengan merubah hasil ijtihadnya ataupun karena diganti oleh hakim lain maka akan terjadi saling ganti-mengganti hukum)[24] karena apabila hal tersebut terjadi maka akan terjadi tasalsul sehingga terjadi ganti menganti hukum yang tidak ada ujungnya.[25]
Permasalahan yang tidak di perbolehkan di ganti/ di revisi:
a. Nidham As siyasah syar’iyah, masalah ini berdasarkan hasil Ijtihad. Apabila di perbolehkan merivisinya maka akan membatalkan/  menghilangkan pilar yang sangat dharuri.
b. Bahwa hukum tidak di ganti dengan ijtihad (innal hukma la yunqadu bil ijtihad), karena ijtihad berdasarkan atas dhan (sangkaan).
c. Bahwa masalah yang diperbolehkan tidak di revisi adalah sebagian besar masalah yang tidak ada batasanya dalam syariah akan tetapi yang di kembalikan kepada ijtihad bi tahqiq al manath (المسائل التى لا تنظبط في الشريعة بل هي راجعة بتحقيق المناط)).
Akan tetapi di perbolehkan bagi Qadhi atau Alim untuk mengganti/ merevisi fatwa yang lama dengan yang baru apabila di yakini kebenaranya. Karena apabila menganadung kesalahanpun akan mendapatkan afw’ (ampunan), sebagaimana Hadits riwayat Amr bin Ash:
 (قال الرسول صلى الله عليه وسلم : اذا حكم الحاكم فاجتهد ثم اصاب فله اجران واذا حكم فاجتهد ثم اخطاء فله اجر).[26]
Rasulullah saw. bersabda: apabila hakim menghukumi kemudian berijtihad dan ternyata itjihadnya benar maka dia mendapat dua pahala dan apabila mengkumi dan berijtihad kemudian salah maka dia mendapat satu pahala. (H.R. Bukhari, Muslim).

Wallahu Alam bi As Shawab



Daftar Pustaka

1. Al Ijtihad fi As Syari’ah al Islamiah ma’a nadhariyah fi al ijtihad al Muashir, Yusuf Qaradhawi, Daar Qalam Kuwait, cet ke III th 1420 H/1999 M.
2. Al Amtsilah At Tashrifiyah lil Madaris As Salafiyah As Syafiiyah, Syekh Muhammad Mashum bin Ali, Makatabah wa Mathbaah Salim Nabhan, Surabaya Indonesia.
3. Irsyad al Fuhul, As Syaukani, Maktabah Musthafa Al Halabi Cairo.
4. Aliyatul Ijtihad, Ali Jum’ah, Daar Ar Risalah, Cairo, cet I, th 1420 H/ 2004 M.
5. Lisan al Mizan, Ibnu Hajar, juz 1, Ar Ra’f wa Takmil, Al Kanawi.
6. At Thabaqat As Syugra, Imam Syaroni, Maktabah Al Qahairah.
7. Al Mahsul, juz 6, Muhammad bin Umar bin Husain Ar Razi (w 606 H), cet ke I Jami’ah Al Imam Muhammad bin Suud Al Islamiyah, th 1400 h, Tahkik Thoha Jabir Fayadh Al Ulwani.
8. Kitab Al Fiqh, Al Barkati, juz I, di susun oleh Muhammad ‘Amim Al Ihsan Al Majdi Al Barkati, Maktabah As Shadaf, Th 1407 H/ 1986 M, Cet ke I.
9. Al Usul Al ‘Amah li Al Fiqh Al Muqarin, Sayyid Muhammad Taqi Al Hakim, Maktabah Al Haramain.
10. Al Ijtihad fi Syari’ah Islamiyah ma’a Nadharat Tahliliyah fi Al Ijtihad Al Mua’ashir,
Al Mustashfa, Al Ghazali.
11. Usul Al Fiqh Al Islami, Wahbah Zuhaili, Daar Al Fikr Dimasq, cet ke III, th 1427 H/ 2006 M.
12. Majmu’ Al Watsaiq As Siasiah lil ahdi An Nabawi wa Al Khilafah Ar Rasyidiah, Dr. Hamidullah li ma’rifah kutub ar Rasul saw. Ila al Muluk wa Al Umara’ wa al Wulah fi al Jazirah al Arabiah wa Kharijiha allati ila al Islam.
13. Al Furuq, Syihabuddin Abi Abas Ahmad bin Idris bin Abdirrahman Al Qarafi (w 684 h), juz IV, hal 40, Maktabah Daar Al Marifah Bairut, Lebanon.
14. Ilam Al Muwaqi’in, Ibnu Qayyim Al Jauziyah,juz IV, hal 475, Makatabah Daar Hadits, Cairo.
15. Al Manstur Fi Al Qawaid, Juz II, hal 69, Muhammad Ibn Bahadir Ibn Abdillah Az  Zarkasyi Abi Abdillah w 794 H, cet ke II Wuzarah Al Auqaf wa As Syu’un Al Islamiyah, th 1405 H, Tahqiq Dr. Taisir Faiq Ahmad Mahmud.
16. Al Ihkam, Amidi, Juz 4, hal 209 , Daar al fikr, littibaah wa nasyr wa tauzi, bairut lubnan,. Cet ke 1, th 1997 M/ 1418 H.
17. Al Furuq, Syihabuddin Abi Abas Ahmad bin Idris bin Abdirrahman Al Qarafi (w 684 h), juz IV,  Maktabah Daar Al Marifah Bairut, Lebanon.



[1]. Al Ijtihad fima la Nasha fiih, hal 11, berdasarkan nuqilan dari Al Usul Al ‘Amah li Al Fiqh Al Muqarin, Sayyid Muhammad Taqi Al Hakim, hal 563, maktabah Al Haramain.
[2]. Al Muwafaqat, As Syatibi, juz 3, hal 324, ta’aliq syekh Abdullah Daras
[3]. Al Ijtihad fi Syari’ah Islamiyah ma’a Nadharat Tahliliyah fi Al Ijtihad Al Mua’ashir, op.cit, hal 34.
[4]. Ibid hal 38.
[5]. Irsyad Al Fuhul, hal 252
[6].’ Ilamu Al Muqiin, Juz IV, hal 199.
[7]. Ahlu Sunah berpendapat: bahwa para wali Allah besok di akhirat akan melihat Allah swt, sebagaimana firman Allah swt, Al Qiyamah, ayat 22-23, “wajah orang-orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhanya mereka melihat., sementara Muktazilah berpendapat bahwa kita tidak bisa melihat Allah swt. Mereka memakai dalil surat Al An’am ayat 103: Dia tidak dapat di capai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah yang Maha halus lagi maha mengetahui., Ahlu Sunah berpendapat bahwa kalam Allah qadim, karena dia merupakan sifat Allah dan sifat Allah adalah qadim dan Qur’an adalah kalamullah dan apa yang diucapkan oleh Allah itu bukanlah makhluk, kalamullah berasal dari Allah dan apa saja yang berasal dari Allah tidak disebut makhluk. Dan hal ini ditentang oleh Muktazilah karena mereka mengingkari sifat azaliyah Allah, dan qur’an berasal dari sifat Allah swt.
[8]. Usul Al Fiqh Al Islami, Wahbah Zuhaili, Daar Al Fikr Dimasq, cet ke III, th 1427 H/ 2006 M, juz II, hal 376.
[9]. Al Mustasfa, hal 107, op cit.
[10]. Irsyad Al Fuhul 229, Al Amidi juz III hal 147
[11]. Majmu’ Al Watsaiq As Siasiah lil ahdi An Nabawi wa Al Khilafah Ar Rasyidiah, Dr. Hamidullah li ma’rifah kutub ar Rasul saw. Ila al Muluk wa Al Umara’ wa al Wulah fi al Jazirah al Arabiah wa Kharijiha allati ila al Islam, hal 41-110.
[12]. Al Mustashfa juz II, hal 1106, Irsyad al Fuhul 230, usul Fiqh Khudari, hal 363, lihat juga Usul fiqh Islami, juz II, hal 379.
[13]. Muslim ats Subuth, juz II, hal 329, Usul Fiqh Khudari 360.
[14]. Syarh Asnawi, juz 2, hal 244, Syarh Mahalli ala Jam’il Jawami’, juz 2, hal 318, Syarh ‘Adud ala Mukhtashar Ibn Hajib, juz 2, hal 293, Milal wa Nihal, Syahrustani, juz 2, hal 203.
[15]. Usul Fiqh Islami, op cit, juz II, hal 381
[16]. Ibid, hal 81
[17]. Usul Al Fiqh Al Islami, juz II, hal 386-387
[18]. Al Mahsul, op cit, juz VI, hal 91
[19]. Al Luma’ fi Usul Al Fiqh, Juz I, hal 368
[20]. Ilam Al Muwaqi’in, Ibnu Qayyim Al Jauziyah,juz IV, hal 475, Makatabah Daar Hadits, Cairo, Al Manstur Fi Al Qawaid, Juz II, hal 69, Muhammad Ibn Bahadir Ibn Abdillah Az  Zarkasyi Abi Abdillah w 794 H, cet ke II Wuzarah Al Auqaf wa As Syu’un Al Islamiyah, th 1405 H, Tahqiq Dr. Taisir Faiq Ahmad Mahmud.
[21]. Al Madkhal Ibn Badran, Juz I, hal 384.
[22]. Al Furuq, Syihabuddin Abi Abas Ahmad bin Idris bin Abdirrahman Al Qarafi (w 684 h), juz IV, hal 40, Maktabah Daar Al Marifah Bairut, Lebanon.
[23]. Al Mustashfa, juz 1, hal 364, op.cit
[24]. Al Ihkam, Amidi, Juz 4, hal 209
[25]. Al Ijtihad bi tahqiq Al Manath wa Sulthanih fi Al Fiqh Al Islami, ibid, hal 141.
[26]. Hadits riwayat Al Bukhari bab ajrul hakim…., riwayat dari Abi Qais maula Amr bin Al Ash dari Amr bin Al Ash dari Rasulullah saw, sahih Bukhari, juz VI, hal 2687, hadits no. 6919, sahih Muslim, juz 3, hal 1342, hadits nomer 1716.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar