Selasa, 03 Mei 2011

Qawaid Al Fiqhiyah


MULAKHASH/ RANGKUMAN QAWAIDH FIQHIYAH
(AL QAWAIDH AL FIQHIYAH -- ALI AHMAD AN NADAWI)
Referensi utama mata kuliah qawaidh fiqhiyah, (urutan di bawah ini berdasarkan kontribusi masing-masing madzhab terhadap perkembangan ilmu qawaidh fiqhiyah):
  1. Al Asybah wa Nadhair     : karya Imam Suyuthi (Madhab Syafi’iyah)
  2. Al Asybah wa Nadhair     : Ibnu Nujaim Al Hanafi (Hanafiyah)
  3. Al Asybah wa Nadhair     : Ibnu Rajab Al Hanbali (Hanabilah)
  4. Al Furuq: Al Qarafi (Malikiyah)

PEMBAHASAN PERTAMA
Makna Qaidah secara etimologi dan terminologi
Qaidah secara etimologi: Al asas (dasar),[1] Bentuk jamak lafadz Qaidah adalah Qawaidh. Yaitu dasar dan asal dari sesuatu, baik berupa hissi (nampak/dapat dicapai, dirasa dengan panca indra), seperti dasar/pondasi rumah - قواعد البيت -, ataupun ma’nawi (makna) seperti: dasar, pondasi atau pilar agama - قواعد الدين اي دعائمه - Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam Al Qur’an:
øŒÎ)ur ßìsùötƒ ÞO¿Ïdºtö/Î) yÏã#uqs)ø9$# z`ÏB ÏMøt7ø9$# ã@ŠÏè»yJóÎ)ur $uZ­/u ö@¬7s)s? !$¨YÏB ( y7¨RÎ) |MRr& ßìŠÏJ¡¡9$# ÞOŠÎ=yèø9$#

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui." (al-Baqarah, 127)
ôs% tx6tB šúïÏ%©!$# `ÏB óOÎgÏ=ö7s% tAr'sù ª!$# OßguZ»uŠø^ç/ šÆÏiB ÏÏã#uqs)ø9$# §ysù ãNÍköŽn=tã ß#ø)¡¡9$# `ÏB óOÎgÏ%öqsù ÞOßg9s?r&ur Ü>#xyèø9$# ô`ÏB ß]øym Ÿw tbrããèô±o

Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka Telah mengadakan makar, Maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari. (an-Nahl, 26)

Pengertian secara terminologi
1.     قضية كلية منطبقة علي جميع جزئيته
2.    Menurut Abu Baqa Al Kafawi
قضية كلية من حيث اشتمالها بالقوة علي احكام جزئيات موضوعها
3.    Menurut At Tahanawi
امر كلي منطبق علي جميع جزئيته عند تعرف احكامها منه
4. Menurut At Taftazani (wafat 791 h) dalam At Talwih
حكم كلي ينطبق علي جزئيته ليتعرف احكامها منه
5. Sebagian fuqaha terkadang mentakbirkan dengan
 ينطبق عليها جزئيات كثيرة
6. Menurut Tajuddin Assubuki
 الامر الكلي الذي ينطبق عليه جزئيا ت كثيرة تفهم احكامها منها
Menurut Al Maqarri Al Malikiyah dalam kaidahnya
كل كلي هو اخص من الاصول وسا ئر المعاني العقلية العامة, واعم من العقود وجملة الضوابط الفقهية الخاصة
7. Menurut Al Hamawi (pensyarah kitab Asyabah wa Nadhair Ibn Nujaim)
 حكم اكثري لا كلي ينطبق علي اكثر جزئيته لتعرف احكامها
8. Menurut Musthafa bin Muhammad Kuzal Al Khasari
حكم كلي ينطبق علي جميع جزئياته ليتعرف به احكام الجزئيات والتي تندرج تحتها من الحكم
9. Menurut Musthafa Ahmad Zarqa
اصول فقهية كلية في نصوص موجزة دستورية تتضمن احكاما تشريعية عامة في الحوادث التي تدخل تحت موضعها
10. Menurut Prof. Dr. Abdurrahman Sya’lan
قضية اكثرية تنطبق علي اكثر جزئيتها
11. Menurut bin Abdullah bin Hamad dalam Muqaddimah Al Qawaid Al Maqarri
 حكم اغلبي يتفرق منه احكام الجزئيات الفقهية مباشرة
12. Menurut Muhammad Ar Ruki As Syafi’i
 الاحكام الفقهية التي تندرج فيها وتخرج عليها فروع جزئيتها فقهية كثيرة  
13. Menurut Ibnu Khatib Ad Dahsyah (wafat 834 h) dalam mukhtasar Qawa’id Ala’I
قضية كلية منطبقة علي جميع جزئيتها لتتعرف احكامها منه
15. Menurut Abdul Aziz Azam
الحكم الكلي المنطبق علي جميع جزئيتها غالبا ليتعرف احكامها منه

Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan dua definisi yang di anggap bisa mewakili dari definisi-definisi tersebut di atas adalah :
 - حكم شرعي في قضية اغلبية يتعرف منها احكام ما دخل تحتها
 -   اصل فقهي كلي يتضمن احكاما تشريعية علي ابواب متعددة تخرج عليها فروع وجزئيتها ظوابط فقهية كثيرة


PEMBAHASAN KEDUA
Perbedaan Qaidah Fiqhiyah dengan Dhawabith Fiqhiyah
Pada penjelasan terdahulu telah disinggung sebagaimana yang terdapat pada penjelasan Al Maqarri Al Maliki bahwa “ Cakupan dhabith fiqhi lebih sempit dari cakupan qawaidh fiqhiyah”. Sedangkan kutipan yang terdapat dalam hasyiah Al Bannani bahwa: ”Pembahasan qaidah tidak dikhususkan pada satu bab tertentu, lain halnya dengan dhabith fiqhiyah”
-) Al Allamah Ibnu Nujaim juga membedakan antara qaidah dan dhawabith, bahwa, “Qaidah menghimpun/ mengumpulkan beberapa furu’(cabang, bagian) dari beberapa bab, sedangkan dhabith hanya mengumpulkan dari satu bab, dan inilah yang disebut dengan asal”[2]
-) Imam Suyuthi rahimahullah, dalam “Asybah wa Nadhair fi An Nahwi”.........bahwa qaidah mengumpulkan beberapa cabang dari beberapa bab yang berbeda, sedangkan dhabith mengumpulkan bagian dari satu bab saja”[3]
-) Abu Baqa” Dhabith mengumpulkan bagian dari satu bab”[4]
-)  Di balik kesepakatan-kesepakatan terhadap definisi-definisi diatas ada sebuah pendapat yang tidak membedakan antara qaidah dan dhabith (diantara pendapat tersebut adalah yang di kemukakan oleh An Nablisi) beliau mengatakan: bahwa”qaidah “secara istilah bermaknakan dhabith yaitu “al amrul kulli yang munthabiq (sesuai, sejalan) dari semua bagian bagianya”[5]
-) Orang pertama yang sangat perhatian terhadap Dhawabith dan meletakan masalah-masalahnya dengan jelas dan gamblang adalah Imam Abu Hasan Ali bin Husain As Saghdi (wafat 461 h) dalam kitabnya “An Natfu fi Al Fatwa”.
Kemudian disusul dengan ulama lain seperti Ibnu Nujaim rahimahullah dalam kitabnya “Al Fawaidh Az Zainiyah fi Fiqhi Al Hanafiyah”[6] dalam kitab ini terdapat kurang lebih sekitar 500 dhabith.
Sedangkan dari  kalangan  ulama Malikiyah adalah Muhammad bin Abdullah yang terkenal dengan sebutan “Al Maknisi” (wafat th 917 h). Yang telah menyusun kitab “Al Kulliyat fil Fiqh”[7]

Contoh dari Dhawabith fiqhiyah:
Seperti halnya yang terdapat dalam Hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas ra. Dari Rasulullah saw. “ ايما اهاب دبغ فقد طهر ”. contoh lain yang kurang lebih sama artinya adalah  yang diriwayatkan oleh Imam An Nakha’i (wafat 96 h). “كل شيء منع الجلد من الفساد فهو دباغ" begitu juga “ما اصلحت به الجلد من شيء يمنعه من الفسا د فهو له دباغ
Contoh lain dhawabith yang diriwayatkan oleh Mujahid rahimahullah “كل شيء خرج من الارض قل او كثر مما سقت السماء , او سقي با العيون ففيه العشر"[8]
Sementara itu contoh yang sangat terkenal dikalangan mutaakhiriin “ ان كل ماء لم يتغير احد اوصافه طهور" atau qaidah “كل ماء مطلق لم يتغير فهو طهور  “ hal ini sebagaimana yang di katakan oleh Al Bakri dalam “Al Istighna”
Al Allamah Ad Dabbusi memberlakukan/ menyebut sebagian dhawabith dengan sebutan “ الاصل “ seperti dalam contoh: “ الاصل عند علمائنا –رحمه الله-  : bahwa shalatnya makmum (muqtadi’/ yang mengikuti) bergantung (taalluq) kepada shalatnya imam. Yang dimaksudkan ta’alluq disini adalah fasad dan tidaknya sholatnya si makmum bergantung kepada shalatnya imam.........akan tetapi menurut Imam Al Qurasyi Abi Abdillah As Syafi’i bahwa” shalatnya muqtadi/ makmum tidak bergantung terhadap shalatnya imam”.
Contoh lain yang menjelaskan perbedaan kedua imam tersebut diantaranya adalah: “ bahwa tidak diperbolehkanya orang yang shalat dhuhur apabila mengikuti (menjadi makmumnya) orang yang shalat asar, akan tetapi menurut imam Al Qurasyi ....hal ini di perbolehkan”.[9] Akan tetapi contoh-contoh seperti ini hanya pada bab- bab tertentu

Penyebutan Qaidah dengan kata “Dhabith” merupakan sesuatu yang lumrah, wajar dan  ini berlaku dalam referesi-referensi fiqih serta pada kitab-kitab qawaidh, seperti yang terdapat dalam Qawaid ahkam Ibnu Rajab Al Hanbali dengan sebuah “Al Qaidah”: شعر الحيوان في حكم المنفصل عنه لا في حكم المتصل"[10]  demikian juga sebagian dhawabith yang lain juga menggunakan lafadz “Qawaidh” seperti yang terdapat dalam Al Istighna fi Al furu’ karangan Al Allamah Al Bakri.
Sedangkan Al Allamah Tajuddin As Subuki, banyak sekali kita temukan apa yang dikatakan dengan dhawabith itu berada di bawah naungan “ Qawaidh Khassah[11]

Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan:
1. Tidak di temukan kesamaan antara Qawaidh dan Dhawabith, karena Qawaidh bersifat lebih umum dan lebih syamil-asymal- (lebih luas cakupanya) dari pada dhawabith, hal ini apabila dilihat dari segi pengumpulan bagian-bagianya dan keluasan cakupan maknanya.
2. Perkembangan pemahaman Dhabith merupakan perkembanan yang malhudh (yang masih menjadi catatan)-maksudnya masih ada kemungkinan untuk mengalami perkembangan dan perubahan. Selain itu tidak dibedakan secara lebih rinci antara Qaidah dan Dhabith. Serta tidak di jelaskan batasan-batasan yang jelas antara Qaidah dan Dhabith, akan tetapi penjelasan yang paling definitif adalah apa yang di kemukakan oleh As Subuki, As Suyuthi dan juga Ibnu Nujaim.
3. Bahwa Qawaidh lebih jarang (aktsar syuzuzan) dari pada Dhawabith, karena Dhawabith membatasi satu maudhu’ (judul) dan tidak melebar kepada pembahasan yang lainya.
4. Istilah- istialah ilmiyah yang telah di definisikan tidak menetap pada contoh yang jelas kecuali dengan di aplikasikan kepada maudhu’ yang berlainan serta sering di ucapkan lewat lisan. Dan hal semacam ini akan terus berpindah/ berubah dari masa ke masa dengan seiring pergantian zaman.  Terkadang istilah yang umum pada suatu masa akan berkembang/ berubah menjadi lebih khusus dari istilah sebelumnya.
BAGIAN KETIGA
PEMAHAMAN KULLIYAT DAN PENGARUHNYA DALAM PENG-QAIDAHAN-
Pengertian/ pemahaman “Al Kulliyat” dan “Al Asl” sangatlah dekat [12] hal ini dikarenakan antara keduanya bisa di jadikan sebagai ibrah baik dalam penggunaan qaidah ataupun dhabith.
Biasanya lafal yang menggunakan lafadz “كل” dalam ilmu fiqh itu dikembalikan kepada pemahaman “الكلية” baik yang terdapat dalam penggunaan Qawaidh ataupun Dhawabith.

Beberapa contoh penggunaan lafadz “كل “ yang terdapat dalam “jawami’ al kalam/ sabda –sabda ” Nabi Saw. Diantaranya:
1. كل راع مسئوول عن رعيته
2. كل شرط ليس في كتاب الله فهو باطل
3. كل مسكر حرام
Diantara “الكليا ت  yang teraplikasikan dalam pemahaman “قاعدة “qaidah dan terdapat dalam beberapa bab fiqih, seperti halnya yang terdapat dalam kitab “Al Umm” Imam Syafi’i Rahimahullah:
1. كل ما كان علي الانسا ن ان يرده بعينه, ففات , رده بقيمته
2. كل امر لا يتم الا بامرين لم يجز ان يملك بواحد
3. كل من كان مالكا فماله ممنوع به محرم الا بطيب نفسه باباحته فيكون مباحا بابا حة مالكه له
4. كل ما له مثل يرد مثله فا ن فات يرد قيمته
5. كل حق وجب عليه فلا يبرئه منه الا اداؤه
Sedangkan “الكليات  “ yang mempunyai arti atau diartikan dengan “ضوابط “ diantaranya adalah:
1. كل حال قدر المصلي فيها علي تاءدية فرض الصلاة كما فرض الله تعالي عليه : صلاها, وصلي ما لا يقدر عليه كما يطيق
2. كل ما عرفت فيه الحيا ة ثم ذبحت بعده اكلت

********
Demikian halnya apabila kita perhatikan dalam kitab”Al Mudawanah” –kitab yang memuat pendapat pendapat Imam Malik bin Anas dan sahabat sahabatnya. Rahimahumullah, maka  akan di temukan  batasan batasan masalah kulliyat dan ini menjadi bahan perhatian..., diantara contoh-contohnya adalah sebagai berikut:
كل شيء يجوز للبيع ان يشتريه لنفسه فهمو جائز ان يشتريه لغيره اذا وكله[13]
كل مستهلك ادعى الماءمور فيه ما يمكن وادعى الامر غيره فالقول قول الماءمور
Ulama- ulama Malikiyah yang mempunyai andil dalam hal ini adalah: Imam Abi Abdillah Muhammad bin Harits Al Khasyani (wafat 361 h) dengan kitabnya “Usul al Fatya fi Madzhab al Maliki”, begitu juga Imam Al Hafidz Abi Umar bin Abdil Barr (wafat 463 h) dengan kitabnya”Al Kafi”. Kemudian disusul dengan Al Allamah Abu Abdullah Al Maqarri Al Maliki (wafat 758 h) dengan kitabnya “Al Kulliyat” dan diantara ulama Malikiyah juga yang menjelaskan secara gamblang tentang dhawabith fiqhiyah adalah Muhammad bin Abdullah Al Miknasi (wafat 917 h)[14]
Berikut ini beberapa contoh “sebagian besar diantaranya berkaitan dengan Qawaidh dan sebagianya lagi berkaitan dengan Dhawabith”:
كل احد عامل لنفسه بتصرفه حتى يقوم الدليل على انه يعمل لغيره باقراره
كل امرين لا يجتمعا ن يقدم الشرع اقواهما على اضعفهما
كل سبب يفضي الى الفساد نهي عنه , اذا لم يكن فيه مصلحة راجحة "[15]
كل شيء يدخل في المبيع تبعا لا حصة له من الثمن"[16]
كل ما اوجب نقصان  الثمن في عادة التجار فهو عيب"[17]
كل ما لا يتوصل الى المطلوب الا به فهو مطلوب"[18]
كل معصية ليس فيها حد مقدر: ففيها التعزير"[19]
PEMBAHASAN KE EMPAT
PERBEDAAN ANTARA KAIDAH FIQHIYAH DAN NADHARIYAH FIQHIYAH
النظرية  (theory) berasal dari النظر secara bahasa/ etimologi: mengangan-angan sesuatu dengan mata (ta’mulus syai’ bi al ain), sedangkan النظري adalah hasil dari apa yang di angan-angankan tersebut, seperti halnya mengangan-angankanya akal yang mengatakan bahwa alam adalah sesuatu yang baru. Akan  tetapi sebagian ulama fuqaha kontemporer mengatakan: bahwa Nadhariyah ‘amah muradif (sinonim, satu arti) dengan Qawaidh al Fiqhiyah, yang termasuk dalam golongan ini adalah Syekh Muhammad Abu Zahra sebagaimana yang di jelaskan dalam “Usul Fiqh”.
Atau Nadhariyah Fiqhiyah juga bisa didefinisikan dengan”Maudhu-maudhu fiqih atau maudhu yang memuat masalah-masalah fiqhiyah atau qadhiyah fiqhiyah”. Hakikatnya adalah “rukun, syarat dan hukum yang menghubungkan fiqih, yang menghimpun satu maudhu yang bisa di gunakan sebagai hukum untuk semua unsur yang ada. Seperti: Nadhariyah milkiyah, nadhariyah aqad, nadhariyah itsbat dan yang lainya. Sebagai bentuk aplikasi dari contoh nadhariyah itsbat (penetapan) dalam an fiqih al jinai’ al islami (pidana islam) ini terdiri dari beberapa unsur, yaitu: hakikat itsbat (penetapan), syahadah (saksi), syarat-syarat saksi, mekanisme saksi, pembelaan, tanggung jawab saksi, ikrar (pengakuan), qarinah (bukti), khibrah (keahlian), ma’lumat qadhi (informasi, data, fakta qadhi), kitabah (pencatatan), yamin (sumpah), qasamah, dan juga li’an.
Kesimpulan dari pengertian tentang “Nadhariyah amah” bahwa Nadhariyah amah bukanlah Qaidah kulliyah dalam term fiqh islam. Karena qaidah ini layaknya dhawabith terhadap nadhariyat. Atau dia bagaikan Qaidah khusus terhadap Qawaidh amah al kubara”. Kalau qaidah seperti”العبرة في العقود للمقاصد والمعاني
Perbedaan yang mendasar antara keduanya (Qaidah fiqhiyah dan Nadhariyah fiqhiyah) adalah :
1). Qaidah fiqhiyah mengandung hukum fiqh di dalamnya , seperti qaidah “اليقين لا يزال بالشاك” qaidah ini mengandung hukum fiqih di setiap masalah yang berkaitan dengan maslah “yakin” dan “syak” dan ini berbeda dengan Nadhariyah fiqhiyah: dia tidak mengandung/ memuat hukum fiqih di dalamnya, seperti nadhariyat milk, fasakh, buthlan.
2). Qaidah fiqhiyah tidak mengandung rukun dan syarat, lain halnya dengan nadhariyah fiqhiyah yang pasti lekat dengan rukun dan syarat.[20]
Di bawah ini contoh2 qawaid fiqhiyah –yang berbeda furu’ (cabang), juz (bagian) dan juga atsar (pengaruhnya)………- …..:
1. العادة محاكمة  
2. استعمال الناس حجة يجب العمل به
3.  لا ينكر تغير الاحكام (المبنية على المصلحة او العرف) بتغير الزما ن
4. انما تعتبر العادة اذا اطردت او غلبت
5. المعروف عرفا كالمشروط شرطا
6. المعروف بين التجار كالمشروط بينهم
7. التعيين بالعرف كالتعيين بالنص
PEMBAHASAN KE LIMA
PERBEDAAN ANTARA QAIDAH FIQHIYAH DAN QAIDAH USULIYAH
Orang yang pertama kali membedakan antara Qaidah Usuliyah dan Qaidah Fiqhiyah adalah Imam Syihabuddin Al Qarafi, sebagaimana yang telah di singgung dalam muqaddimah “Al Furuq” sebagaimana berikut:
“Sesungguhnya syariat Muhammad yang mulia-semoga Allah senantiasa menambahkan keagungan dan kemulianya- memuat asal dan furu’, sedangkan usulnya terbagi menjadi dua bagian:
1). Usul fiqh, biasanya yang terdapat dalam usul fiqh adalah qawaid ahkam (qawaid hukum) yang bersumber dari lafaz-lafaz bahasa arab khassah (yang khusus) dan apa yang di pertentangkan terhadap lafadz-lafadz, baik nasakh, tarjih. Seperti: amar (perintah) menunjukan wajib, dan nahy (larangan) menunjukan haram.dan lain sebagainya.
2). Qawaid fiqh kulliyah, banyak jumlahnya, di dalamnya tersimpan rahasia-rahasia syara’ dan hukumnya, setiap qaidah furu’ dalam syariah sangat banyak dan tak terhingga, dan semua pembahasan ini tidak di jelaskan dalam usul fiqh........
Sedangkan Imam Ibnu Taimiyah berpendapat “perbedaan antara qaidah usuliyah dan qaidah fiqhiyah “ kalau usul fiqh adalah dalil-dalil umum, berbeda halnya dengan qawaid fiqh yaitu perumpamaan dari hukum-hukum yang umum.
Apabila kita bandingkan secara umum antara qaidah usuliyah dan qawaid fiqhiyah maka akan terdapat perbedaan sebagai berikut:
1). Bahwa ilmu usul fiqh bagaikan penyeimbang (mizan), pembatas (dhabith) untuk istinbath yang benar, ibarat ilmu nahwu untuk membatasi/ megatur ucapan dan tulisan, dan qawaidh ilmu ini merupakan penyeimbang antara dalil dan hukum. Yaitu mengistinbath hukum dari dalil tafshili dan pembahasanya selalu lekat dengan dalil dan hukum,[21] seperti ucapan: Al Amru li al Wujub (perintah menunjukan kewajiban mengerjakan sesuatu), An Nahyu li At Tahrim (larangan menunjukan keharaman mengerjakan sesuatu).
Sedangkan Qaidah fiqhiyah yaitu qadhiyah kulliyah atau aktsariyah, bagianya hanya sebagian masalah fiqh dan maudhu’nya selalu berkaitan dengan amalan mukallaf. 
2). Qawaid usuliyah, qawaidh kulliyah yang sesuai, sejalan (tanthabiq) terhadap semua bagian-bagianya dan maudhu-maudhu’nya.
Sedangkan Qawaidh fiqhiyah adalah lebih aghlab (merata) hukumnya pada kebanyakan juz’iyat, akan tetapi mempunyai pengecualian (mustasnayat).
3). Al Qawaid usuliyah adalah dzariah (perantara, medium) untuk mengistinbath hukum syara’ amaliyah, maka dari itu qawaidh fiqhiyah terpisah dari qawaidh usuliyah, karena ini merupakan ibarat dari kumpulan hukum yang serupa yang di kembalikan kepada satu illat yang menghimpunya, atau dhabith fiqhi yang mengelilinginya. Adapun tujuanya adalah untuk mendekatkan/ memudahkan masalah- masalah fiqhiyah.
4). Qawaidh fiqhiyah datang lebih akhir dari furu’ dalam bentuknya yang zihni dan waqi’i  karena dia berfungsi sebagai penghimpun apa yang tercecer dan menghubungkan apa yang terputus serta menghimpun makna-maknanya. Adapun usul: Fardu zihni (inti) datang sebelum furu (cabang) karena ia (zihni) merupakan pengurai masalah yang dipakai seorang fakih dalam berijtihad, sebagaimana Al Qur’an yang datang lebih awal dari sunah, Nash Qur’an lebih kuat dari dhahirnya.
5). Qawaidh fiqhiyah sama, menyerupai usul fiqh dari satu bagian, dan berlainan dari segi yang lain. Adapun diantara kesamaanya adalah: keduanya sama-sama mengandung beberapa qaidah yang dibawahnya mengadung banyak juz’iyat (bagian-bagian). Sedangkan perbedaanya: qawaidh usul itu masalah-masalah yang mengandung dalil tafshili yang bisa dimungkinkan untuk mengistinbath hukum-hukum syara’. Sedangkan qawaidh fiqh adalah masalah-masalah yang dibawahnya terdapat hukum-hukum fiqih, yang memungkinkan bagi mujtahid dengan/ untuk mengkonstuksi hukum-hukum tersebut dalam usul fiqh. Kemudian apabila faqih (alhi fiqih) menyampaikan, menyajikan hukum-hukum juz’i hal ini bukanlah di sebut sebagai qaidah, akan tetapi apabila faqih menyebut hukum dalam bentuk contoh yang menyeluruh (qadaya kulliyah) yang di bawahnya terdapat hukum-hukum juz’i maka hal inilah yang di sebut sebagai qaidah.
......................
Diantara faidah, manfaat Qawaidh Fiqhiyah:
1). Menjaga, mengontrol masalah-masalah yang saling sanggah-menyanggah, debat-mendebat, sehingga qaidah tersebut benar-benar bisa menjadi media perantara untuk mengetahui hukum-hukum yang berada di bawahnya.
2). Menunjukan bahwa satu hukum yang illatnya sama walaupun dengan berbeda sudut pandangnya, dalam pengertian- yang satu di lihat dari segi illat yang ada dan yang lain di lihat dari segi kemaslahatan yang ada-.
3). Bahwa sebagian besar masalah-masalah usul fiqh tidak di kembalikan kepada khidmah hikmah syariah dan tujuanya. akan tetapi berkutat, berputar pada sekitar istinbath hukum dari lafadz-lafadz syari’ dengan perantara qawaidh yang memungkinkan bagi arif (orang yang pintar) untuk mencabut furu’ dari nya.......


[1]              Ar Raghib Al Asfihani, Al mufradat fi gharib al qur’an, tahqiq Muhammad Sayyid Kailani.
[2]. Asbah wa Nadhair, tahqiq dan taqdim , Muhammad Muthi Al Hafidz , daar fikr) al fan tsani 192
[3]. Asyabah wa Nadhair fi An Nahw
[4]. Kulliyat Abi Baqa
[5]. Dia adalah Abdul Ghani  bin Ismail bin Abdul Ghani Al Hanafi Ad damasyq, lahir tahun 1050 h, “ Khulasoh at tahqiq fi bayani taqlid wa talfiq”. Al Maraghi “fathul mubin fi thabaqat usuliyin 3-125-126.
[6]. Ditemukan di Maktabah Al Haram Al Makkiy, Makkah. masih berupa makhtutath: “fiqh Hanafi” nomer 64.
[7]. Makhtuth Maktabah Ar Ribath dengan nomer 1219
[8]. Imam Qasim bin Salam “ Kitab Al Amwal” tahqiq Khalil Haras (percetakan Mashr ula, daar syarq li attiba’ah 1388 h- 1968 m) hal 674
[9]. Ta’sis An Nadhar, (Cet Mesir,) hal 70-71 
[10]. Qawaid Ibnu Rajab. Lihat Al Qaidah Atsaniyah” hal 4
[11]. Lihat bagian ketiga kitab “Al Asybah wa An Nadhair” bab “Al Qawaidh Khassah”
[12]. Lihat makna asal dalam kitab “Al Qawaid wa Dhawabith Al Mustakhlasoh min At Tahrir “ Al Husairi hal 109
[13]. Syahnun bin Said At Tanuji, Al Mudawwanah 4/126
[14]. Di antara hasil karnya beliau adalah “Majalis al Qudhah wa Al Hukam fi Al Ahkam”, lihat Az zarkali, Al I’lam 7/16.
[15]. Majmu’ Fatwa Syaikh Islam Ibnu Taimiyah: 32/328-329
[16]. Ibnu Ghanim Al Baghdadi, Majma’ Ad Dhamanat, hal 329
[17]. Al Hidayah, 6/357
[18]. Al Maqarri, Al Qawaidh 2/293, dengan nomer 144
[19]. Ibnu Nujaim, Al Asybah wa Nadhair, hal 217
[20]. Prof. Dr. Abu Sanah, An Nadhariyah amah lil Muamalat fi Syariah Islamiyah, mashr, matbaah dar ta’lif 1386 h/ 1967 m)
[21]. Syarh Al Madzkur (cetakan Mashr al Ula, percetakan Amiriyah Al Kubra Bulaq, di cetak bersama dengan Kasyful Asrar Syarh Al Manar) hal 57, lihat At Taftazani: At Taftazani: At Talwih ala At Taudhih percetakan Mashr Muhammad Ali Shabih hal 1/22.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar