Kamis, 05 Mei 2011

Kerukunan Hidup Beragama Menurut Perundang-undangan Di Indonesia KAJIAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA





KERUKUNAN HIDUP BERAGAMA MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

A. KEMAJEMUKAN PENDUDUK I NDONESIA
Negara Indonesia merupakan suatu negara yang terdiri dari beribu-ribu pulau, penduduknya bersifat pluralitas (beraneka ragam, majemuk). Indonesia juga terdiri dari berbagai suku, adat istiadat, bahasa dan agama. Mereka adalah bangsa yang religius, bangsa yang beragama, bangsa yang terpercaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agama yang di anut oleh bangsa Indonesia adalah Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Penganut agama di atas telah mampu bekerja sama mengusir penjajah, untuk kemudian mereka mendirikan negara merdeka, yaitu negara kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Sejak awal berdirinya bangsa Indonesia secara eksplisit telah menegaskan, bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia lahir” Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa”, sebagaimana disebutkan dalam alinea ke tiga pembukaan Undang Undang 1945 (UUD 1945). Artinya kemerdekaan itu di raih oleh bangsa Indonesia bukan hanya buah heroisme semangat perjuangan (dimensi horizontal sekuler) belaka, tapi juga atas berkat rahmat Allah swt (dimensi vertical transcendental). Pengakuan terhadap dimensi transedental ini, akan mewarnai kepada pengisian kemerdekaan negara yang telah di proklamasikan tersebut.
Oleh karena itu penganut agama yang ada di Indonesia, bertanggung jawab untuk mengisi kemerdekaan negara yang telah diproklamasikanya, melalui pembangunan dalam rangka meningkatkan kualitas dirinya. Pembangunan negara dan bangsa Indonesia, memerlukan adanya persatuan dan kerjasama serta kerukunan hidup yang harmonis antar umat beragama di Indonesia. Kerukunan hidup antarumat beragama merupakan prakondisi yang harus diciptakan bagi pembangunan di Indonesia[1] Berkaitan dengan kerukunan hidup antar umat beragama, pemberlakuan hukum suatu agama bagi pemeluknya, termasuk pemberlakuan hukum Islam bagi umat Islam Indonesia, merupakan bagian dari bentuk keharmonisan antar umat  beragama di Indonesia.
Kerukunan hidup antarumat beragama di Indonesia ini, sudah dirasakan sejak masa menjelang pengesahan UUD 1945 sebagai konstitusi negara republik Indonesia. Umat Islam Indonesia telah merelakan pencoretan tujuh kata dalam piagam Jakarta, yang akan di jadikan pembukaan UUD 1945, karena menghargai sikap keberatan dari pihak non Islam. Artinya umat Islam telah merelakan untuk menghilangkan tujuh kata dari rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta, demi persatuan dan keutuhan bangsa Indonesia. Padahal tujuh kata yang dicoret itu merupakan untaian kata-kata yang secara yuridis mempunyai makna yang strategis terhadap pemberlakuan hukum Islam bagi umat Islam Indonesia. Karena itu kerelaan umat Islam untuk menghilangkan tujuh kata tersebut, oleh Alamsyah Ratu Prawiranegara dinilai sebagai pengorbanan dan hadiah besar umat Islam kepada bangsa Indonesia.[2]
B. KERUKUNAN HIDUP ANTARUMAT BERAGAMA DALAM PANDANGAN ISLAM
1. Prinsip Kerukunan Hidup Antarumat beragama
Setiap agama mengandung ajaran untuk beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengajarkan dan mengharuskan kepada setiap pemeluknya untuk berprilaku benar, adil dan jujur. Setiap agama menghendaki kedamaian, cinta kasih, kerukunan, tolong menolong dan saling menghormati antar sesama umat manusia, apapun agamanya. Tidak ada agama yang membenarkan apalagi mengharuskan kepada pemeluknya untuk berbuat jahat, membenci, memusuhi dan merugikan sesama umat manusia. Demikian juga dengan ajaran agama Islam.
Secara etimology, kata “Islam”, berarti damai, sejahtera, selamat dan penyerahan diri. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mencintai sesama umat manusia, seperti mencintai diri sendiri. Bahkan keharusan mencintai sesama umat manusia, dalam Islam, dikaitkan dengan kualitas iman seseorang kepada Allah swt. (Hadits Nabi).
Dalam ajaran Islam dijelaskan bahwa Allah swt. menciptakan manusia dari jenis laki-laki dan perempuan, kemudian Allah menciptakan bersuku-suku, agar mereka mengenal satu sama lain:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz
 Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS: Al Hujarat:13).
 Islam selalu mengajarkan agar saling tolong menolong dan bekerja sama dalam kebaikan, dan jangan saling tolong-menolong dalam kejahatan dan permusuhan:
 (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 
Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al Maidah:2)
 oleh karena itu agama Islam mengajarkan dan menghendaki adanya kerukunan antarsesama umat manusia, apapun agamanya.
Prinsip-prinsip kerukunan antar umat beragama menurut ajaran Islam, di tegaskan dalam Al Qur’an dan sunah Rasulullah saw, masa sahabat sampai sekarang. Prinsip-prinsip itu antara lain sebagai berikut:
a). Islam tidak membenarkan adanya paksaan dalam memeluk suatu agama (QS. Al Baqarah: 256)
b). Allah swt tidak melarang orang Islam untuk berbuat baik, berlaku adil dan tidak boleh memusuhi penganut agama lain, selama mereka tidak memusuhi, tidak memerangi dan tidak mengusir orang Islam (QS al Mumtahanah:8)
c). Dalam pandangan Islam hanya agama Islam yang benar, namun Islam mengakui ekstistensi agama lain (QS Ali Imran: 19, 85, QS Al Maidah: 3, 77, QS. Al Tuabah: 33. setiap pemeluk agama mempunyai kebebasan untuk mengamalkan syariat Islam, dan bagi penganut agama lain, adalah amalan menurut syariat agama mereka masing-masing (QS. Al Baqarah: 139 dan QS: al Kafirun: 1-6)
d). Islam menghalalkan makan binatang sembelihan Ahli Kitab, dan menghalalkan laki-laki muslim mengawini wanita Ahli Kitab (Kitabiyah) (QS. Al Maidah:5)
e). Islam mengharuskan berbuat baik dan menghormati hak hak tetangga, tanpa membedakan agama tetangga tersebut. sikap menghormati terhadap tetangga itu di hubungkan dengan iman kepada Allah swt. dan Iman kepada hari akhir (Hadits Nabi riwayat Muttafaq alaih).
2. Praktek Kerukunan dan Toleransi antara Umat Islam dengan penganut Agama lain.
a). Nabi Muhammad saw. bersama sahabatnya pada awal dakwahnya, untuk menghindari tekanan dari kaum musyrikin Quraisy, pernah berhijrah (pindah, evakuasi) ke Abbesinia (Habsyi) yang rajanya beragama Nasrani. Hijrah ini terjadi dua kali yaitu pada tahun kelima dan tahun ketujuh kenabian. Disana mereka mendapat perlakuan yang baik sekalipun berbeda agama, karena sebagaimana kita maklumi bahwa salah satu inti pokok ajaran Kristen adalah mengasihi sesama manusia seperti mengasihi sendiri.[3]
b). Setelah Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah, beliau disana mendirikan negara bersama orang Nasrani dan Yahudi. Atas kesepakatan mereka, Nabi bertindak sebagai Kepala Negara dibawah konstitusi piagam Madinah yang dibuat oleh Nabi bersama Nasrani dan Yahudi. Tiga penganut agama tersebut hidup damai berdampingan dalam membangun dan mengatur negara Madinah.
c). Pada suatu waktu Muhammad Rasulullah saw. menerima utusan orang-orang Nasrani dari Bani Najran sebanyak 60 orang, diantaranya 14 orang tokoh terkemuka agama tersebut. maksud kedatangan mereka ingin mengenal Muhammad lebih dekat, dan apa sesungguhnya ajaran Islam yang dibawanya itu. Mereka adalah ahli kitab penduduk Madinah, penganut ajaran Nabi Isa a.s, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Injil.
Rasulullah menerima utusan tersebut di Masjid Madinah, yang waktu itu Rasulullah bersama kaum Muslimin baru selesai melaksanakan Shalat Ashar. Dalam satu riwayat, dari Ibnu Ishak dan Muhammad bin Ja’far bin Zubeir, utusan tersebut juga sempat melakukan shalat sesuai dengan ajaran agama mereka di Masjid Madinah, hal ini sebagaimana di uraikan oleh Ibn Al Qayyim Al Jauziyah, sebagai berikut:[4]
Telah datang bertemu kepada Rasulullah saw orang-orang Nasrani Bani Najran di Madinah. Para tamu tersebut masuk Masjid Nabi setelah Ashar. Kemudian tiba shalat mereka dan merekapun (Nasrani) shalat di Masjid tersebut. Para sahabat waktu itu akan melarang mereka, namun kemudian Nabi berkata: Biarkanlah mereka, dan mereka suruh menghadap ke Timur, maka kemudian mereka shalat sesuai dengan ketentuan shalat dalam agama mereka.
Dari uraian di atas, kita bisa meliahat, betapa besar toleransi yang diberikan oleh Rasulullah kepada mereka (Nasrani). Kondisi waktu itu tentu Nabi lebih tahu (karena beliau selalu terbimbing oleh Allah swt.), bahwa mereka adalah ahli kitab yang harus di hormati, karena mereka melaksanakan syari’at Nabi Isa a.s sebagaimana terdapat dalam injil, mereka menghormati dan tidak memusuhi (dalam bentuk apapun) umat Islam.
d). Diriwayat lain, dikisahkan Rasulullah saw mempunyai tetangga seorang Yahudi. Suatu ketika beliau menyembelih kambing dan memerintahkan kepada pelayanya untuk memberi daging kambing itu kepada tetangganya yang beragama Yahudi tersebut.
e). Dalam pandangan Islam hak-hak orang Islam diakui dan mereka harus diperlakukan secara adil, sebagaimana memperlakukan sesama umat Islam dan manusia pada umumnya. Lihat antara lain kisah peradilan yang mengadili Ali r.a, sebagai Amirul Mukminin/ Khalifah (Kepala Negara) dengan seorang penganut agama Yahudi yang dituduh mencuri baju besi (baju perang) milik Ali r.a. dalam pengadilan tersebut Ali r.a di kalahkan, karena tidak mempunyai bukti dalam tuduhanya.
f). Praktek kerukunan dan toleransi antar umat beragama yang dilaksanakan oleh Nabi, kemudian dilaksanakan oleh Nabi, kemudian dilaksanakan juga oleh para sahabat nabi dan para pengikutnya. Abu Bakar ra. Dalam perintahnya kepada pasukan yang akan berperang selalu mengingatkan untuk selalu berbuat adil, tidak kejam, tidak boleh merusak orang yang sudah mati, tidak boleh membunuh anak dan wanita, tidak boleh merusak saluran air, tidak boleh mengusik orang yang sedang beribadat dan tidak boleh merusak rumah ibadat termasuk gereja-gereja dan biara-biara.
g). Pada masa lalu, bangsa Indonesia sebenarnya sudah melaksanakan kerukunan dan toleransi antar umat beragama. Mereka telah mampu melakukan kerjasama dalam rangka mengusir penjajah, yang kemudian berhasil mendirikan negara kesatuan Republik Indonesia. Hubungan kerukunan hidup antar umat beragama nampak pula dari kedekatan letak beberapa rumah ibadat dari agama yang berbeda. Misalnya seperti di jakarta dimana letak masjid Istiqlal berdampingan dengan gereja Kathedral. Di Yogyakarta letak bangunan masjid Syuhada berdampingan dengan gereja. Di kota serang (Banten) letak Masjid Agung berdampingan dengan gereja. Di Banten (Kecamatan Kasemen Kabupaten Serang) letak Masjid Agung Banten berdekatan dengan Vihara.
Salah satu contoh lain adanya toleransi dari umat Islam dalam hubunganya dengan kehidupan antar umat beragama di Indonesia, adalah dicoretnya 7(tujuh) kata dalam alinea keempat piagam jakarta yang akan dijadikan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi yang akan diberlakukan di negara Republik Indonesia.
Menurut Mohammad Hatta, pencoretan 7 (tujuh) kata itu, dalam rangka menciptakan dan memelihara persatuan bangsa Indonesia dan keutuhan negara Republik Indonesia, disebabkan karena adanya keberatan dari sebagian bangsa Indonesia yang tidak beragama Islam.[5]
Dengan demikian sekalipun umat Islam merupakan mayoritas di Indonesia, namun mereka tetap menghargai hak-hak dan toleran terhadap umat minoritas. Umat agama minoritas mempunyai kebebasan untuk beribadat sesuai dengan ketentuan agamanya, tanpa merasa khawatir akan terganggu oleh pihak lain. Umat Islam menginginkan kedamaian, kerukunan bersama umat lainya diatas landasan pengakuan kebenaran teologi masing-masing dan kesepakatan-kesepakatan yang pernah dibuatnya. Umat Islam tidak akan mengganggu umat Islam. Mengenai hal ini tepat apa yang dikatakan Frans Magnis Suseno dalam “Diskusi Buku Tiga Agama Satu Tuhan” pada tanggal 26 November 1998....., bahwa “selama ini Islam tidak pernah mengancam minoritas lianya”.[6]
3. Batasan, Toleransi dan Kerjasama Antarumat Beragama
Bentuk kerukunan, toleransi dan kerja sama antarumat beragama menurut Islam, dibedakan dalam bidang akidah dan muamalah. Dengan berprinsip kepada ketentuan nash al Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad saw, bentuk kerukunan, toleransi dan kerjasama itu dapat di bedakan menjadi seberikut:
a. Bidang Akidah
Bidang akidah adalah prinsip-prinsip agama, termasuk di dalamnya masalah ketauhidan dan pelaksanaan ibadah mahdah. Bidang ini yang membedakan syari’at agama Islam dengan agama lain, seperti ucapan syahadat, kaifiyat (cara shalat), puasa, haji, pengakuan Muhammad saw sebagai Nabi terakhir (Khatamin Nabiyyin).
Dalam bidang akidah dan ibadah mahdah ini, bentuk kerukunan, toleransi dan kerjasama tidak boleh mengkaburkan dan merusak akidah dan atau ibadah itu sendiri, baik dengan cara tindakan orang lian yang mengkaburkan akidah dan ibadah syari’at Islam tersebut, maupun dengan cara orang Islam mengikuti upacara keagamaan orang non Islam. Kerukunan dan toleransi tidak di lakukan dengan kerjasama dan kompromi melaksanakan praktek upacara keagamaan atau ibadah bersama-sama. Kerukunan dan toleransi juga bukan berarti Islam mengakui kebenaran (membenarkan) agama-agama lain selain Islam, dan tidak boleh pula di artikan adanya kebolehan (pembenaran) orang Islam mengikuti upacara Ibadah agama lain.
Kerukunan, toleransi dalam bidang akidah dan ibadah ini dibatasi hanya sampai kepada adanya pengakuan kebebasan masing-masing pemeluk agama untuk melaksanakan ibadah agamanya masing-masing, tanpa adanya gangguan dari pihak manapun. Semua pelakasanaan ibadah harus dilakukan sesuai dengan ajaran agamanya, tidak boleh mengajak dan mengganggu kebebasan penganut agama lain.
Prinsip-prinsip diatas antara lain dapat dilihatdari nash Al Qur’an, seperti dalam QS.Al Kafirun:1-6, QS. Yunus: 99, QS. Al Kahfi: 29, QS. Al Baqarah. 139 dan 256, QS. Al Fath: 29.
b. Bidang Kemasyarakatan (Muamalat)
Bidang kemasyarakatan (muamalat) adalah bidang yang berkaitan dengan hubungan antar manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka. Bidang ini antara lain meliputi masalah perdagangan (jual-beli)kegiatan belajar mengajar, pertahanan negara, memelihara keamanan, kebersihan dan keindahan lingkungan, pemberantasan penyakit, pemberantasan buta huruf, kegiatan mensejahterakan kehidupan manusia dan kegiatan kemasyarakatan lainya.
Kerukunan, toleransi dan kerjasama di bidang ini lebih luas kalau dibandingkan dengan bidang akidah. Dalam bidang kemasyarakatan Islam memandang semua umat manusia adalah teman kerjasama bagi kepentingan masyarakat, tanpa membeda-bedakan apakah ia muslim atau bukan. Dalam pelaksanaan kerja sama tersebut tetap harus hati-hati dan waspada jangan sampai mengarah pada kekaburan prinsip-prinsip agama yang menuju kepada pembenaran semua agama atau mengandung unsur-unsur yang bersifat musyrik. Kerukunan, toleransi dan kerja sama, juga harus dilaksanakan dalam rangka memelihara keluhuran dan kesucian agama serta kepentingan umat umat Islam itu, baik kepentingan jangka pendek dan atau kepentingan jangka panjang. Kehati-hatian dalam melaksanakan kerukunan, toleransi dan kerjasama di bidang ini harus benar-benar diperhatikan, mengingat prinsip-prinsip agama dalam sisi tertentu tidak dapat dipisahkan secara mutlak antara masalah ibadah khusus (mahdhah) dengan masalah kemasyarakatan yang termasuk Ibadah secara umum (ibadah ghair mahdlah). Bagi orang Islam semua pekerjaan itu termasuk dalam kerangka ibadah kepada Allah swt. untuk itu landasan keimanan dan ketaqwaan serta kuatnya memegang prinsip agama menuju Li’ilai Kalimatillah harus benar-benar dimiliki oleh setiap muslim, dan menjadi pegangan utama, agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang dilarang oleh Islam itu sendiri. Prinsip dibenarkanya kerjasama dan hidup rukun dalam masalah muamalat ini, antara lain dilihat dalam QS: Al Mumtahanah: 8 dan 9, dan penegasan beberapa hadits Nabi Muhammad saw. kemudian menurut QS. Al Maidah: 5 , makan (sembelihan) orang-orang ahli kitab (kafir kitabiyah) halal bagi orang Islam dan sebaliknya. Dalam ayat tersebut dijelaskan pula bahwa wanita kafir kitabiyah halal di kawini oleh pria muslim. Namun para ulama berbeda pendapat tentang kriteria wanita kafir kitabiyah tersebut, dan kapan mereka bisa di kawini oleh para muslim dihubungkan dengan kondisi pemerintah setempat, berdasarkan pertimabangan kepentingan umat Islam (dalam hal kebolehan mengawini wanita kitabiyah ini, lebih jauh dipelajari pelaksanaan mengawini wanita kitabiyah tersebut, sejak zaman Nabi dan Sahabat sampai saat ini).
Di Indonesia, berdasarkan fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) yang tertuang dalam keputusan Masyawarah Nasional ke II MUI Nomor: 05/ Kep/ Munas II/ MUI/ 1980, menyatakan bahwa” seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslim. Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimabangkan bahwa mafsadatnya lebih besar dari pada maslahatnya, maka Majlis Ulama Indonesia memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram. Pendapat yang sama di putuskan juga oleh keputusan sidang seksi I Muktamar Majelis Tarjih Muhammadiyah ke XXII tanggal 15 Februari 1989, dan keputusan Muktamar ke XXVIII Nahdlatul Ulama Nomor: 03/ MNU-28/ 1989 tanggal 28 November 1989.
4. Tidak Boleh Mengganggu, Kecuali Kalau Diganggu
Dengan melihat kepada penegasan beberapa ayat al Qur’an dan Hadits Nabi, nampak bahwa sesungguhnya Islam menghendaki kedamaian dalam hidup bermasyarakat, baik dalam lingkungan intern umat Islam, maupun dalam kehidupan bersama manusia pada umumnya. Islam tidak membenarkan paksaan dalam beragama, atau kekerasan dalam hidup bermasyarakat. Sebab dengan cara itulah ketentraman dan kesejahteraan hidup manusia akan tercapai.
Dalam pelaksanaan hidup bermasyarakat, umat Islam tidak boleh mengganggu umat lain, dan umat lainpun tidak boleh mengganggu umat Islam, dalam bentuk gangguan apapun , baik fisik maupun non fisik. Umat Islam harus memberi kebebasan umat lainya untuk beribadat menurut agamanya masing-masing dan juga sebaliknya. Apabila umat Islam di ganggu kebebasanya, kehormatanya dan kepentinganya maka Islam membenarkan mempertahankan diri dalam rangka membela kesucian agama (hifz al din), mempertahankan jiwa (hifz al Nafs), menghindarkan kesukaran dan menjaga kesehatan akal (hifz al Aql), mempertahankan harta (hifz al maal), dan membela untuk mempertahankan kesucian keteraturan (hifz al nasl).
Prinsip-prinsip kedamaian yang di tuju oleh Islam dalam hidup bermasyarakat, dan dibolehkanya umat Islam mengadakan pembebasan kalau mereka di ganggu, antara lain dapat kita simak dalam ayat Al Qur’an, umpamanya yang mewajibkan berlaku kasih sayang sesama manusia (QS Al Anbiya: 107:
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
 QS. Al An’am: 54:
#sŒÎ)ur x8uä!%y` šúïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sム$uZÏG»tƒ$t«Î/ ö@à)sù íN»n=y öNä3øn=tæ ( |=tGx. öNä3š/u 4n?tã ÏmÅ¡øÿtR spyJôm§9$# ( ¼çm¯Rr& ô`tB Ÿ@ÏJtã öNä3YÏB #Läþqß 7's#»ygpg¿2 ¢OèO z>$s? .`ÏB ¾ÍnÏ÷èt/ yxn=ô¹r&ur ¼çm¯Rr'sù Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÎÍÈ
 “Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami itu datang kepadamu, Maka Katakanlah: "Salaamun alaikum. Tuhanmu Telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, Kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”


 QS: An Nahl: 125), yang mewajibkan berlaku adil pada sesama manusia, termasuk kepada non Islam (QS: Al Mumtahanan: 8-9, QS. An Nisa: 58, QS. An Nahl:90) yang melarang melakukan paksaan dan kekerasan terhadap manusia (  QS. Al Baqarah 139, 256, QS. Al Kafirun: 6, QS. Yunus: 99, QS. Al Mumtahanah: 8, QS. Al Ghasyiyah: 21, 26 dan QS. An Nahl: 125). Sedangkan ayat yang membenarkan melakukan pembalasan kepada yang mengganggu umat Islam dapat kita baca dalam QS. Al Mumtahanah: 9, QS. Al Hajj: 39, 40, QS. Al Baqarah: 190. Di samping ayat-ayat Al Qur’an di atas, prinsip-prinsip tersebut dapat pula kita temukan dalam berbagai hadis Rasulullah saw., baik hadis qauliyah maupun dalam praktek beliau waktu memimpin umat Islam, demikian pula praktek para sahabat setelah beliau wafat.
C. KERUKUNAN DAN TOLERANSI ANTARUMAT BERAGAMA DI INDONESIA
1. Tiga Kerukunan
Dalam rangka pembinaan dan pemeliharaan kerukunan hidup umat beragama, di upayakan adanya tiga kerukunan yaitu:
a. Kerukunan Intern  Umat beragama
b. Kerukunan Antarumat Beragama
c. Kerukunan Antara Umat beragama dengan pemerintah.
Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah sangat diperlukan bagi terciptanya stabilitas nasional dalam rangka pembangunan bangsa. Kerukunan ini harus didukung oleh adanya kerukunan antarumat beragama dan kerukunan intern umat beragama. Kerukunan yang di maksud bukan hanya sekedar terciptanya keadaan dimana tidak ada pertentangan dalam intern umat beragama, pertentangan antar umat beragama atau antarumat beragama dengan pemerintah. Kerukunan yang di kehendaki adalah suatu kondisi terciptanya hubungan yang harmonis dan kerjasama yang nyata, dengan tetap menghargai adanya perbedaan antar umat beragama dan kebebasan untuk menjalankan agama yang diyakininya, tanpa mengganggu kebebasan penganut agama lain. Jadi “kerukunan yang kita cita-citakan bukanlah sekedar ‘rukun-rukunan’ melainkan suatu kerukunan yang benar-benar otentik dan dinamis”.[7]   
Kerukunan adalah proses yang dinamis yang berlangsung sejalan dengan pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Pembinaan kerukunan hidup beragama adalah upaya yang dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah, teratur dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kerukunan hidup beragama, dengan:
1. Menanamkan pengertian akan nilai dan kehidupan bermasyarakat yang mampu mendukung kerukunan hidup beragama.
2. Mengusahakan lingkungan dan keadaan yang mampu menunjang sikap dan tingkah laku yang mengarah kepada kerukunan hidup beragama.
3. Menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan tingkah laku yang mewujudkan kerukunan hidup beragama.
            Kerukunan demikian inilah yang diharapkan sehingga dapat berfungsi sebagai fondasi yang kuat bagi terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa. Kondisi ini pada giliranya akan sangat bermanfaat bagi pelaksanaan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh umat beragama di Indonesia.
            Tugas mewujudkan kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia, adalah tugas bersama seluruh umat beragama di Indonesia dan pemerintah. Setiap individu dan kelompok umat beragama yang dalam keseharianya selalu terlibat dan berhubungan satu sama lain dalam berbagai kepentinganya, perlu memahami secara benar dan tepat akan arti kerukunan hidup umat beragama, bagi kepentingan mereka.
D. PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA MEMELIHARA KERUKUNAN
 UMAT BERAGAMA.
1. Pancasila, UUD 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, menjadi landasan pijak bagi terciptanya kerukunan hidup antarumat beragama di Indonesia. Antara satu agama dengan agama lainya, terdapat sisi persamaan di samping sisi perbedaanya. Di tengah-tengah berbagai pemeluk agama inilah muncul pancasila sebagai perjanjian luhur yang merupakan kesepakatan di antara semua umat beragama di Indonesia.
Pancasila merupakan penyekat yang bisa mempersatukan bangsa Indonesia, yang terdiri dari macam-macam pemeluk agama tersebut. Lebih dari itu pancasila di harapkan berperan sebagai “polisi lalu lintas”bagi kehidupan beragama yang mampu memberikan titik temu dalam pandangan yang saling berbeda. Pada giliranya ia akan berperan menjadi jembatan penghubung antara pemeluk agama di Indonesia, tanpa mengganggu kedaulatan teologis masing-masing agama yang di yakininya.[8]
Landasan lain yang menjadi acuan kerukunan hidup antarumat beragama adalah Tap MPR No. IV/ MPR/ 1999 tentang Garis- Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam bab III GBHN 1999 disebutkan bahwa di antara misi bangsa Indonesia untuk mewujudkan visinya adalah (1) pengamalan pancasila secara konsisten dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, (2) penegakan kedaulatan rakyat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, (3) peningkatan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan dan mantapnya persaudaraan umat beragama yang berakhlak mulia, toleran, rukun dan damai, (4) dan seterusnya (bab III, huruf B Tap MPR No. IV/ MPR/ 1999).
2. Perundang-undangan lain
Dalam rangka menciptakan kerukunan hidup beragama di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan sebagai rambu-rambu yang harus di patuhi oleh semua pihak. Peratuaran itu sebagai kode etik (norma) dalam lalu lintas kehidupan beragama, agar semua pemeluk agama mempunyai kebebasan untuk menjalankan Ibadah sesuai dengan syari’at agamanya masing-masing, dengan aman, damai, tanpa ada gangguan dari pihak manapun.
Perundang-undanan itu antara lain:
a.Undang-undang No.1/PNPS/1965 tanggal 27 Januari 1965, tentang pencegahan, penyalahgunaan dan atau penodaan Agama. Undang undang ini di masukan menjadi pasal 156 a kitab undang-undang  Hukum pidana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar