Sabtu, 13 Agustus 2011

MEMAHAMI IJTIHAD UMAR IBN AL-KHATTAB (Kajian Fiqh Menurut Pendekatan Maqashid Al-Syari’ah)


MEMAHAMI IJTIHAD UMAR IBN AL-KHATTAB
(Kajian Fiqh Menurut Pendekatan Maqashid Al-Syari’ah)
Oleh: Kholid Ma'mun

  1. Pendahuluan

Berbicara tentang pembentukan atau pengembangan hukum yang dalam istilah usul fiqh disebut degan ijtihad maka secara otomatis hal ini juga berkaitan erat dengan perubahan-perubahan sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Secara umum ijtihad[1] itu dapat dikatakan suatu upaya berpikir secara optimal dalam menggali hukum Islam dari sumbernya untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat.
                Diantara sekian banyak prinsip yang dikenal didalam Islam adalah sebagai sumber syari’at dan hukum, baik hukum yang dikenal melalui jalur nash sharih (jelas) dari Al-Qur’an atau As-Sunnah, ataupun melalui ijtihad para mujtahid, karena peran mujtahid itu hanya terbatas pada memperjelas atau memunculkan hukum Allah serta menemukannya melalui jalan istinbath (penetapan hukum berdasarkan teks Al-Qur’an atau As-Sunnah) yang bersifat nalar didalam lingkup tujuan-tujuan syari’at serta sesuai pula dengan jiwanya yang umum, namun karena karunia dan perlakuan baik-Nya, maka Allah telah menetapkan untuk diri-Nya sikap rahim-Nya kepada manusia. Karena itu, Dia tidak membuat sesuatu ketetapan kecuali yang sesuai dengan hikmah yang dapat mewujudkan maslahat menjadi kenyataan, karenanya apa yang dibolehkan-Nya maka itu adalah manfaat dan baik, dan apa yang diharamkan-Nya maka itu adalah merusak dan kotor atau jelek.[2]
                Prinsip ini  adalah merupakan hasil penelitian yang berdasarkan atas ketetapan-ketetapan hukum syari’at, yang kesemuanya ditetapkan untuk merealisasi kemaslahatan manusia, baik untuk meraih keuntungan baik di dunia maupun di akhirat.
                Para pakar hukum Islam telah konsensus bahwa Al-Qur’an merupakan dalil atau sumber pokok hukum Islam. Selaku dalil hukum Islam, al-Qur’an telah meletakkan dasar-dasar pokok dan prinsip-prinsip umum tentang ihwal hukum Islam[3].
                Seorang mujtahid tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagai hujjah (landasan hukum) sebelum membahas dan meneliti ayat Al-Qur’an. Apabila suatu masalah yang dicari tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, maka barulah ia mempergunakan dalil lain.
Perhatian Al-Qur’an tentang maqashid syari’ah dapat kita lihat dalam penegasan Al-Qur’an tentang latar belakang dan tujuan kenapa? dan untuk apa? manusia diciptakan oleh Allah. Hal ini antara lain dapat kita simak dari beberapa ayat Al-Qur’an sebagai berikut: surat Al-Baqarah [2]: ayat 30:
øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿãƒ
$pkŽÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès?  
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

                Ayat ini selain menegaskan rencana Allah untuk menciptakan umat manusia dimuka bumi yang disampaikannya kepada para malaikat, sekaligus juga menegaskan tujuan untuk apa umat manusia diciptakan, yaitu sebagai khalifah. Dengan demikian, manusia diciptakan oleh Allah swt. untuk tujuan yang sangat agung dan mulia yang justru tidak diberikan kepada para malaikat. Tugas sebagai khalifah merupakan kemaslahatan yang ingin diraih dibalik rahasia penciptaan umat manusia.
Dalam surat az-Zariyat [51]: 56: juga di sebutkan:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9  
Artinya: “Dan aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (Allah)”.

                Ayat ini secara jelas menegaskan bahwa tujuan manusia dan jin diciptakan oleh Allah swt. adalah untuk menyembah, mengabdi dan beribadat kepada-Nya[4]. Jadi bukan tanpa tujuan. Dengan demikian, pengabdian dan beribadat kepada Allah merupakan suatu kemaslahatan yang dikehendaki oleh Allah dibalik rahasia kenapa jin dan manusia itu diciptakan. Sisi lain, bila tugas ini dapat ditunaikan dengan sebaik-baiknya oleh manusia, maka maslahat dan manfaatnya akan kembali pula kepada manusia itu sendiri.
Demikian juga, Apabila kita telusuri pada masa-masa awal Islam ketika Nabi Muhammad saw. masih hidup, tampaknya perhatian terhadap maqashid al-syari’ah dalam pembentukan hukum sudah muncul. Sebagai contoh dalam sebuah hadits, Nabi pernah melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban kecuali dalam batas tertentu sekedar perbekalan untuk waktu tiga hari. Namun selang beberapa tahun, ketentuan yang diberikan Nabi oleh para sahabat terdapat perbedaan dalam pelaksanaanya. Permasalahan ini dikemukakan kepada Nabi. Pada waktu itu Nabi membenarkan tindakan para sahabat sembari menjelaskan bahwa hukum pelarangan penyimpanan daging kurban itu didasarkan atas kepentingan al-daffah (tamu yang terdiri dari orang-orang miskin yang datang dari perkampungan Badawi ke kota Madinah). Sekarang kata Nabi, simpanlah daging-daging kurban itu karena tidak ada lagi tamu yang membutuhkanya.[5]
Dalam suatu riwayat yang lain, berkaitan dengan ziarah kubur, pada permulaan Islam Nabi melarang kaum muslimin berziarah ke kuburan. Namun kemudian beliau memperbolehkan ziarah kubur.[6]
Dua contoh diatas menunjukkan bahwa pada masa Nabi masih hidup, maqashid al-syari’ah telah menjadi pertimbangan yang menjadi landasan penetapan hukum, walaupun secara teoritis tidak dikemukakan kajian tentang maqashid al-syari’ah sebagaiman yang terdapat dalam perkembangan ilmu ushul fiqh pada masa jauh sesudah wafat Nabi. Artinya, secara substansial maqashid al-syari’ah telah pula menjadi perhatian.
Dalam contoh pertama, larangan menyimpan daging kurban. Adanya pelarangan itu diharapkan tujuan syari’at dapat dicapai yakni memberi kelapangan kaum muslimin yang berdatangan dari desa-desa yang berada di kota Madinah. Setelah alasan pelarangan tersebut tidak ada lagi, maka larangan itu sendiri tidak diberlakukan oleh Nabi. Dalam contoh kedua (ziarah kubur), tujuan hukumnya adalah menjauhkan kemungkinan orang melakukan pemujaan atau pentaqdisan (pensucian) terhadap roh/arwah ataupun kuburan. Maka segala sesuatu yang dianggap dapat membawa kepada hal-hal yang harus dihindari itu seperti ziarah ke kubur bagi ummat Islam yang belum kuat imannya harus diberlakukan. Akan tetapi larangan tersebut tidak diberlakukan lagi bila mereka telah memiliki keimanan yang kuat.
Dalam thesis ini penulis ingin mengkaji secara kritis dan terbuka bagaimana sesungguhnya pemikiran yang dikembangkan oleh Umar Ibn al-Khattab dalam hukum Islam, lalu apakah hasil Ijtihad Umar Ibn al-Khattab bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits ataukah sesuai dengan maksud Syari’? serta bagaimanakah metode yang dikembangkan oleh Umar Ibn al-Khattab dalam berijtihad sehingga implementasi hukum yang dihasilkan tidak sama dengan ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, kemudian apabila pemikiran Umar bertentangan dengan maksud dan tujuan Syari’, dimanakah letak ketidak sesuaianya? Dan sebaliknya apabila pendapat Umar tersebut dinyatakan sesuai dengan maksud dan tujuan Syari’ dimanakah letak kesesuaianya? Inilah kiranya latar belakang yang menjadikan penulis menulis tesis ini “MEMAHAMI IJTIHAD UMAR IBN AL-KHATTAB (Kajian Fiqh Menurut Pendekatan Maqashid Al-Syari’ah)”.




[1] Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul Fiqh, Kairo: Daar Al-Kuwaitiyah, 1968), hal 216
[2] Wahbah Az-Zuhaili, Nazhariyyah Al-Dharurah  Al-Syari’ah Muqaranah Ma’a Qanun Al-Wadli’i, hal 1, Muassasah Ar-Risalah, Damaskus. Bandingkan dengan Edisi Indonesia, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam Studi Banding Dengan Hukum Positif, Penerjemah: Said Agil Husain Al-Munawwar  dan M Hadri Hasan, hal 1, Penerbit Gaya Media Pratama Jakarta-Jakarta, Cet Pertama Sya’ban 1417 H/ Januari 1997 M.
[3] Nuruddin Mukhtar Al-Khadimi, Al-Ijtihad Al-Maqashidi, Hujjiyatuhu…..Dhawabituhu…….Majjalatuhu, Juz 1, hal 69, Kitab Al-Ummah, th ke 18, Edisi 65, th 1419 H
[4] Nuruddin Mukhtar Al-Khadimi, Al-Ijtihad Al-Maqashidi, Hujjiyatuhu…..Dhawabituhu…….Majjalatuhu, Juz 1, hal 70, Kitab Al-Ummah, th ke 18, Edisi 65, th 1419 H
[5] Malik bin Anas, Al-Muwatta’ di tashih oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi’ (tt.T.P.,T.th), hal. 299
[6] Malik bin Anas, Al-Muwatta’ di tashih oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi’,............ hal 300