Selasa, 03 Mei 2011

KEDUDUKAN WALI DAN SAKSI DALAM PERNIKAHAN KAJIAN FIQH PERBANDINGAN


Oleh: Kholid Ma'mun
A. Pendahuluan
Salah satu ajaran yang terpenting dalam Islam adalah pernikahan (perkawian). Begitu pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga dalam Al-Qur’an terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai masalah pernikahan. Bila kita amati secara mendalam, maka salah satu maksud disyariatkanya agama Islam oleh Allah swt adalah untuk memelihara keturunan.[1] Pernikahan disyariatkan oleh Islam karena merupakan salah satu usaha untuk memelihara kemuliaan keturunan serta menjadi kunci kemasyarakat. Oleh sebab itu adanya lembaga perkawinan merupakan suatu kebutuhan pokok umat manusia guna memelihara kedamaian dan keteraturan dalam kehidupan. Dengan demikian, maka persoalan perkawinan yang diatur sedemikian rapi oleh Islam bukanlah suatu persoalan yang bisa di kesampingkan begitu saja, tetapi merupakan salah satu institusi suci yang mutlak harus diikuti  dan dipelihara.
Tujuan mendirikan rumah tangga yang kekal dan harmonis yang diikat oleh tali pernikahan merupakan hal yang suci. Namun demikian, tidak jarang terjadi bahwa tujuan yang mulia tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan. Suatu tugas mulia bisa saja tidak mencapai sasaran yang diharapkan bila kendalinya dipegang oleh orang yang tidak pantas untuk itu, termasuk dalam pembinaan rumah tangga. Apabila suami istri atau salah seorang dari mereka belum memiliki kedewasaan, baik fisik ataupun rohani, maka pembinaan rumah tangga itu akan menjadi sulit. Menurut  Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, orang muda yang akan menempuh kehidupan rumah tangga hanya dapat mengartikan cinta sebagai suatu keindahan dan romantisme belaka. Mereka baru memiliki cinta emosi, karena belum diikat oleh rasa tanggung jawab yang sempurna.[2]
Dalam ajaran agama Islam di katakan bahwa: semua tindakan dan prilaku yang kita lakukan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Allah swt dan masyarakat, termasuk dalam pembinaan kehidupan rumah tangga. Prilaku yang bertanggung jawab merupakan salah satu indikasi kedewasaan. Dalam hal ini, tanggung jawab mengandung dua hal penting. Pertama, orang yang bertanggung jawab harus dapat bereaksi dan bertindak secara tepat dalam setiap situasi dan masalah. Kedua, ialah berani menghadapi kenyataan, tidak lari dari kenyataan. Ia mau menerima resiko dari segala perbuatanya, tidak membohongi orang lain, apalagi membohongi dirinya sendiri.[3] Karena perlunya rasa tanggung jawab inilah maka dalam perkawinan Islam memiliki rukun dan Syarat tertentu yang harus dipenuhi. Dan yang termasuk dalam syarat sahnya pernikahan adalah adanya wali dan saksi, maka dalam makalah ini pemakalah ingin mencoba mengupas tentang kedudukan wali dan saksi dalam pernikahan.
Menurut Imam Malik dan Syafi’i, salah satu syarat sahnya nikah ialah adanya wali. Namun demikian, Daud Al-Zhahiri berpendapat bahwa wali hanya diperlukan bagi perawan.[4] Daud berpendapat demikian tampaknya dikarenakan ia memandang perawan sebagai orang yang belum mampu memikul tanggung jawab secara penuh atau belum dewasa. Karena wanita janda dinilainya telah mengetahui arti rumah tangga dan mengetahui akan tanggung jawabnya, ia tidak disyaratkan memakai wali dalam pernikahan. Pendirian yang hampir sejalan dengan pendapat Daud itu terlihat pula pada pendapat Abu Hanifah yang tidak mensyaratkan adanya wali asalkan suami dari wanita itu sebanding (sekufu). Abu Hanifah dan muridnya, Abu Yusuf, malah membolehkan wanita menikahkan dirinya asalkan wanita itu waras dan dewasa, dan tidak harus janda. Menurutnya, adanya wali dalam pernikahan hanyalah sunat saja, yaitu untuk memelihara kehormatan dan kemuliaan wanita.[5]  Inilah sedikit gambaran pendahuluan pembahasan makalah dengan tema “kedudukan wali dan saksi dalam pernikahan” untuk lebih jelasnya pemakalah akan menjelaskan mulai dari definisi nikah, pendapat ulama  tentang kedudukan wali dan saksi dalam pernikahan, dalil yang di pakai sebagai argumen, wajh dilalah, munaqasyah dalil, asbabul khilaf, dan pendapat yang relevan dalam masalah tersebut.

B. Pegertian Nikah (zawaj)
Nikah secara etimologi adalah “mengumpulkan, atau pengibaratan dari setubuh, hubungan seksual dan akad”. Sedangkan Nikah dalam bahasa syara’ disebut dengan “akad perkawinan, ikatan perkawinan”. Adapun nikah secara terminologi adalah “suatu akad yang didalamnya mengandung makna diperbolehkanya istimta’ (bersenang-senang) terhadap perempuan. Baik dengan cara bersetubuh, senggama, mencium, bercampur atau berkumpul ataupun dengan cara yang lainya. Dan itu semua dilakukan kepada wanita yang selain mahramnya baik secara nasab, persusuan ataupun hubungan kerabat karena pernikan”.[6]
Lafadz Nikah mengandung tiga macam pengertian:
1. Menurut bahasa, ”nikah” berarti “berkumpul” atau “menindas” dan “saling memasukan”.[7]
2. Menurut Ahli Usul, “nikah” berarti:
a. Menurut ahli usul hanafiyah-nikah- menurut aslinya berarti bersetubuh, dan secara majazi (metaphoric) ialah” akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dengan wanita.
b. Ahli Usul Syafi’iyah mengatakan, nikah menurut aslinya ialah akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita sedang menurut arti majazi ialah bersetubuh.[8]   
c. Abu Qasim al-Zajjad, Imam Yahya, Ibn Hazm dan sebagian Ahli Usul dari sahabat Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah mengandung kedua arti sekaligus, yaitu sebagai akad dan setubuh.[9]

C. Rukun Nikah
Berikut ini adalah rukun nikah menurut madzhab Syafi’iyah:
1. Shighoh
2. Pengantin perempuan
3. Dua orang saksi
4. Pengantin laki-laki
5. Wali.[10]
Rukun nikah menurut jumhur:
1. Shigat (ijab dan qabul)
2. pengantin perempuan
3. pengantin laki-laki
4. wali

D. Definisi Rukun
Rukun menurut madzhab Hanafiah adalah: sesuatu yang terhenti sebab tidak adanya sesuatu tersebut dan dia masuk didalam hakikat sesuatu tersebut. Sedangkan syarat menurutnya adalah: sesuatu yang terhenti sebab tidak adanya sesuatu tersebut dan dia tidak masuk didalam hakikat sesutau tersebut.
Sedangkan rukun menurut Jumhur adalah: sesuatu yang harus ada, sesuatu yang tidak mungkin kecuali dengan keberadaanya, atau sesuatu yang harus dan tidak boleh tidak. Sedangkan syarat adalah: sesuatu yang terhenti sebab tidak adanya sesuatu tersebut dan dia tidak termasuk didalamnya.
Semua ulama bersepakat bahwa ijab dan qabul merupakan rukun nikah.
Rukun nikah menurut hanafiah ada dua yaitu: ijab dan qabul.
Sedangkan rukun nikah menurut jumhur ada empat yaitu: shigat (ijab dan qabul) zaujah (pengantin perempuan), zauj (pengantin laki-laki), wali yaitu mereka yang saling melakukan aqad. Sedangkan ma’qud alaih (yang di ucapkan) yaitu lafadz istimta’. Sedangkan mahar tidak berpengaruh terhadap akad. Akan tetapi termasuk syarat  sebagimana syahid (saksi).[11]
Ijab menurut ulama Hanafiah: sesuatu yang di ucapkan di awal baik dari pengantin laki-laki atau pengantin perempuan. Sedangkan qabul menurutnya adalah: sesuatu yang datang setelahnya yang datang dari pihak lain.  
Sedangkan ijab  menurut jumhur adalah: lafadz yang berasal dari wali atau orang yang mewakilinya, sedangkan qabul adalah: lafadz yang menunjukan keridhoan terhadap suatu  pernikahan yang di ucapkan dari zauj (mempelai laki-laki). misal: apabila seorang laki-laki mengatakan kepada seorang wanita: aku nikahkan diriku denganmu, kemudian wanita tersebut menjawab: aku terima nikahmu. Contoh ucapan seperti ini menurut Hanafiyah lafadz pertama-yang diucapkan oleh laki-laki- (aku nikahkan diriku denganmu). Disebut dengan ijab sedangkan lafadz yang kedua-yang diucapkan oleh perempuan- (aku terima) disebut dengan qabul. Sedangkan menurut jumhur sebaliknya.

E. Perwalian (الولاية )
1. Definisi perwalian:
Al wilayah/ perwalian secara etimologi adalah النصرة pertolongan atau bantuan, dan mengerjakanya seseorang terhadap pekerjaan orang lain”. Sedangkan secara terminologi fuqaha wali adalah “mampu untuk melaksanakan akad dan tasharruf, yang bisa terlaksana atas izin seseorang”. [12]
Atau juga perwalian dalam istilah fiqih disebut dengan “wilayah” yang berarti penguasaan” dan “perlindungan” menurut istilah fiqih yang dimaksud perwalian ialah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang.
Penguasaan dan perlindungan ini disebabkan oleh:
a. pemilikan atas orang atau barang, seperti perwalian atas budak yang dimiliki atau barang yang dimiliki.
b. hubungan kerabat atau keturunan, seperti perwalian seseorang atas salah seorang kerabatnya atau anak-anaknya.
c. karena memerdekakan seseorang budak, seperti perwalian seseorang atas budak-budak yang telah dimerdekakanya.
d. karena pengangkatan seperti perwalian seseorang kepala negara atas rakyatnya atau perwalian seseorang pemimpin atas orang-orang yang dipimpinya.

2. Pembagian wilayah
Secara garis besar, perwalian dapat dibagi atas:
a. perwalian atas orang
b. perwalian atas barang
c. perwalian atas orang dalam perkawinanya.[13]
Sedangkan dalam penjelasan kitab “al Fiqh al Muqaran li al ahwal asysakhsyiah baina al Madzahib al Arba’ah as Sunniyah wa Al Madzahib al Ja’fari wa al Qanun” pembagian wilayah/ perwalian sebagaimana berikut:
a. wilayah qashirah (terbatas)
b. wilayah muta’adiyah (tidak terbatas)
wilayah qashirah (terbatas) adalah: perwalianya seseorang terhadap dirinya sendiri dan juga hartanya, dan ini akan terjadi secara otomatis apabila seseorang menjadi merdeka, baligh, dan juga berakal.
Sedangkan wilayah muta’adiyah adalah (tidak terbatas) yaitu perwalianya seseorang terhadap selain dirinya. Dan perwalian ini tidak terjadi kecuali mereka sudah bisa menjadi wali bagi dirinya sendiri. Perwalian muta’addiyah ini terjadi terbagi menjadi dua yaitu: ashliyah (asli) dan niyabah (tidak asli/ walil). Adapun yang asli adalah perwalian yang memang sudah secara otomatis/ tidak di dapatkan dari orang lain seperti halnya ayah dan kakek perwalian ini terjadi dikarenakan sebab ubuwah (menjadi ayah). Adapun perwalian niyabah (wakil) adalah perwalian yang di dapat dari selain keduanya sebagaimana perwalianya qadhi, washi (mushi/ yang meninggalkan warisan) karena qadhi mendapatkan perwalianya dari hakim dan imam dialah yang menjadi wakil semua urusanya.

Keberadaan wali dalam sebuah akad nikah merupakan salah satu syarat sahnya nikah, adapun  syarat sahnya nikah sebagaimana yang dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili dalam “al Fiqhu al Islami wa ‘adillatuhu” adalah sebagaimana berikut[14]
1. Almahalliyah al far’iyyah: maksudnya wanita yang dinikah tidak haram muaqqat, haram syubhat, diperselisihkan para fuqaha, seperti halnya menikahi perempuan yang ditalaq bain tetapi masih dalam masa iddah, menikahi saudara perempuan istri yang ditalaq sedangkan dia masih dalam masa iddah, menikahi dua saudara kandung.
2. Sighat ijab kabul harus menggunakan shigat muabbadah (untuk selamanya).
3. Adanya saksi
4. Ridha dan tidak ada paksaan
5. Ta’yin (pernyataan) baik dari suami ataupun istri
6. Pengantin laki-laki, perempuan dan juga wali tidak dalam kedaan ihram haji ataupun umrah.
7. Adanya shadaq/ mahar (mas kawin).
8. Tidak adanya tawathu’ (kompromi) antara suami dengan para saksi untuk merahasiakan pernikahan.
9. Zaujain (pengantin laki-laki da perempuan) tidak dalam keadaan sakit (sakit yang membahayakan).
10. Adanya wali
Dalam penjelasan ini pemakalah tidak membahas semua syarat akan tetapi hanya akan membahas tentang wali.

3. Istilah perwalian dalam pernikahan.
            Didalam pernikahan dikenal beberapa macam nama wali (orang yang berhak menjadi wakil dari pihak perempuan dalam suatu pernikahan)[15]:
1. Wali mujbir
2. Wali nasab
3. Wali hakim
1. Wali mujbir (wali dengan hak paksa).
Ialah wali nikah yang mempunyai hak memaksa anak gadisnya menikah dengan seorang laki-laki dalam batas-batas yang wajar. Wali mujbir ini adalah mereka yang mempunyai garis keturunan keatas dengan perempuan yang akan menikah. Sedangkan mereka yang termasuk dalam wali mujbir adalah ayah dan seterusnya keatas menurut garis patrillineal. Wali mujbir dapat mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya jika penting untuk kebaikan putrinya.
Kebolehan wali mujbir ini dengan syarat-syarat:
1. Jika putrinya dinikahkan dengan laki-laki sekufu
2. Jika mahar yang diberikan calon suami sebanding dengan kedudukan putrinya (mahar mitsl).
3. Jika tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan.
4. Jika tidak ada konflik kepentingan antara wali mujbir dengan putrinya denga laki-laki (calon suaminya).
5. Jika putrinya tidak mengingkarkan ia tidak perawan lagi.
Dasar hukum yang membolehkan kawin paksa diantaranya ialah:
a. Sabda Rasulullah saw:
الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر يزوجها أبوها (رواه الدار قطني)
“janda itu lebih berhak mengatur dirinya dari pada walinya, sedangkan gadis, bapaknya boleh mengawinkanya” (HR. Ad Daruquthni)
2. Nabi Muhammad saw mengawin siti Aisyah ra ketika berumur 6 tahun
Meskipun wali mujbir dibolehkan untuk memaksakan putrinya untuk menikah dengan laki-laki tetapi sangat dianjurkan minta persetujuan putrinya terlebih dahulu.
Disamping kekuasaan wali mujbir menjadi hilang apabila putrinya telah janda, maksudnya seorang wali mujbir tidak berhak untuk memaksa putrinya yang telah janda untuk dinikahkan dengan laki-laki, sebagaimana yang terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 232:
#sŒÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurør& #sŒÎ) (#öq|ʺts? NæhuZ÷t/ Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 3 y7Ï9ºsŒ àátãqム¾ÏmÎ/ `tB tb%x. öNä3ZÏB ß`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 3 ö/ä3Ï9ºsŒ 4s1ør& ö/ä3s9 ãygôÛr&ur 3 ª!$#ur ãNn=÷ètƒ ÷LäêRr&ur Ÿw tbqßJn=÷ès?
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui”.
2. Wali Nasab
            Wali nikah yang memiliki hubungan keluarga calon pengantin perempuan, wali nasab ialah saudara laki-laki sekandung, bapak, paman, beserta keturunanya menurut garis patrilineal (laki-laki).
3. Wali Hakim
            Wali yang ditunjuk dengan kesepakatan kedua belah pihak (calon suami istri). Wali hakim itu harus mempunyai pengetahuan sama dengan Qadhi
           
4. Pendapat ulama tentang wilayah
-permasalahan-
Bagaimanakah apabila wanita menikah tanpa adanya wali?[16]

1). Pendapat pertama ( Jumhur ulama -selain hanafiyah)-tidak sah nikahnya-
Dalil argumen pendapat pertama:
Al Qur’an: surat Al Baqarah ayat 232:
Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurør&  (البقرة 232)
Artinya: Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya (al Baqarah 232)
Imam Syafi’i berkomentar tentang ayat diatas “ayat di atas menunjukan dengan jelas tentang posisi wali”
Argumen kedua hadits Rasulullah saw:
لانكاح الا بولي (رواه الخمسة)[17]
Artinya: tidak ada nikah (tidak sah) nikah kecuali dengan adanya wali. (H.R. Al Khamsah)
Hadits ini menafikan hakikah syar’iyah dengan hadits Aisyah
 ايما إمرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل باطل باطل فان دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها فان اشتجروا فا السلطان ولي من لا ولي له (رواه أحمد والاربعة إلا النسائ وصححه الترمذى وابو عوانة وابن حبان والحاكم وابن معين وغيره من الحفاظ.[18]
Artinya: wanita manapun yang menikah dengan tanpa ada izin dari walinya maka hukum pernikahanya bathil, bathil, bathil. Apabila dia di dukhul maka mahar berhak baginya karena dia telah di dihalalkan farjinya maka apabila mereka berseteru (isytajaruu) maka sulthan wali orang yang tidak ada walinya. (H.R. Ahmad dan Arba’ah kecuali An Nasa’i, dan di anggap sahih oleh At Tirmidzi, Abi Awanah, Ibn Hibban, Hakim, Ibn Ma’in dan Huffadz yang lainya).

Dan argumen ke tiga hadits Rasulullah saw:
لا تزوج المرأة المرأة ولا تزوج المرأة نفسها (رواه إبن ما جه والدار قطني ورجاله ثقات عن أبي هريرة[19]
Artinya: wanita tidak sah menikahkan wanita lain dan wanita tidak sah menikahkan dirinya sendiri (H. R. Ibnu Majah, ad Daruqutni, dan rijalny tsiqot dari Abi Hurairah).

Dalil hadits ketiga ini menunjukan bahwa tidak boleh bagi wanita untuk menjadi wali dalam pernikahan baik bagi dirinya sendiri ataupun bagi orang lain.

2). Pendapat kedua –Hanafiyah-dalam dzhahir riwayat-dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf r.a. bahwa bagi wanita yang berakal, baligh, bisa menikahkan dirinya sendiri dan juga menikahkan anaknya yang masih kecil. Serta bisa mewakili orang lain akan tetapi apabila menyerahkan dirinya kepada laki-laki yang tidak sekufu maka bagi walinya boleh menentangnya. Atau dengan pengertian yang lain: bahwa nikahnya seorang wanita baik perawan atau janda yang yang baligh berakal walaupun tanpa ada wali. Atau dengan bahasa lain bahwa wilayah (perwalian) sunah hukumnya. Sedangkan menurut Muhammad (Muhammad As Syibani) hukumnya adalah: sah tetapi mauquf.

Dalil argumen kelompak kedua:
Al Qur’an surat Al Baqarah ayat ke 230:
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuŽöxî
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain”.
Al Qur’an surat al Baqarah ayat 232:
#sŒÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurør&

Tidak ada komentar:

Posting Komentar