Kamis, 05 Mei 2011

MENGUAK PERSPEKTIF MAKNA KEADILAN DALAM AL QUR’AN



 
A.  Latar belakang Masalah
Sebagai landasan normatif, Al Qur’an memfungsikan dirinya menjadi petunjuk bagi manusia (hudan li al nas), yang bertujuan untuk membimbing agar hidup manusia menjadi bermoral. Semangat dasar Al Qur’an adalah semangat moral[1]. Pesan moral Al Qur’an (al akhlaq al Qur’an) terbentang dalam keseluruhan isi dan kandunganya, dan menempatkan keadilan sebagai bahagian yang terpenting di dalam pesan itu.
            Ayat-ayat mengenai keadilan (al adl) dan yang semakna dengan keadilan seperti, al-qisth, al-mizan, dan al-wasath terdapat dalam berbagai tempat dalam Al Qur’an. Selain dari ungkapan-ungkapan yang secara eksplisit menyebut kata keadilan, sebenarnya pada ayat-ayat dan surat-surat yang paling awal, gagasan dan pikiran tentang keadilan telah datang secara bersamaan. Kenyataan ini sangat beralasan, karena kondisi riil dan objektif yang dihadapi oleh  Nabi Muhammad Saw. Setelah beliau memperkenalkan ajaran tauhid (monoteisme) adalah implikasinya tentang keadilan.
            Keadilan memang mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan ajaran tauhid. Derivasi ajaran tauhid yang memberi penekanan kepada “pemerdekaan diri” (tahrir al nafs) secara individu, dan sekaligus membawa pesan “persamaan” (al musawah) dalam kehidupan sosial, jelas menurut tegaknya keadilan dalam seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu, segala bentuk tindakan yang tidak berkeadilan dan kepemilikan kekayaan yang berlebih-lebihan oleh sementara penduduk Mekkah seperti yang dikritik dalam sejumlah ayat-ayat Makkiyah[2] jelas bertentangan dengan konsep tauhid dan pesan keadilan yang diajarkan oleh Al Qur’an.
            Apabila dicermati simpul-simpul keadilan yang berakar kata العدل terdapat dapam Al Qur’an sebanyak 28 kali.[3] Satu di antaranya terdapat dalam firman Allah Surat al Nahl/16:90:
bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGƒÎ)ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcr㍩.xs? ÇÒÉÈ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
            Kata العدل dari segi bahasa mengandung beragam arti, karena ia sebuah kosa kata yang mengandung makna yang sangat luas. Dari sekian makna itu, menurut Muhammad Husain al Thabathaba’i dapat disimpulkan ke dalam subtansi:
لزوم الوسط والاجتناب عن جانبي الافراط والتفريط[4]
“senantiasa (mengambil posisi) moderat dan menghindari dua posisi ekstrem, ifrath (lebih) dan tafrith (kurang).”
            Al Raghib al Isfahani, yang secara khusus mencurahkan perhatianya dalam telaahan makna kosa kata dan stukturnya dalam kaliamat yang terdapat dalam Al Qur’an pada sub العدل membagi makna keadilan kepada dua macam. Pertama, keadilan mutlak (absolut) yang pertimbanganya didasarkan kepada akal budi, dan ia bersifat universal, kerena tidak mengalami perubahan dan berlaku sepanjang zaman. Kedua, keadilan yang ditetapkan melalui ketentuan syara’ dan dapat mengalami perubahan dan pembatalan sejalan dengan perubahan kepentingan dan tuntunan zaman.[5] Makna yang dikandung oleh bahagian pertama sejalan dengan pengertian yang diberikan oleh Ibn Mukarram al-Anshari yang menekankan makna keadilan kepada kesan (kesimpulan) yang tertanam dalam jiwa bahwa sesuatu itu wajar atau lurus (mustaqim).[6]
            Makna keadilan dalam wacana pemikiran memang sudah sangat lama diperbincangkan oleh sebagian kalangan, baik di Timur maupun di Barat. Ahmad Muhmud Subhi dalam bukunya al Falsafah al Akhlaqiyah fi al Fikr al Islamiy mencatat sejumlah filosof klasik yang telah memberikan kontribusi pemikiran tentang hakikat dan konsep keadilan. Plato (427-347 M) yang dianggap sebagai tokoh filasafat dalam zaman keemasan filasafat Yunani mendifinisikan keadilan sebagai sebuah keutamaan yang paling tinggi dilihat dai kondisi yang wajar yang meniscayakan terhimpunya makna-makna kebijaksanaan (الحكمة), keberanian ( الشجاعة), dan keterpeliharaan (العفة).[7] Kemudian setelah itu Aristoteles (384-322 SM) yang walaupun melakukan berbagai kritikan terhadap gurunya, tetap memandang keadilan sebagai nilai moral yang paling sempurna (الفاضلة التامة). Dalam bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ahmad Luthfi al Sayyid, Aristoteles menulis untuk anaknya Nikomacus, ‘Ilm al Akhlaq ila Nikumakhus[8] tentang kaidah kaidah moral yang perlu ditegakan dan diwujudkan dalam prilaku dan kehidupan. Dalam buku yang lebih populer dengan judul Nicomachean Ethic[9] ini filosof Aristoteles menguraikan panjang lebar pandanganya tentang teori keadilan dengan berbagai implikasinya, dan dalam menjelaskan maknanya, ia selalu menerangkan lawan kosa kata itu, yaitu kezaliman (الظلم ). Menurut Aristoteles, keadilan adalah nilai keutamaan, bukan keutamaan yang mandul, dan bukan pula semata-mata bersifat individual. Keadilan harus mempunyai efek dan implikasi kepada yang lain. Tak ubahnya seperti keutamaan matahari yang selalu terbit membawa kebaikan dan manfaat kepada yang lain. Bahkan menurut filosof ini:
كل الفضيلة توجد في طي العدل[10] 
“Segala macam keutamaan didapat dalam kerangka keadilan”
            Dengan memperhatikan berbagai pandangan diatas, agaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa keadilan ternyata telah menjadi bahan telaahan manusia sepanjang sejarah. Keadilan sebagai nilai keutamaan universal nampaknya merupakan milik manusia secara keseluruhan. Kalau Al Qur’an berbicara tentang keadilan, sudah barang tentu di samping melanjutkan kecenderungan yang ada dan melekat pada diri manusia, sekaligus juga menjawab berbagai persoalan yang tidak terpecahkan, dengan membawa pesan-pesan dan nilai-nilai kesempurnaanya. Di sinilah pentingnya keadilan diteliti dalam wawasan dan perspektif Al Qur’an.
            Berdasarkan latar belakang pemikiran diatas, penelitian tentang makna keadilan secara komprehensif yang tertencar dalam ayat demi ayat pada sejumlah surat dalam Al Qur’an perlu dilakukan. Dengan kajian dan penelitian ini akan ditemukan makna keadilan dalam perspektif Al Qur’an, yang sepenuhnya diinformasikan oleh simpul-simpul atau term-term keadilan. Informasi Al-Qur’an itu akan diperkaya dengan wacana para ulama dan komentar-komentar pakar Al-Qur’an, terutama sekitar tema yang diperbincangkan.

B. Perumusan Masalah
                Karena objek material penelitian ini sepenuhnya adalah Al Qur’an, maka dialog akan direntangkan terhadap simpul-simpul keadilan dalam ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga masalah pokok yang akan dibincangkan sebagai kajian utama adalah sejauh manakah makna-makna keadilan dalam perspektif Al-Qur’an yang dapat dirumuskan melalui simpul-simpul keadilan.
            Untuk menemukan jawaban yang mendalam, maka masalah pokok itu dijabarkan sebagai berikut:
1. Apa makna yang dapat dipahami dan dirumuskan dari simpul-simpul keadilan yang diungkapkan secara terpisah-pisah dan bervariasi dalam Al-Qur’an, baik dalam bentuk kata yang semakna maupun dari kata yang berlawanan?
2. Bagaimana semangat moral yang terkandung dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan keadilan dan Hari keadilan, baik langsung maupun tidak langsung?



C. Pengertian Istilah dan Batasan Masalah
            Yang dimaksud dengan keadilan dalam penelitian ini adalah gambaran umum yang menunjuk kepada makna dan hakikat yang terkandung dalam keadilan.
            Sementara yang dimaksud dengan perspektif Al-Qur’an adalah pandangan dan wawasan Al-Qur’an yang dalam hal ini diartikan sama dengan informasi dan penjelasan yang diberikan oleh Al-Qur’an sebagai Kitab suci umat Islam yang diyakini sebagai Kalam Allah yang bertujuan memberi bimbingan (hidayah) kepada umat manusia.
            Kajian dan studi yang dilakukan untuk memahami kandungan Al-Qur’an adalah bahagian dari perintah Allah Swt. [11] Atas dasar asumsi bahwa Al-Qur’an merupakan bahagian dari sumber informasi Ilahi yang lengkap dan sempurna dan bersifat universal, peneliti berupaya menangkap makna keadilan yang terdapat dalam Al-Qur’an dalam batas upaya merumuskan nilai-nilai instrumental, yang pada giliranya akan dilanjutkan dalam penelitian berikutnya dengan merumuskan nilai operasional yang dapat diaplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan.
            Berkenaan dengan informasi al Sunnah yang berhubungan dengan keadilan akan ditelaah bersamaan dengan makna yang dibawa oleh Al-Qur’an. Mengingat bahwa pada dasarnya al Sunnah tidak terpisah dari Al-Qur’an, maka dalam hal-hal tertentu, terutama dalam kaitanya dengan asbab al nuzul sangat diperlukan dalam penelitian ini.

D. Kegunaan Penelitian
            Kegunaan penelitian ini dapat dilihat dari sudut pentingnya masalah pokok diatas diteliti. Pentingnya meneliti masalah pokok tersebut dapat dijabarkan, yang sekaligus menjelaskan kegunaan penelitian itu:
1. Karena semangat dasar Al- Qur’an adalah semangat moral yang terjalin sejak dari awal sampai akhir kandunganya, maka pesan-pesan moral ini perlu ditangkap secara tematik untuk selanjutnya diterjemahkan dalam kehidupan nyata.
2. Semangat dasar Al-Qur’an, salah satu diantaranya, adalah keadilan, oleh sebab itu pemahaman tentang makna keadilan dalam Al-Qur’an menjadi sangat penting. Kajian tentang konsep keadilan bukan saja berpengaruh terhadap sikap batin dan pandangan hidup manusia, melainkan juga akan melahirkan sikap-sikap formal dalam perilaku yang lebih bermakna.
3. Kajian tentang keadilan yang ditarik dari informasi-informasi Al-Qur’an yang dipahami secara utuh belum banyak dilakukan. Rumusan mengenai keadilan pada banyak kajian mengacu kepada renungan filosofis dan kontemlatif. Kajian yang berangkat dari penelaahan terhadap realitas sosial, setidaknya yang diangkat dari isyarat-isyarat Al-Qur’an, terutama dalam hubungan dengan ayat-ayat yang mengandung makna keadilan, sebagai respons terhadap kondisi objektif pada waktu ayat-ayat itu diturunkan, jelas akan dapat menampilkan makna yang lebih lengkap tentang keadilan.

E. Kajian Pustaka
            Kajian tentang keadilan dengan berbagai sudut pandang telah dilakukan oleh para ahli, bukan saja di kalangan pemikir-pemikir Muslim Klasik dan Pertengahan, tetapi juga telah berlangsung sejak zaman filosof-filosof Yunani Kuno. Betapapun kajian itu telah melahirkan berbagai kesimpulan, kajian yang secara khusus menelaah makna keadilan dari simpul-simpul Al-Qur’an yang dilakukan secara komprehensif belum ada di jumpai. Kalaupun ada tulisan yang membahas tema-tema pokok Al-Qur’an, seperti yang dikerjakan oleh Fazlur Rahman dalam karyanya, Major Themes of the Qur’an, pembahasanya tentang keadilan digarap hanyalah sambil lalu.[12] Demikian pula kajian Toshihiko Izutsu dalam bukunya Ethico Religious Concepts in the Qur’an, yang secara khusus menggarap konsep-konsep etika beragama dalam Al-Qur’an, namun pembahasanya tentang keadilan hanyalah menyinggung beberapa kosa kata di bawah konsep “baik” dan “buruk”.[13]
            Dalam perspektif Al-Qur’an, menurut Izutsu, semua sifat manusia dibagi dalam dua kategori yang secara radikal saling bertentangan, mengingat kenyataan bahwa kategori-kategori tersebut sangat konkret dan secara semantik sungguh tepat untuk disebut dengan predikat “baik” atau “buruk”. Dengan merujuk Q.s. Yunus/10:47:


Èe@à6Ï9ur 7p¨Bé& ×Aqߧ ( #sŒÎ*sù uä!$y_ óOßgä9qßu zÓÅÓè% OßgoY÷t/ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ öNèdur Ÿw tbqßJn=ôàムÇÍÐÈ
Tiap-tiap umat mempunyai rasul; Maka apabila Telah datang Rasul mereka, diberikanlah Keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikitpun) tidak dianiaya.
            Izutsu mengatakan, bahwa dalam konteks ayat ini dengan jelas sekali dipertentangkan antara keadilan dengan kezaliman, dan itu satu bukti yang dapat membantu memahami makna dari kata tersebut.[14] Dalam pembahasanya tentang konsepsi perbaikan moral, term al-adl yang hanya diungkapkan dalam tujuh ayat dan selebihnya dengan term al-qisth, memang disimpulkan sama-sama menunjuk kepada makna keadilan. Namun secara keseluruahan nampaknya ia tidak menerangkan konsep keadialan secara menyeluruh sesuai dengan yang diinformasikan oleh Al-Qur’an. Dalam komentarnya ia hanya menekankan bahwa manusia dituntut untuk berlaku adil dan berbuat baik terhadap sesamanya, sebab Tuhan telah berbuat baik dan adil kepada manusia. Manusia tidak dibenarkan berbuat zalim kepada orang lain, karena Tuhan sendiri tidak pernah berbuat zalim kepada orang lain, karena Tuhan sendiri tidak pernah berbuat zalim kepada siapapun.[15] Walaupun Izutsu menekankan pentingnya ditegakan keadilan dan mengingatkan bahaya kezaliman, ia tidak merumuskan arti keadilan secara tuntas.
            Dilihat dari segi pendekatan yang dipergunakan, baik Fazlur Rahman maupun Izutsu, kedua-duanya sama-sama menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber informasi, terutama untuk mendapatkan penafsiran yang otentik tentang konsep-konsep tertentu.
            Kajian tentang keadilan, meskipun dalam pola pendekatan yang dikembangkan dari informasi Al-Qur’an belum banyak dilakukan, namun secara terpisah dalam kitab-kitab tafsir yang ditulis dengan metode tahliliy dapat ditemukan. Akan tetapi dalam metode yang disebut terakhir ini, bias sang mufassir sering tidak terelakkan, karena sesuatu ayat atau beberapa ayat tertentu yang tidak dikaitkan dengan ayat selebihnya dalam tema yang sama menjadi tidak konklusif. Untuk mengindarkan kelemahan semacam itu, justru penelitian yang dilakukan untuk memahami makna keadilan dalam perspektif Al-Qur’an ini akan diupayakan dengan menerapkan metode maudhu’iy (tematik).
 
F. Metodologi Penelitian
1. Sumber Penelitian
            Secara keseluruhan penelitian ini bercorak penelitian kepustakaan (library research), yaitu semua sumber datanya berasal dari bahan-bahan tertulis sekitar permasalahan yang dibahas. Kerena menyangkut makna keadilan dalam Al-Qur’an, maka sumber utama dan primer adalah semua simpul keadilan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Naskah Al-Qur’an yang dijadikan bahan kajian ialah Al-Qur’an Al-Karim yang ditulis sesuai dengan al-rasm al-Usmaniy dan diterbitkan oleh Dar al-Fikr, Beirut, tahun 1403 H/ 1983 M.
            Untuk mendapatkan makna-makna kosa kata dari ayat-ayat yang dibahas dipergunakan beberapa rujukan, diantaranya, Mu’jam Mufradat Alfazh Al-Qur’an, [16] karya Abu al-Qasim al-Husainiy Ibn Muhammad al-Raghib al-Isfahaniy (w. 503 H/ 1108 M.). Disamping itu, untuk memperkaya makna dipergunakan juga kamus besar Bahasa Arab, Lisan al-Arab karya Ibn Manzhur Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukarram al-Anshariy (w. 711 H./ 1311 M.) dan Mu’jam Maqayis al-Lughah, tulisan Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris Zakaria.
            Kitab-kitab Tafsir yang ditulis dengan metode tahliliy, dengan segala kelebihan dan kekuranganya, sangat membantu menjelaskan makna kosa kata sebagai sumber pembanding. Oleh karena itu untuk menyebut di antaranya Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, karya Muhammad ibn Jarir al Thabariy (224 H-310 H), Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, oleh Ismail Ibn Katsir al-Quraisyi al Dimasyqiy (700-774 H.), al-Kasysyaf an Haqaiq al-Tanzil wa “Uyun al-Aqail, karya Mahmud Ibn Umar al-Zamakhsyariy (w. 538 H/ 1143 M), al- Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, karya Muhammad Husain al-Thabathaba’iy (1321 H./ 1903 M.). Sementara dari sumber yang berbahasa Inggris di antranya adalah The Holy Quran: Text, Translation and Commentary yang disusun oleh Abdullah Yusuf Ali, dan The Message of the Qur’an, karya Muhammad Asad dan The Meaning of the Glorious Koran, karya Muhammad Marmaduke Pictall.

2. Pendekatan dan Metode
            Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kewahyuan. Pendekatan kewahyuan adalah suatu upaya yang dilakukan untuk memahami maksud yang terkandung dalam Al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Penulis berupaya memahami makna keadilan dengan menggunakan wahyu sebagai kajian utama dan tafsirnya sebagai kajian pendukung, seperti yang di temukan dalam kitab-kitab tafsir.
            Dalam mengoprasionalkan pendekatan ini digunakan metode analisis makna-makna dengan menerapkan analisis hermenetik (hermenetics), sementara dalam penafsiranya diterapkan metode tafsir maudhu’iy. Alasan digunakanya metode ini antara lain ialah karena ia berupaya meletakkan warisan intelektual dan pengalaman manusia di hadapan Al-Qur’an. Dalam hal ini diharapkan informasi Al-Qur’an berintegrasi dengan kenyataan dan kehidupan, karena dengan metode ini pembahasan dimulai dari kenyataan dan berakhir dengan Al-Qur’an.

3. Langkah-langkah Penelitian
            Dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah untuk mendapatkan makna keadilan dalam perspektif Al-Qur’an. Pada langkah pertama pandangan Al-Qur’an dibahas dalam kerangka respons terhadap situasi konkrit mansyarakat di mana Al-Qur’an itu diturunkan. Melalui langkah ini diasumsikan, bahwa Al-Qur’an berintegrasi dengan masyarakat yang telah mengalami kemerosotan moral, lalu Al-Qur’an datang memperbaikinya. Dan semangat dasar Al-Qur’an bertumpu kepada tiga hal, pertama monoteisme, kedua keadilan dan ketiga kepercayaan kepada hari keadilan. Keterkaitan antara ketiga hal itu secara kronologis nampak jelas pada kepercayaan yang ditanamkan oleh Al-Qur’an. Langkah ini menjadi demikian penting, terutama untuk menangkap makna keadilan sebagai suatu konsep yang tidak berdiri sendiri, tetapi didahului oleh kenyataan-kenyataan pada masyarakat Islam yang paling awal.
            Langkah kedua membahas term-term keadilan dalam Al-Qur’an, dari kata-kata yang secara langsung membawa makna keadilan, yaitu al-‘adl, al-qisth, al-wazn dan al-wasth dan semua derivasinya. Perubahan bentuk kata dibahas sedemikian rupa, karena ia akan menawarkan dan membawa makna-makna yang akan memperkaya arti keadilan.
            Langkah ketiga mengkaji makna yang berlawanan dengan keadilan, yaitu kezaliman. Sebagai makna yang mengandung pengertian lawan keadilan, term al-zulm dengan berbagai derivasinya akan mempertegas makna keadilan. Adanya dikotomi moral[17] dalam Al-Qur’an akan dapat membantu memahami makna dari kata-kata yang berlawanan.
            Pada langkah keempat yang merupakan langkah terakhir memuat beberapa kesimpulan dari seluruh kajian dan penelitian, yang diharapkan akan memberi jawaban terhadap permasalahan pokok. Pada kesimpulan ini terjawablah makna keadilan dalam perspektif Al-Qur’an.

4 . Teknik Penulisan
            Dalam penulisan ini, kecuali dalam hal-hal tertentu, pedoman teknik penulisan yang digunakan adalah buku teks penuntun A Manual for Writers of Term papers, Theses and Dissertations yang disusun oleh Kate L. Turabian.
            Transliterasi yang digunakan untuk menyalin kata-kata atau ungkapan-ungkapan berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia berpedoman kepada Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 158 Tahun 1987 dan No. 0543 b/ U/ 1987 Tentang Pembukuan Pedoman Transliterasi Arab Latin.
            Terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an, pada prinsipnya berpedoman kepada Al-Qur’an dan Terjemahanya yang diterbitkan oleh Depag RI Kecuali dalam hal-hal tertentu, penulis membuat terjemahan sendiri atau menambah komentar seperlunya.

G. Sistematika Pembahasan
            Pembahasan dalam penelitian ini dibagi kepada lima bab yang mempunyai kaitan erat antara satu dengan yang lain. Bab pertama adalah pendahuluan yang mengantarkan pada pembahasan pada bab-bab selanjutnya. Bab ini terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, pengertian istilah dan batasan masalah, kegunaan penelitian, kajian pustaka, metodologi dan sistematika pembahasan.
            Selanjutnya bab kedua membahas tentang signifikansi moral dalam Al-Qur’an yang terdiri atas subbab Keadilan dan Hari Keadilan. Kemudian bab ketiga merupakan tema sentral penelitian, yaitu ragam simpul keadilan dalam Al-Qur’an. Bab ini terdiri atas subbab simpul-simpul al-‘adl, al-qisth, al-wazn dan al-wasth.
            Pada bab keempat akan diteliti bagaimana implikasi keadilan terhadap tanggung jawab moral manusia. Pembahasan dalam bab ini akan diarahkan pada tanggung jawab moral, keadilan hukum, keadilan sosial dan ekonomi serta keadilan dalam hubungan antargolongan.
            Barulah pada bab kelima penelitian ditutup dengan kesimpulan yang merupakan temuan penelitian dan rekomendasi yang dianggap perlu.









DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. Mukti, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali, 1987
Aristoteles, I’lm al-Akhlaq ila Nikomakhus, terj. Akhmad Luthfi al-Sayyid, Kairo: Dar-al-Kutub al Mishjriyyah, 1924
Rahman, Fazlur, Islam, Chicago University of Chicago Press, 1979
Abd Al-Baqiy, Muhammad Fuad, Al Mu’jam Al-Mufahras li Alfaz Al-Qur’an al- Karim, Beirut, Dar al Fikr, 1981
Al-Thabathaba’i, Muhammad Husain, Al Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, Beirut: Muassasah al-A’la li al-Mathbu’, t.t
Al Isfahani, Al Raghib, Mu’jam Mufadat Alfazh Al-Qur’an, Kairo: Dar al-Katib al-Araby, t.t
Al-Ansariy, Ibn Mukarram, Lisan Al Arab, Mesir: Dar Al Mishriyyah li al Ta’lif wa al-Tarjamah, t.t
Subhi, Ahmad Muhammad, Al-Falsafah al- Akhlaq fi al-Fikr al-Islamy, Mesir: Dar Ma’firat, t.t
Basari, Hasan, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam (terjemahan), Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1989
Mahyuddin, Anas, Tema-tema Pokok Al-Qur’an (terjemahan) Bandung, Pustaka, 1983






[1]. Lihat Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: University or Chicago Press, 1979), h. 32 Menurut Rahman, tauhid, keadilan dan kepercayaan kepada hari keadilan (akhirat) adalah tiga landasan moral yang terkandung dalam Al Qur’an. Di atas ketiga landasan itulah karier Nabi Muhammad Saw. Terlihat ditegakkan sepanjang tugas kerasulanya.
[2]. Lihat antara lain, Q.s. al Takatsur/102: 1-8, al Humazah/104:1-9, al Lahab/ 111: 1-5. Perjuangan hidup orang Mekkah yang tertuju hanya pada penumpukan kekayaan tanpa kepedulian kepada orang lain dikatakan oleh Al Qur’an sebagai “batas pengetahuan mereka” mablagh min ‘ilm), karena mereka hanya mengetahui kehidupan yang nampakdi dunia ini saja. (Q.s. al Najm/53:29-30, sementara mereka tidak memedulikan tujuan-tujuan hidup yang mulia (Qs. Rum/30:7).
[3]. Muhammad Fuad Abd al Baqiy, al Mu’jam al Mufahfas li Alfaz Al Qur’an al Karim, (Beirut: Dar al Fikr, 1981), h. 448-449.
[4]. Muhammad Husain al Thabathoba’I, al Mizan fi Tafsir Al Qur’an, selanjutnya disebut al Mizan. (Beirut: Muassasah al A’la li al Mathbu’, t.t.) juz 12, h. 331.
[5]. Al Raghib al Isfahani, Mu’jam Mufradat Alfazh Al Qur’an (Kairo: Dar al Kitab al Arabiy, t.t.) h. 337
[6]. Ibn Mukarram al Ansariy, Lisan al ‘Arab, (Mesir: Dar al Mishriyyah li al Ta’lif wa al-Tarjamah, t.t.), juz 13-14 h. 456.
[7]. Ahmad Mahmud Subhi, al Falsafah al Akhlaq fi al Fikr al Islamy, (Mesir: Dar Ma’rifat, t.t.) h. 48
[8]. Aristoteles, Ilm al Akhlaq ila Nikomakhus, terj. Akhmad Luthfi al Sayyid, (Kairo: Dar al Kutub al Mishjriyyah, 1924).
[9]. Tentang buku ini, lihat komentar A. Mukti Ali dalam pembahasanya mengenai etika, moral dan kesusilaan, yang menunjuk buku Aristoteles tersebut sebagai buku tentang kaidah-kaidah perbuatan manusia, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, (Jakarta: Rajawali, 1987), h. 369.
[10]. Aristoteles, h. 60-61
[11]. Menempatkan Al-Qur’an sebagai objek kajian adalah sesuai dengan perintah Allah. Lihat Q.s. Yusuf/12:2, Muhammad/47:24 dll. Dan dalam hal ini, C.A. Qadar dalam Philosophy and Science in Islamic Wordl, mengatakan: “Apapun yang telah diwahyukan Allah kepada Nabi dan apapun perintah-perintah yang telah ia berikan untuk membimbing umat manusia harus dipahami sebagai mana mestinya sebelum diterjemahkan ke dalam praktek.”Lihat terjemahan Hasan Basari, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989) h. 12
[12]. Tema-tema pokok yang dibahas oleh Fazlur Rahman dalam bukunya itu adalah konsepsi tentang Tuhan, Manusia, Alam semesta, Kenabian dan Wahyu, Eskatologi, Setan dan Kejahatan, yang kesemuanya dibahas dengan pendekatan tematik. Buku ini di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Anas Mahyuddin dengan judul Tema-tema Pokok Al-Qur’an (Bandung, Pustaka, 1983).
[13]. Karya ini pada mulanya diterbitkan pada tahun 1959 oleh Keio University di Tokyo dengan judul The Structure of the Ethical Term in the Koran, dan pada tahun 1966, setelah direvisi, diterbitkan kembali oleh MC Gill University Press Canada di bawah judul Ethico Religious Consepts in the Qoran. Buku yang tebalnya 284 halaman ini bukan saja menguraikan sikap dan etika beragama, tetapi juga mengungkapkan berbagai pandangan pokok mengenai etika kehidupan kaum Muslimin dalam masyarakat, sebagai implikasi dari etika beragama tersebut.
[14]. Lihat Toshihiko Izutsu, h. 209. Bagi Izutsu term-term yang membawa makna berlawanan dapat membantu menjelaskan pengertian-pengertian masing-masing kata secara berlawanan. Oleh sebab itu ia menganut paradigma adanya dikotomi moral (the basic moral dichotomy) dalam Al-Qur’an.
[15].  Dalam tulisan Itsuzu makna kezaliman (al-zulm) secara rinci dibahasanya sebagai salah satu unsur bidang semantic al-kufr yang baginya merupakan salah satu nilai etika religius negatif. Rincianya lihat Ibid, h. 164-172.
[16]. Kitab ini telah berkali-kali dicetak ulang dengan judul yang berbeda-beda, tetapi tetap pada substansi yang sama. Diantaranya dengan nama Mufradat fi Gharib Al-Qur’an dan Gharib fi Mufradat Al-Qur’an.
[17]. Menurut T Izutsu, pada dasarnya hampir seluruh lembaran Al-Qur’an mengajukan garis pokok dualisme mengenai nilai-nilai moral manusia, dan dasar dualisme itu menyangkut orang beriman dan orang yang tidak beriman. Dalam pengertian ini system etika Islam merupakan suatu struktur yang sangat sederhana. Kerena dengan standar nilai ”kepercayaan” pokok tersebut, orang dapat menentukan ke golongan yang mana dari kedua kecenderungan itu ia dapat dimasukkan. Lihat lebih lanjut: Izutsu, Ethico, h. 105-106. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar