Selasa, 03 Mei 2011

Mengenal Ibnu Arabi


Oleh: Kholid Ma'mun
A. Pendahuluan
            Akhir-akhir ini kesadaran beragama masyarakat Indonesia di rasa semakin meningkat, terutama kehidupan sufi di pandang sudah menjadi trend baru dalam status masyarakat modern. Hal ini nampak dengan makin banyaknya majlis-majlis dzikir yang semakin hari semakin bertambah banyak. Dan peminatnyapun beraneka ragam bukan saja dari kalangan rakyat jelata, tetapi juga sudah mulai merasuk kepada para pejabat tinggi negara, dari konglomerat sampai orang-orang melarat, dari masyarakat terpencil sampai masyarakat perkotaan yang notabene sebagai masyarakat elit dan modern. 
            Meskipun tujuan dan motivasinya bermacam-macam, namun yang jelas gejala ini menunjukkan tumbuhnya kesadaran bahwa semua masyarakat mulai mengerti dan menyadari bahwa tidak selamanya kehidupan glamour akan bisa mendatangkan kepuasan dan kebahagiaan bathiniyah. Bahkan sebaliknya mereka menyadari dari pengalamanya sendiri, bahwa kehidupan serba materealis dan serba mewah bukan malah mendatangkan kepuasan dan kebahagiaan, namun justru membawa kegelisahan dan keresahan, membawa kehidupan yang serba hampa dan gelisah.
            Dari pengalaman hidup bergelimpang kekayaan harta dan kesenangan yang hampir melampaui batas kewajaran yang akibatnya membawa pada kesengsaraan, maka secara bersamaan muncul pula orang-orang yang tekun beribadah, menyendiri di tempat-tempat sepi dan meninggalkan pengaruh dunia, duduk bersimpuh memohon ampun ke hadirat Allah swt. dengan do’a munajat di malam yang sepi memohon kekuatan lahir dan bathin dan hidayah serta ridho Ilahi yang Maha Suci.
            Begitulah jalan yang di tempuh oleh para sufi termasuk juga dalam kelompok ini adalah seorang tokoh sufi yang sekarang pemakalah tulis (Ibnu Arabi) golongan ini adalah mereka yang dalam hidupnya penuh dengan amalan-amalan ibadah, hatinya selalu merasa dalam pengawasan Allah swt. otaknya selalu merenung bertafakkur akan kebesaran dan keagungan Allah swt. Jasadnya dan segala tingkah lakunya selalu bernuansa Ibadah. Mereka adalah hamba Allah yang dikasihi, atau sebagai waliyullah, orang yang diberi derajat luhur lagi mulia berupa ma’unah dan karamah. Suatu makam tertinggi yang di capai manusia dari prestasi ibadah.
            Maka dari itu, agar supaya kita bisa memahami para tokoh sufi ini adalah perlu dikaji secara lengkap sejarah kehidupan para sufi itu sendiri. Dengan mengkaji sejarah kehidupan para tokoh sufi ini akan dapat diambil suri tauladan bagi generasi selanjutnya. Disamping dapat dijadikan bekal hidup dalam memperjuangkan agama Islam pada masa-masa mendatang agar supaya semangat ruh Islam tetap menjiwai masyarakat di seluruh belahan dunia ini.

B. Mengenal Ibnu Arabi
            Nama”Ibn al ‘Arabi” dimiliki tidak hanya oleh satu orang. Dalam sejarah pemikiran Islam ada dua tokoh terkemuka yang mempunyai nama yang sama. Kedua tokoh ini sama-sama dari Andalusia. Yang pertama adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Abd Allah Ibn al Arabi al Ma’afiri (468-543/1076-1148), seorang ahli hadits di Seville. [1] Ia pernah menjadi Qadi di kota itu, tapi kemudian ia mengundurkan diri dari kedudukan itu dan mengabdikan dirinya bagi kegiatan ilmiah, baik mengajar maupun menulis. Sedangkan nama yang kedua adalah Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn al-Arabi al-Thai al Hatimi, yaitu seorang sufi termasyhur dari Andalusia. Ia dilahirkan pada 17 Ramadhan 560 H,[2] bertepatan dengan 28 Juli 1165 M, di Mursia, Spanyol bagian Tenggara. Pada waktu kelahiranya Mursia diperintah oleh Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy.[3]
            Tokoh yang pertama, sang qadi, bukan objek pembicaraan dalam buku ini. yang menjadi objek di sini adalah tokoh kedua, sang sufi. Ia sendiri banyak memaparkan kehidupan pribadinya secara detil dalam karya-karyanya. Pada umumnya para sarjana yang menulis karya-karya tentang pemikiran Ibn al Arabi memaparkan riwayat hidup sufi ini secara ringkas hanya dalam beberapa halaman Acungan jempol dan terimakasih banyak patut di tujukan kepada Claude Chodkicwicz-Addas atas jasanya menulis biografi Ibn al Arabi secara detil dan kritis.[4] Sufi ini adalah seorang keturunan suku Arab kuno Tayy. Ia lebih dikenal dengan nama Ibn al Arabi (dengan al), atau Ibn Arabi (tanpa al) untuk membedakanya dengan Ibn Arabi yang lain. Dua gelarnya yang paling masyhur ialah Muhyi al Din (Penghidup Agama) dan al syaikh al Akbar (Syaikh Terbesar), gelar terakhir tampaknya lebih terkenal daripada gelar pertama. Keluarganya sangat taat beragama. Ayahnya dan tiga orang pamanya adalah sufi.
            Ketika Dinasti Muwahhidin menaklukkan Musrsia pada 567/1172, Ibn al Arabi dan keluarganya pindah ke Seville, tempat ayahnya diberi pekerjaan pada dinas pemerintahan atas kebaikan Abu Yakub Yusuf, penguasa Daulat al Muwahhidin pada saat itu. Sejak menetap di Seville ketika berusia delapan tahun, Ibn al Arabi memulai pendidikan formalnya. Di kota pusat ilmu pengetahuan itu, dibawah bimbingan sarjana-sarjan terkenal ia mempelajari al Qur’an dan tafsirnya, hadits, fiqih, teologi dan filsafat skolastik. Seville adalah suatu pusat sufisme yang penting pula, dengan sejumlah guru sufi terkemuka yang tinggal disana.[5] Keberhasilan Ibn al Arabi dalam pendidikanya mengantarnya kepada kedudukan sebagai sekertaris Gubernur Seville. Pada periode itu ia menikahi seorang wanita muda yang salehah, Maryam.[6] Suasana kehidupan guru-guru sufi dan kesertaan isterinya itu dalam keinginanya mengikuti jalan sufi adalah faktor kondusif yang mempercepat pembentukan diri Ibn al-Arabi menjadi seorang sufi. Seperti diceritakannya sendiri, ia memasuki jalan sufi (tarekat) secara formal pada 580/1184, saat berusia dua puluh tahun.
            Selama menetap di Seville, Ibn al Arabi muda sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Spanyol dan Afrika Utara. Kesempatan itu dimanfaatkanya untuk mengunjungi para sufi dan sarjana terkemuka. Salah satu kunjunganya yang sangat mengesankan ialah ketika berjumpa dengan Ibn Rusyd. (w.595/1198) di Kordova. Percakapanya dengan filsuf besar ini membuktikan kecemerlanganya yang luar biasa dalam wawasan spiritual dan intelektual.[7] Percakapan ini dilukiskan oleh T.Izutsu sebagai sangat penting bagi sufi muda dan filsuf tua beraliran Aristotelianisme itu dalam arti bahwa percakapan tersebut menjelaskan perbedaan dan pertentangan asasi antara jalan akal dan logis dan jalan imajinasi gnostik yang kemudian membagi pemikiran Islam secara keseluruhan ke dalam dua cabang. Fakta bahwa sufi muda mengalahkan filsuf Paripatetik itu dalam tukar pikiran tersebut dengan tepat menunjukkan titik buhul pemikiran filosuf dan pengalaman mistik Ibn al Arabi, yang memperlihatkan bagaimana mistisisme dan filsafat berhubungan satu sama lain dalam kesadaran metafisisnya. Pengalaman-pengalaman visioner mistiknya berhubungan paling dekat dengan, dan disokong oleh, pemikiran filosofisnya yang ketat. Ibn al Arabi adalah seorang mistikus yang sekaligus seorang guru filsafat Peripatek, sehingga ia bisa-atau lebih tepat, telah-memfilsafatkan pengalaman spiritual batininya kedalam suatu pandangan dunia metafisis maha besar sebagaimana terlihat dalam hubungan dengan sturktur metafisikanya dalam wahdat al wujud.[8]
            Diantara guru-guru spiritual Ibn al Arabi terdapat dua wanita lanjut usia: Yasamin (sering pula disebut dengan Syams) dari Marchena dan Fathimah dari Kordova. Ia sangat mengagumi kedua wanita itu dan mengakui jasa mereka dalam memperkaya kehidupan spiritualnya.      
            Situasi religio politis menyebabkan ibn al-Arabi meninggalkan negeri kelahiranya, spanyol, dan Afrika Utara. Di Afrika Utara, para penguasa al Muwahhidin mengancam akan menyiksa para sufi karena mereka dicurigai menggerakan tarekat-tarekat, mengadakan perlawanan terhadap rezim yang berkuasa. Sebenarnya waktu itu, memang terjadi ketegangan antara para sufi dan para penguasa karena yang pertama menganggap yang terakhir sebagai perampas kekuasaan Islam dan pelanggar Syari’at. Seandainya Ibn Arabi tetap di Spanyol, mungkin ia akan mengalami nasib yang sama seperti Ibn Qasi yang dibunuh pada 546/1151, atau seperti Ibn Barrajan dan Ibn al Arif, yang konon diracun oleh Gubernur Afrika Utara, Ali Ibn Yusuf, setelah dikurung dipenjara selama beberapa tahun.[9] Baik di Spanyol maupun Afrika Utara, kefanatikan dan kekuatan ulama-ulama kalam dan fiqih yang ortodoks tidak memberikan ruang gerak untuk perkembangan pemikiran baru yang mereka anggap sesat. Pada tahun 597/ 1200, ketika di Marrakesy, Ibn al Arabi menerima perintah melalui ru’ya agar bertemu dengan Muhammad al Hasar dan melakukan perjalanan bersamanya ke Timur. Itula alasan-alasan yang membuatnya mengembara ke daerah-daerah bagian Timur dunia Islam. Maka pada 598/ 1201 bersama Muhammad al-Hasar ia melanjutkan perjalananya ke dari Tunis ke Mesir. Sayang, teman seperjalanya meninggal dunia di sana. Kemudian pada tahun itu juga Ibn Arabi melanjutkan perjalananya sendirian ke Makkah.
            Keberangkatan Ibn Arabi ke Makkah mengakhiri fase pertama kehidupanya, yang merupakan fase persiapan dan sekaligus pembentukan dirinya sebagai seorang sufi. Hampir seperdua umurnya dihabiskan dalam fase itu. Kepindahanya ke kota suci pertama umat Islam ini menandai permulaan fase kedua. Fase kedua adalah fase peningkatan dan berlangsung sejak 598/1201 sampai 620/1223. pada fase kedua ini ia melakukan pengembaraan ke berbagai tempat di Timur dekat.
            Makkah bagi Ibn Arabi bukan sekedar tempat melaksanakan ibadah haji, tawaf di sekitar ka’bah dan ibadah-ibadah lain. Makkah baginya adalah tempat meningkatkan kualitas kehidupan mistiknya. Kabah sebagai “pusat kosmik” merupakan tempat khusus memperoleh pengalaman rohani yang tidak mungkin diperoleh di tempat lain. H. Corbin melukiskan, peristiwa hakiki dan menentukan hanya bisa ditimbulkan dengan bermeditasi “di sekitar ka’bah” karena peristiwa-peristiwa seperti itu terjadi hanya “dalam pusat dunia” yaitu pada kutub mikrokosmos batini, dan ka’bah adalah “pusat dunia.”[10] Kunjunganya ke Kabah secara teratur untuk beribadah dan bermeditasi membuahkan pengalaman-pengalaman rohani. Diantara pengalaman-pengalaman itu ada dua yang perlu disebutkan di sini, karena berduanya berhubungan dengan perkembangan mistiknya. Pertama ia mengalami suatu visi tentang “kemudahan abadi” yang boleh dikatakan mewakili perpaduan apa-apa yang berlawanan,  coincidentia oppositonum, yang dalam keseluruhanya semua ketegangan dapat dipecahkan[11]. Kedua, visi yang menegaskan bahwa ia adalah Penutup-Wilayah Muhammadiyyah.
            Selama menetap di Makkah, Ibn al Arabi mempergunakan banyak waktu untuk belajar dan menulis. Pada masa itu dimulai menulis karya ensiklopedi monumentalnya al Futuhat al Makkiyah. Ia juga menyelesaikan empat karyanya yang lebih pendek: misykat al Anwar, Hilyat al Abdal, Taj al Rasail, dan Ruh al Quds.
             Dari 601/1204 sampai 604/1207, kota-kota yang di kunjungi Ibn al Arabi ialah Madinah, Yerussalem, Baghdad, Mosul, Konya, Damaskus, Hebron dan Kairo. Pada umumnya ia tinggal tidak lamadi kota-kota yang di kunjunginya itu kecuali Mosul ia tinggal selama satu tahun dan di Kairo selama satu tahun pula. Di Mosul dia menulis al Tanazzulat al Mawsiliyah. Di kota ini pula ia di lantik untuk ketiga kali sebagai murid al Khadir, atau al Khidr, untuk menerima rahasia-rahasia ilahi.[12]  Adapun di Kairo ia mempergunakan kesempatan untuk bertemu dengan teman-teman sufinya. Ulama ulama ortodoks di kota itu mengancam ajaran-ajaranya dan dan mengancam keselamatan jiwanya. Situasi yang tidak menyenangkan itu menyebabkan ia meninggalkan Mesir dan kembali ke Makkah.[13]   
            Ia kembali ke Makkah pada 604/1207. Hanya setahun ia tinggal di kota suci itu. Setelah itu ia pergi ke Asia Kecil melalui Aleppo. Ia sampai di Konya, atau Quniyah, pada 607/1210. disana ia disambut dengan hangat oleh raja Kay Kaus dan penduduknya. Pengaruhnya di Konya menyebar dengan cepat di kalangan para sufi. Pengaruhnya itu kemudian hari menjalar ke mana-mana dan menjadi dominan dalam sejarah perkembangan sufisme diseluruh dunia Islam sampai hari ini. Tokoh yang paling berjasa dalam proses itu ialah Sadr al Din al Qunawi (w.673/1274), murid terdekat dan terpenting Ibn Arabi. Muridnya itulah yang menjadi pendukung ajaran-ajaran Ibn Arabi, dan menjadi komentator karya-karya gurunya itu. Beberapa ahli mengakui bahwa al-Qunawi adalah tokoh yang berhasil membantu pemaduan ajaran-ajaran Ibn al Arabi dan sufisme Timur.[14]
            Dari Konya Ibn al Arabi meneruskan perjalananya ke arah Timur menuju Armenia dan ke arah Selatan ke lembah Eufrat dan sampai di Bagdad pada 608/1211. di Bagdad ia bertemu dengan seorang sufi terkenal, Syihab al-Din Umar al Suhrawardi, penulis ‘Awarif al Ma’arif.
            Pada 609/1212 Ibn al Arabi menulis sebuah surat yang panjang kepada raja Kay Kaus I. Surat yang diminta raja itu berisi nasehat bagaimana ia seharusnya menghadapi orang-orang Kristen di kerajaanya. Dalam surat itu Syaikh Terbesar ini menasehatkan, agar raja itu mengambil tindakan-tindakan paling keras sesuai dengan Hukum Islam menghadapi orang-orang kristen dan mencegah mereka agar tidak merugikan Islam. Surat itu membuktikan bahwa Ibn al Arabi mengakui pentingnya hukum dan doktrin bagi umat.
            Pada 611/1214 Ibn al Arabi kembali ke Mekkah. Disana ia menulis karya yang telah di sebutkan diatas, Dzakha’ir al A’laq, sebagai komentar pembelaan tentang kumpulan puisinya Tarjuman al-Asywaq, yang dituduh berisi ungkapan cinta yang didorong hawa nafsu. Dalam Dzakhair al Alaq ia memaparkan makna esoterik tentang puisi-puisinya itu. Ia mengatakan bahwa semua puisinya berkaitan dengan kebenaran-kebenaran ilahi dalam berbagai bentuk.
            Pada 612/1215 Ibn al Arabi kembali mengunjungi Asia Kecil. Ia bertemu dengan Kay Kaus di Malatia, tempat ia menggunakan banyak waktu selama empat sampai lima tahun untuk mengajar dan mengayomi murid-muridnya. Ibn al Arabi mengunjungi Aleppo. Disana ia disambut dengan hangat oleh al Malik al Zahir. Hubunganya yang sangat baik dengan para penguasa, terutama Kay Kaus dan Malik al Zahir, tidak menyenangkan para ulama kalam dan fiqih karena pengaruhnya semakin besar.
            Akhirnya Ibn al Arabi memutuskan untuk memilih Damaskus sebagai tempat menetap sampai akhir hayatnya. Keputusanya itu diambilnya untuk memanfaatkan ajakan penguasa Damaskus saat itu, al Malik al Adil (w.625/1227), untuk tinggal di kota itu. Raja tersebut dan anaknya, al Malik al Asyraf,, sangat menghormati Ibn al Arabi. Ia mulai menetap di Damaskus pada 620/1223. sejak tahun itu fase ketiga kematangan kehidupan spiritual dan intelektualnya sebagai seorang sufi.[15]
            Selama periode itu ia tidak mengadakan perjalanan keluar Damaskus kecuali ke Aleppo untuk kunjungan singkat pada 628/1231. Ia tampaknya mendambakan kehidupan yang tenang dan damai di usia selanjutnya. Ia mencurahkan banyak perhatiannya untuk membaca, mengajar dan menulis. Pada periode itu ia menyelesaikan karya monumentalnya al futuhat al Makkiyah, yang telah mulai di tulisnya ketika menetap di Makkah dulu. Ia juga menulis karya lain relatif agak pendek, tetapi lebih penting, lebih masyhur dan lebih banyak dibaca daripada karya-karyanya yang lain, yaitu Fusus al Hikam. Dalam pengakuanya, Syaikh Ibn Arabi melihat Nabi saw., pada bagian terakhir Muharram 627/Desenber 1229 di kota Damaskus membawa kitab Fusus al Hikam dan menyuruhnya agar menyebarkan kitab itu kepada umat manusia agar mereka dapat mengambil manfa’at darinya.[16] Karya-karya lain yang ditulisnya pada periode itu ialah al Diwan al Akbar, kumpulan utama puisi mistiknya “Anqa’ Mughrib, dan Muhadarat al Abrar.
            Pada periode ini Ibn Arabi melibatkan dirinya dalam kehidupan sosial dan politik dalam masyarakat. Keakrabanya dengan para penguasa Damaskus dimanfaatkanya untuk menyebarkan ajaran-ajaran sufinya. Ia mempunyai banyak murid, termasuk para penguasa. Ia memberikan kepercayaan kepada murid-muridnya yang dianggap telah memenuhi syarat meriwayatkan karya-karyanya dan menyebarkan ajaran-ajaranya. Pada 632/1234 ia memberikan ijazah kepada al Malik al Asyraf Muzaffar al Din Musa untuk mengajarkan semua karyanya.[17]
            Ibn Al Arabi wafat pada 22 Rabi’ al Tsani 638/ November 1240 di Damaskus. Qadi kepala al Zaki dan dua muridnya ikut melaksanakan upacara pemakamanya. Ia dimakamkan di Salihiyyah, di kaki Bukit Qasiyun di bagian Utara kota Damaskus, ditempat yang sering dikunjungi kaum muslimin karena mereka menganggap tempat itu disucikan semua Nabi, khususnya al Khadir. Sejak Syaikh terbesar ini dimakamkan disana, tempat itu makin sering di kunjungi orang.

C. Karya-karya Ibn Al Arabi
            Diantara pemikir muslim, Ibn al Arabi adalah salah seorang penulis paling produktif. Jumlah yang pasti karya-karyanya tidak di ketahui. Berbagai angka telah disebutkan oleh para sarjana. C. Brockelmann.[18] Mencatat tidak kurang dari 239 karya. Meskipun ia mungkin mencatat beberapa karya yang sama dengan judul-judul yang berbeda-beda yang dihitungnya menurut jumlah judul itu, ia tidak dapat memanfaatkan sepenuhnya sumber-sumber yang terdapat di perpustakaan-perpustakaan Istanbul dan Anatolia. Ini berarti penelitian yang dilakukanya belum sempurna.[19] Masih ada karya-karya Ibn al Arabi yang belum dicatatnya. Osman Yahia, dalam karya bibliografisnya yang sangat berharga, menyebut 846 judul dan menyimpulkan bahwa diantaranya hanya sekitar 700 yang asli dan dari yang asli itu hanya 400 yang masih ada.[20] Ibn al Arabi sendiri pernah menyebutkan 289 judul.[21] Sekalipun jumlah yang disebutkan berbeda-beda, yang jelas keproduktifanya dalam menghasilkan karya-karya tulis sulit dicari tandinganya. Diantara karya-karyanya, masih banyak yang belum dicetak, masih banyak yang berupa manuskrip.   
            Karya-karya Ibn al Arabi beragam ukuran dan isinya: dari uraian-uraian pendek dan surat-surat yang hanya terdiri dari beberapa halaman sampai karya ensiklopedik besar, dari risalah-risalah metafisis yang abstrak sampai puisi-puisi sufi yang mengandung aspek kesadaran ma’rifah yang muncul dalam bahasa cinta. Pokok persoalan dalam karya-karyanya juga bervariasi secara luas, yang mencakup metafisika, kosmologi, psikologi, tafsir al-Qur’an, dan hampir setiap lapangan pengetahuan lain yang sebelumnya didekati dengan tujuan menjelaskan makna esoteriknya.[22]
            Dua karya Ibn al Arabi yang paling penting dan paling termasyhur ialah al Futuhat al Makkiyah dan Fusus al Hikam. Judul lengkap karya pertama ialah Kitab al Futuhat al Makkiyah fi Ma’rifat al Asrar al Malikiyyah wa al Mulkiyyah. Ia mengaku bahwa kitab ini didektekan Tuhan melalui malaikat yang menyampaikan ilham.[23] Karya ini mulai disusun di Makkah pada 598/1202 dan selesai di Damaskus pada 629/1231. karya ini terdiri dari 560 bab dan di dalamnya mengandung uraian-uraian tentang prinsip-prinsip metafisika, berbagai ilmu keagamaan dan juga pengalaman-pengalaman spiritual Ibn al Arabi sendiri. Menurut perhitungan perkiraan perkiraan W.C. Chittick, al Futuhat yang memenuhi 2.580 halaman dalam edisi lama akan memenuhi 37 volume atau 18.500 halaman untuk keseluruhan teks dalam edisi kritis Osman Yahia.[24] Menerjemahkan keseluruhan karya ini, adalah pekerjaan yang sangat besar. Mungkin inilah sebabnya terjemahan komplit karya ini tidak ada. Yang ada hanya terjemahan bagian-bagian tertentu saja dari kitab ini.
            Sekalipun relatif pendek, Fusus al Hikam adalah karya Ibn al Arabi yang paling banyak dibaca, paling banyak disyarah karena paling sulit, paling berpengaruh dan paling termasyhur. Karya ini disusunanya pada 627/1230, sepuluh tahun sebelum ia wafat. Menurut pengakuanya, seperti dikatakan diatas, karya ini diterimanya dari Nabi saw. yang menyuruh agar ia menyebarkanya kepada umat manusia supaya mereka mengambil manfaat darinya. Ia mengakui pula bahwa ia menerima Fusus al Hikam dari Nabi saw., sebagaimana adanya tanpa penambahan dan pengurangan sedikitpun. Karya ini mengandung 27 bab. Setiap bab memakai nama seorang nabi untuk judulnya. Pemakaian nama nabi sebagi judul setiap bab sesuai dengan bentuk kebijaksanaan (hikmah) yang dijelaskan dalam setiap bab itu. Setiap nabi, yang disimbolkan dengan fass (pengikat permata pada cincin), mewakili suatu aspek tertentu dari kebijaksanaan ilahi yang terjelma pada setiap nabi itu, yang menjadi lokus penampakan diri (majla) Tuhan. Sesuai dengan judulnya, Fusus al Hikam, karya ini bertujuan untuk memaparkan aspek-aspek tertentu kebijaksanaan ilahi dalam konteks kehidupan dan person duapuluh tujuh nabi.
            Disamping dua karya utama di atas, perlu pula disebutkan di sini beberapa karyanya yang lain. Tiga karya pendeknya tentang metafisika dan kosmologi yang patut disebutkan di sini ialah Insya’ al Dawa’ir, Uqlat al Mustawfiz, dan al Tadbirat al Ilahiyah. Ketiga karya ini telah diedit, diberi suatu pengantar dan terjemahan ringkas kedalam bahasa Jerman oleh H.S.Nyberg.[25]
            Suatu koleksi yang berjudul Rasail Ibn al Arabi.[26] Sangat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mempelajari pemikiran dan praktek sufi Ibn al Arabi. Koleksi besar yang terdiri dari dua jilid ini menghimpun 29 risalah dan kitab yang berkenaan dengan berbagai masalah tentang Sufisme, mulai dari yang metafisis abstrak sampai praktis. Beberapa ini diantaranya telah diterjemahkan, yaitu: kitab “al-Fana’ fi al Musyahadah” diterjemahkan oleh Michel Valsan ke dalam bahasa Perancis dengan judul Le Livre de pextinction dans la Contemplation.[27]
            Karya Ibn al Arabi yang dituduh sebagai ungkapan rasa cinta birahi ialah Tarjuman al Asywaq. Sebagaimana telah dikatakan di atas, secara lahiriyah tuduhan ini tampaknya benar. Sebagai pembelaanya untuk melawan tuduhan tersebut, ia menulis karya lain, Dzakhair al Alaq, yang menjelaskan makna esoterik puisi-puisinya dalam Tarjuman. Ia tampaknya ingin menjelaskan dalam pembelaanya bahwa puisi-puisinya dalam Tarjuman mengandung makna makna esoterik dan simbolik sebagai ungkapan rasa cinta yang membara terhadap Tuhan. Tarjuman telah di terjemahkan oleh R.A. Nicholson ke dalam bahasa inggris dengan judul The “Tarjuman al Asywaq”: A Collection of Mystical Odes by Muhyiuddin Ibn al Arabi.[28]
            Karya Ibn al Arabi yang tidak boleh dilupakan ialah Ruh al Quds, yang di susunya di Makkah pada 600/1203-4. melalui karya ini Ibn al Arabi mengkritik penyimpangan-penyimpangan dalam praktek Sufisme dan mengungkapkan banyak informasi tentang para sufi yang mengajarkanya dan ditemuinya di Andalusia. Bagian biografis karya ini telah diterjemahkan oleh M. Asin Palacios ke dalam bahasa Spanyol dengan judul Vidas de Santones Andaluces. Karya lain yang juga memuat biografi para sufi Andalusia ialah al Durrat al Fakhirah. Bagian-bagian biografis dalam Ruh al Qud dan al Durrat al Fakhirah telah tersedia dalam terjemahan Inggris Austin dengan judul Sufis of Andalusia.
            Syajarat al Kawn adalah karya Ibn al Arabi yang memaparkan doktrinya tentang person/ syakhsiah Nabi Muhammad saw. dalam karya ini, ia menguraikan keunikan nabi Muhammad saw. dalam hubunganya dengan Allah swt, manusia dan alam secara keseluruhan. Karya ini telah diterjemahkan oleh A. Jeffery dengan judul “Ibn al Arabi’s Syajarat al Kawn[29]. Dan oleh M. Gloton kedalam bahasa Perancis dengan judul L’Arbre du Monde.[30]
            Karya pendek Ibn al-Arabi “Mala Budda minhu li al Mudid”, yang ditulis di Mosul pada 601/1205, adalah jawaban terhadap pertanyaan tentang apa yang harus di imani dan apa yang harus dilakukan oleh pencari pada permulaan, sebelum yang lain. Terjemahan terjemahan karya ini telah dicetak dalam beberapa kesempatan, dalam bahasa Turki oleh Mahmud Mukhtar Bey dengan judul Adab al Murid. Dalam bahasa Spanyol hanya untuk sebagian oleh M. Asin Palacios, Dalam bahasa Inggris oleh A. Jeffery,[31] dan juga dalam bahasa Inggris oleh T.B. al Jerrahi dengan judul “What the Student Needs: Ibn al Arabi’s Ma la Budda minhu lil Murid.[32]
            Ibn al Arabi pernah menghimpun ucapan-ucapan berharga oleh para perenung dan pengembara spiritual dalam sebuah karya pendek yang berjudul Kitabal I’lam bi Isyarat Ahl al Ilham. Karya ini terdiri dari 7 bab, tentang ru’yah (visi), sama’ (pendengaran), kalam (perkataan, tawhid, ma’rifah, cinta, dan berbagai persoalan. Sebagian besar ucapan ini tidak diketahui nama pengucapanya. Karya ini telah diterjemahkan oleh M. Valsan ke dalam bahasa Perancis dengan judul Le Livre d’Enseignement par les Formules In dicatives des Gens Inspires.[33]


D. Ibnu al Arabi dan Wahdat al Wujud
            Doktrin wahdat al wujud biasanya dihubungkan dengan Ibn al Arabi karena tokoh ini dianggap sebagai pendirinya. Kajian Ilmiah tentang Sufisme, baik yang dilakukan oleh para orientalis maupun yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Muslim, selama beberapa dasa warsa tidak mempersoalkan anggapan yang telah lama berlaku ini.
            Penyelidikan tentang sejarah istilah wahdat al wujud dilakukan baru-baru ini. Ternyata hasilnya mempersoalkan ajaran wahdat al wujud ini. Istilah wahdat al wujud tidak diciptakan oleh Ibn al Arabi. Ia sendiri tidak pernah menggunakan istilah ini. Istilah ini tidak pernah ditemukan dalam karya-karyanya. Jika demikian, siapa sebenarnya yang pertama kali menggunakan istilah wahdat al wujud? Apa yang dimaksud dengan istilah ini ketika ia pertama kali digunakan? Apakah ada perkembangan arti istilah ini? Bagaimana ia kemudian menjadi istilah kunci dalam aliran Ibn al Arabi? Bagaimana pendirian pendirian para pendukung dan para pengecam wahdat al wujud tentang penggunaan dan arti istilah ini? Bagaimana kemudian istilah ini di Barat diberi label-label:”pantaisme,”monisme, “monisme panteistik”, dan yang semacamnya? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam pasal ini.   
            Meskipun doktrin wahdat al wujud dihubungkan dengan aliran Ibn al Arabi, doktrin yang kira-kira sama atau senada dengannya telah diajarkan beberapa sufi jauh sebelum Ibn al Arabi. Ma’ruf al Karkhi (w.200/815), seseorang sufi terkenal di Bagdad yang hidup empat abad sebelum Ibn al Arabi, dianggap pertama kali mengungkapkan syahadat dengan kata-kata: “Tiada sesuatu pun dalam wujud kecuali Allah”. Abu Al Abbas Qassab (hidup pada abad ke 4/ ke-10) mengungkapkan kata-kata senada:”Tiada sesuatu pun dalam dua dunia kecuali kecuali Tuhanku. Segala sesuatu yang ada (mawjudat), segala sesuatu salain wujud-Nya, adalah tiada (ma’dum). Khawaja Abdallah Ansari (w.481/1089) menyatakan bahwa “tauhid orang-orang terpilih” adalah doktrin “Tiada sesuatu pun selain Dia.” (laysa ghayrahu ahad). Jika ia diajukan pertanyaan: “Apa tauhid itu?” ia menjawab: “Tuhan, dan tidak ada yang lain. Yang lain adalah kebodohan (hawas).
            Sufi selain sebelum Ibn al Arabi yang lebih kurang mengemukakan pernyataan-pernyataan yang dianggap mengandung doktrin wahdat al wujud ialah Abu Hamid al Ghazali (w.505/1111), saudaranya Ahmad al Ghazali (w.520/1126), dan Ayn al Qudat Hamadani (w.526/1132).
            Adapun Ibn Arabi sendiri, sekalipun tidak pernah menggunakan istilah wahdat al wujud, dianggap sebagai pendiri doktrin wahdat al wujud karena ajaran-ajaranya mengandung ide wahdat al wujud. Dan diantara pernyataan-pernyataan Ibn al Arabi yang membuktikan bahwa ia mengajarkan wahdat al wujud adalah: “semua wujud adalah satu satu dalam realitas, tiada sesuatu pun bersama denganya.”. “.....wujud bukan lain dari al-Haqq karena tidak ada sesuatu pun dalam wujud selain Dia.” Tiada yang tampak dalam wujud melalui wujud kecuali al Haqq, karena wujud adalah al Haqq, dan dia adalah satu.” “entitas wujud adalah satu, tetapi hukum-hukumnya beraneka.” “Dia (al Haqq, Tuhan) adalah esa dalam wujud karena semua yang mungkin yang dapat dilihat, disifati dalam keadaan ini dengan ketiadaan. Semua yang mungkin itu tidak mempunyai wujud meskipun tampak bagi yang melihat.”. “Tidak ada keserupaan dalam wujud dan tidak ada pertentangan dalam wujud, karena sesungguhnya wujud adalah satu realitas dan sesuatu tidak bertentangan dengan dirinya sendiri.
            Menurut informasi yang penulis ketahui-bahwa: mungkin tokoh yang paling besar perananya dalam mempopulerkan istilah wahdat al wujud ialah Taqi al Din Ibn Taymiyyah (w.728/ 1328), pengecam keras Ibn al Arabi dan para pengikutnya. Ibn Taymiyyah sering menggunakan istilah wahdat al wujud dalam karya-karyanya. Bahkan ia menggunakanya dalam judul dua uraianya: Ibtal wahdat al wujud (“pembatalan wahdat al wujud”) dan Risalah ila man sa’alahu ‘an haqiqat madzhab al ittihadiyyah ay al-qailin bi wahdat al wujud. (“Suatu uraian kepada orang yang ditanya tentang realitas aliran orang-orang penganut ittihad, yaitu orang-orang yang mendukung wahdat al wujud”). Judul uraian kedua menunjukkan bahwa Ibn Taymiyyah menyamakan wahdat al wujud dengan ittihad. Ia mengulang penyamaan ini pada banyak bagian dalam karya-karyanya, bahkan sering menambahkan istilah hulul (“Inkarnasionisme”) sebagai sinonim dekat kedua. Bagi Ibn Taymiyyah, istilah wahdat al wujud adalah istilah yang mempunyai pengertian negatif. Ia menggunakanya sebagai kutukan dan ejekan. Baginya yang sinonim dengan ajaran bid’ah: adalah ittihad dan hulul. Ajaran wahdat al wujud adalah ajaran kufr dan bid’ah.[34]
            Pengertian wahdat al wujud menurut Inb Taymiyyah berbeda dengan pengertian wahdat al wujud Ibn al Arabi dan para pengikutnya. Menurut Ibn Taymiyyah, wahdat al wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam, yang dalam istilah modern sinonim dengan “pantaisme”. Ia mengatakan. “orang- orang yang berpegang pada wahdat al wujud menyatakan bahwa wujud adalah satu dan wajib al wujud yang dimiliki oleh sang pencipta adalah sama dengan wujud kemungkinan yang dimiliki makhluk. Pada bagian lain ia mengatakan ”Hakikat kata-kata orang-orang yang mempertahankan wahdat al wujud adalah bahwa wujud al-kainat (alam) sama dengan wujud Tuhan, tidak lain dan tidak berbeda”. Perbedaanya dengan ajaran Ibn Arabi ialah bahwa Ibn Taymiyyah melihat hanya aspek tasybih dalam ajaran Ibn al Arabi. Ia tidak melihat aspek tanzih dalam ajaran yang sama. Padahal kedua aspek ini berpadu menjadi satu dalam ajaran Ibn al Arabi.        
            Sejak zaman Ibn Taymiyyah dan seterusnya, istilah wahdat al wujud semakin sering dipergunakan secara umum untuk menunjukkan keseluruhan doktrin yang diajarkan Ibn Arabi dan para pengikutnya. Bagi para pengecam doktrin wahdat al wujud, terutama kaum fuqaha , istilah wahdat alwujud berkonotasi negatif, yang diberi label kufr, zandaqah dan bid’ah. Tetapi bagi kaum penganut wahdat al wujud, istilah ini mempunyai pengertian negatif. Lebih dari itu, istilah ini bagi mereka adalah sinonim dengan tawhid yang paling tinggi. Wahdat al wujud adalah pendekantan sufi dalam mengekspresikan tauhid.
            Dalam studi modern di Barat, doktrin wahdat al wujud diberi label-label: “pantaisme,” “monoisme”, “monoisme panteistik,” dan yang serupa. Sarjana-sarjana barat mempelajari sistem pemikiran Ibn Arabi, sebagaimana pemikiran-pemikiran Islam lain, dalam kerangka acuan barat, yang mereka anggap valid untuk semua sistem pemikiran. Dengan memberikan suatu label atau istilah Barat kapada suatu sistem pemikiran, mereka mengira label atau istilah itu cocok atau pas untuk menyambut sistem pemikiran yang mereka pelajari itu. Mereka menganggap usaha itu memberikan penyelesaian.
            Beberapa studi serius tentang Ibn Arabi yang dilakukan para sarjana beberapa dasawarsa belakangan ini mengkritik penggunaan label-label lama yang diberikan kepada sistem Ibn al Arabi. Kritik itu muncul karena penggunaan label-label lama itu tidak tepat untuk sistem Ibn al Arabi. Para pengkritik menganggap bahwa istilah”pantaisme, “monoisme”, “monoisme panteistik” dan yang serupa tidak tepat untuk menyambut wahdat al wujud. Namun, pemakaian label-label lama tetap saja dipertahankan sampai sekarang khususnya oleh orang-orang yang mampunyai pengertian negatif tentang wahdat al wujud dan bersikap menentangnya.
            Karena label-label lama dianggap mempunyai pengertian negatif, maka para penentang doktrin wahdat al wujud lebih suka memakai label-label lama itu.  Sebaliknya, para penyokong doktrin ini keberatan memakainya. Perbedaan sikap ini akan berlanjut terus selama terdapat perbedaan pengertian dan pendirian tentang doktrin wahdat al wujud yang telah menjadi bahan perdebatan selama berabad-abad.
           
E. Ibnu Arabi dengan ajaran Wujud dan Adam
            Dalam memahami pengertian wahdat al wujud, terlebih dahulu orang harus mengerti istilah wujud. Kata wujud biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dengan “being” atau “existence”. Di samping dua terjemahan itu, ada pula sarjana yang menambahkan  terhadap kata yang sama terjemahan lain, yaitu “finding”. Kata wujud telah masuk ke dalam kosa kata bahasa Indonesia, tetapi mempunyai dua cara penulisan: “wujud” (dengan w) dan ujud “ujud” (tanpa w). Kata ini, ketika masuk kedalam bahasa Indonesia, memperoleh arti baru disamping arti asli yang ada dalam bahasa Arab.[35]
            Kata wujud tidak dapat diterjemahkan secara tepat ke dalam bahasa apapun. Maka sebaiknya kata itu tidak diterjemahkan, tapi diterangkan saja artinya. Marijan Mole, misalnya, mengakui kesulitan dalam menerjemahkan kata wujud secara tepat. Begitu pula W.C. Chittick menghindari penerjemahan kata wujud, karena kata itu menurutnya tidak bisa diterjemahkan secara memuaskan ke dalam kata apapun dalam bahasa Inggris.
            Kata wujud, bentuk masdar dari wajada atau wujida, yang berasal dari akar wjd, tidak terdapat dalam al-Qur’an  bentuk masdar dari akar yang sama yang terdapat dalam al-Qur’an adalah wujd. (Qur’an Surat At Thalaq (65) ayat ke 6):

`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr Ÿwur £`èdr!$ŸÒè? (#qà)ÍhŠŸÒçGÏ9 £`ÍköŽn=tã
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka”.
Adapun bentuk fiil dari akar yang sama banyak terdapat dalam Al Qur’an juga seperti yang terdapat dalam Surat Al Imran (3) ayat 37:
 $yJ¯=ä. Ÿ@yzyŠ $ygøŠn=tã $­ƒÌx.y z>#tósÏJø9$# yy`ur $ydyZÏã $]%øÍ 
“Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya”.

            Dalam pengertian “subyektif” kata wujud terletak aspek epistemologis dan dalam pengertian “obyektif”-nya terletak aspek ontologis. Dalam sistem Ibn al-Arabi, kedua aspek ini menyatu secara harmonis. Kesatuan kedua pengertian dan kedua aspek ini terlihat dengan jelas ketika Ibn Arabi membicarakan wujud dalam hubunganya dengan Tuhan. Pada satu pihak, wujud atau lebih tepat satu-satunya wujud, adalah wujud Tuhan sebagai Realitas Absolut, dan pada pihak lain, wujud adalah “menemukan” Tuhan yang dialami oleh Tuhan sendiri dan oleh pencari rohani. Orang-orang yang “menemukan” Tuhan dalam alam dan diri mereka sendiri disebut oleh Ibn al Arabi dengan ahl al kasyf wa al wujud (orang-orang yang menyingkap dan menemukan), yang berarti orang-orang yang mengalami penyingsingan tabir yang memisahkan mereka dari Tuhan, hingga mereka menemukan Tuhan dalam alam dan diri mereka sendiri. Dalam pengertian ini, seperti dikatakan W.C. Chittick, wujud secara praktis adalah syuhud (“menyaksikan” atau “merenungkan”). Wujud dan syuhud, keduanya adalah tajalli, penampakan diri Tuhan, dan keduanya mempunyai pengertian obyektif dan subyektif. Karena alasan ini dan alasan-alasan lain, debat antara pendukung-pendukung wahdat al wujud dan wahdat al syuhud mengaburkan fakta bahwa Ibn al Arabi sendiri tidak bisa dimasukkan ke dalam salah satu dari dua kategori ini tanpa mengubah keseluruhan ajarannya.
            Kata wujud terutama dan lebih khusus digunakan oleh Ibn al Arabi untuk menyambut wujud Tuhan. Sebagaimana telah disebut diatas, satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan; tidak ada wujud selain wujudNya. Ini berarti, apapun selain Tuhan tidak mempunyai wujud. Selain logis dapat diambil kesimpulan, kata wujud tidak dapat diberikan kepada segala sesuatu selain Tuhan (ma siwa Allah), alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Namun demikian, Ibn al Arabi memakai pula kata wujud untuk menunjukan segala sesuatu selain Tuhan. Tetapi ia menggunakanya dalam pengertian metaforis (majaz) untuk tetap mempertahankan bahwa wujud hanya milik Tuhan, sedangkan wujud yang ada pada alam, pada hakikatnya adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. sebagaimana cahaya hanya milik matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada para penghuni bumi. Hubungan antara Tuhan dan alam sering digambarkanya dengan hubungan antara cahaya dan kegelapan. Karena wujud hanya milik Tuhan, maka ‘adam ketiadaan ) adalah “milik” alam. Karena itu Ibn al Arabi mengatakan bahwa wujud adalah cahaya dan ‘adam adalah kegelapan.[36]
            Dalam pandangan Ibn al Arabi, alam adalah penampakan diri (tajalli) al Haqq dan dengan demikian segala sesuatu dan segala peristiwa di alam ini adalah entifikasi (ta’ayyun) al Haqq. Karena itu, baik Tuhan maupun alam, keduanya tidak bisa dipahami kecuali sebagai kesatuan antara konrakdisi-kontrakdisi ontologis. Kontrakdisi-kontrakdisi ontologis dalam realitas bukan hanya bersifat horizontal tetapi juga bersifat vertikal. Kontrakdisi-kontrakdisi itu terlihat antara Yang Tampak (al zahir) dan Yang Batin (al batin), antara Yang Awal (al awwal), dan Yang Akhir (al akhir), antara Yang Satu (al wahid), dan Yang Banyak (al katsir), dan antara “ketidaksetaraan” (tanzih) dan “keserupaan” (tasybih). Kesatuan antara kontrakdisi-kontrakdisi itu secara detil akan dijelaskan pada pasal-pasal lain dalam bab ini.
            Ibn Arabi memandang, realitas adalah satu, tetapi mempunyai dua sifat yang berbeda: sifat Ketuhanan dan sifat kemakhlukan. Sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan hadir dalam segala sesuatu yang ada di alam.  Ini berbeda dengan teori al Hallaj – yang diambil oleh Ibn al-Arabi tetapi diubahnya secara total dan diberinya aplikasi yang lebih luas –bahwa sifat Ketuhanan (lahut) hanya hadir pada manusia, tidak pada makhluk-makhluk lain, dan sifat kemanusiaan (nasut) hadir pada Tuhan.[37] Jika dalam teori al Hallaj masih terdapat dualitas (Tuhan dan manusia), maka dalam teori Ibn al Arabi dualitas tidak ada kecuali dualitas nisbi, dualitas semu: yang ada adalah keesaan. Dalam konteks ini jika dalam teori al Hallaj persoalan yang ditekankan adalah hubungan antara Tuhan dan manusia, maka dalam teori Ibn al Arabi persoalan yang diajukan adalah hubungan antara Tuhan dan alam, antara al Haqq dan al khalq. Teori al Hallaj tentang hubungan antara al Lahut dan al Nasut diubah oleh Ibn al Arabi menjadi teori tentang hubungan antara al Haqq dan al khalq.
            Menurut Ibn al Arabi, dalam wujud hanya ada satu realitas yang dapat dipandang dari dua aspek yang berbeda. “tidak ada dalam wujud­- dalam pandanganya- kecuali satu realitas. Di pandang dari satu aspek, realitas itu kita sebut yang benar, Pelaku dan Pencipta. Dipandang dari aspek lain, ia kita sebut ciptaan, penerima dan makhluk. Tetapi al Haqq dan al khalq adalah dua aspek bagi wujud yang satu atau realitas yang satu.
            Baik al Haqq (Tuhan) maupun al kahlq (alam) dapat pula di pandang dari dua aspek. Dalam Fusus al Hikam, Ibn al Arabi berkata:
“Tidaklah anda memahami bahwa al Haqq tampak melalui sifat-sifat segala sesuatu yang baharu, ketika Dia memberitakan diri-Nya dengan demikian, bahkan melalui sifat-sifat kekurangan dan sifat-sifat kesalahan atau celaan? Tidakkah anda memahami bahwa al-makhluq tampak melalui sifat-sifat al Haqq dari awalnya sampai akhirnya, semuanya itu adalah benar baginya sebagaimana sifat-sifat segala sesuatu yang baharu adalah benar bagi al-Haqq”.
            Dilihat dari satu aspek, Allah adalah satu, tetapi dilihat dari aspek lain Dia adalah semuanya (kull) yang mengandung keanekaan. Ibn al Arabi berkata: “ketahuilah, apa yang dinamakan Allah adalah satu (ahadi) melalui zat dan semua (kull) melalui namanya. Apa yang dinamakan Allah, jika dilihat dari segi zat-Nya, adalah keesaan, tetapi Dia, jika dilihat dari segi penampakan-Nya dalam segala yang ada (mawjudat) dengan bentuk Nama-nama, adalah keanekaan. Inilah arti”semua” (kull), yaitu: yang esa yang mencakup keanekaan.
            Sekarang timbul pertanyaan, bagaimana alam jika dilihat dari dua aspek? Semua penganut wahdat al wujud, tentu termasuk Ibn al Arabi, demikian T. Izutsu, berkesimpulan, segala sesuatu yang tampak di alam ini, tanpa kecuali, mempunyai dua aspek yang berbeda: pertama, aspek ketuhanan, yaitu Realitas Absolut itu sendiri, dan kedua, aspek kemakhlukan, yaitu segala sesuatu yang relatif, yang lain dari Realitas Absolut. Tentang hal ini dapat dikatakan bahwa segala sesuatu di alam ini adalah Tuhan dalam suatu pengertian dan makhluk dalam pengertian lain. Semua makhluk dapat dibedakan dan harus dibedakan dengan Tuhan. Tetapi kemakhlukan akhirnya dapat direduksi menjadi kodrat ketuhanan sejauh yang pertama adalah “hubungan illuminatif” dari yang terakhir itu sendiri.[38]
            Diantara salah satu simbol yang dipakai Ibn Arabi adalah simbol cermin, salah satu simbol paling terkenal dan telah digunakan  jauh sebelum Islam.[39] untuk menjelaskan hubungan ontologis antara al Haqq dan al Khalq. Disini Ibn Arabi memberikan perumpamaan timbal balik dengan simbol ini: al khalq adalah cermin bagi al Haqq dan al Haqq adalah cermin bagi al khalq.
             Perumpamaan bahwa al khalq adalah cermin bagi al Haqq mempunyai dua fungsi: pertama, untuk menjelaskan sebab dan penciptaan alam dan yang kedua, untuk menjelaskan bagaimana munculnya yang banyak dari yang satu dan hubungan bagaimana munculnya yang banyak dari yang satu dan hubungan ontologis antara keduanya. Tentang fungsi pertama, yaitu menjelaskan sebab penciptaan alam, dapat dikatakan bahwa al Haqq (Tuhan) mempunyai sifat senang “melihat diri-Nya”. Agar dapat “melihat diri-Nya,” al Haqq menciptakan al khalq (alam): “cermin” (mir’ah). Dalam konteks ini, pertanyaanya: “kenapa Tuhan menciptakan alam? “dapat dijawab dengan: “Karena Tuhan ingin melihat diri-Nya.” Bagian pertama Fass Adami dalam Fusus al Hikam dengan jelas menyatakan hal ini:
Al Haqq ingin melihat entitas-entitas dari Nama-Nama Terindah-Nya yang jumlahnya tidak terbatas, dan jika anda senang, anda dapat mengatakan bahwa Dia ingin melihat entitas-Nya sendiri.....Dia menciptakan keseluruhan alam sebagai wujud kekaburan yang tidak berbentuk tanpa ruh padanya, karena itu ia laksana cermin yang tidak jelas.....Maka perintah Tuhan mengharuskan kebeningan cermin alam, dan Adam adalah entitas kebeningan cermin itu dan ruh bentuk itu........
            Tujuan Tuhan menciptakan alam bukan hanya untuk melihat diri-Nya, tetapi juga untuk memperlihatkan diri-Nya. Disamping ingin mengenal diri-Nya, dia ingin mengenal diri-Nya, Dia ingin memperkenalkan diri-Nya lewat alam. Dia adalah “harta simpanan tersembunyi” (kanz makhfi) yang tidak dapat dikenal kecuali melalui alam. Ide ini sesuai dengan hadits Nabi saw., yang menyatakan bahwa Tuhan adalah harta simpanan tersembunyi yang tidak dikenal, karena itu Dia ingin dikenal. Maka Dia menciptakan makhluk dan memperkenalkan diri-Nya kepada mereka. Lalu mereka mengenal-Nya.[40] 
            Tentang fungsi kedua, yaitu menjelaskan munculnya yang banyak dari yang satu dan hubungan antara keduanya, dapat dikatakan bahwa “Yang Melihat,” yaitu al-Haqq (Tuhan), adalah satu, tetapi bentuk atau gambar-Nya banyak sebanyak cermin tempat bentuk atau gambar itu terlihat. Kejelasan gambar pada cermin tergantung pada kualitas kebeningan cermin itu. Dalam hal ini terdapat tingkat kualitas kebeningan cermin. Cermin yang lebih bening akan memantulkan gambar yang lebih jelas dan sempurna. Manusia adalah cermin yang paling sempurna bagi al Haqq karena manusia memantulkan keseluruhan nama-nama dan sifat-sifat al Haqq pada dirinya, sedangkan makhluk-makhluk lain memantulkan hanya sebagian nama-nama dan sifat-sifat itu. Di antara manusia yang paling sempurna kualitasnya adalah para nabi. Puncak kesempurnaan kualitas cermin itu terdapat pada “Cermin Muhammad” (al mir’ah al muhammadiyah), yang disebut” Manusia Sempurna” (al insan al kamil), karena ia memantulkan keseluruhan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan secara sempurna.
            Tentang perumpamaan bahwa al Haqq adalah cermin bagi al-khalq, timbul persoalan apakah manusia dapat melihat al Haqq. Jika alam adalah “tempat penampakan diri” (majla’: tempat tajalli) al Haqq, maka manusia dapat melihat al Haqq melalui alam. Tetapi sebenarnya yang dilihat manusia bukanlah al Haqq itu sendiri, melainkan adalah “penampakan-penampakan” (tajalliyyat: jamak dari tajalli)-Nya. Menurut Ibn al Arabi penerima tajalli (mutajalla lahu), termasuk manusia, tidak melihat al Haqq dan tidak mungkin melihat-Nya meskipun ia mengetahui bahwa ia tidak mungkin melihat bentuknya yang sebenarnya kecuali pada-Nya.[41] Alam dan apa yang ada di dalamnya adalah tanda-tanda al Haqq. Al-Haqq diketahui melalui alam. Tanpa alam, al Haqq tidak dapat di ketahui.
            Persoalan “melihat al Haqq” dijelaskan Ibn al Arabi dengan perumpamaan cermin  dan bentuk yang terlihat dalam cermin itu. Orang yang melihat bentuknya atau gambarnya dalam cermin hanya melihat bentuknya atau gambarnya sendiri, tidak melihat cermin itu.[42]

F. Al Insan Al Kamil
            Doktrin al insan al kamil (Manusia Sempurna) perlu dibicarakan secara khusus dalam bagian ini karena doktrin al insan al kamil, selain terkait erat dengan doktrin wahdat al wujud yang merupakan dasar metafisisnya, adalah intisari ajaran tasawuf Ibn al Arabi[43]. Ungkapan al insan al kamil memang pernah dipakai sebelum Ibn al Arabi. Namun demikian, diduga secara luas bahwa sufi ini adalah yang pertama menggunakan ungkapan ini sebagai suatu istilah teknis[44].
            Ibn al Arabi mengatakan, alam adalah cermin bagi Tuhan. Alam mempunyai banyak bentuk yang jumlahnya tidak terbatas. Karena itu, dapat dikatakan bagi Tuhan terdapat banyak cermin yang jumlahnya tidak terbatas. Ibarat seseorang yang berdiri didepan banyak cermin yang ada di sekelilingnya, Tuhan adalah esa tetapi bentuk atau gambar-Nya banyak sebanyak cermin yang memantulkan bentuk atau gambar itu. Kejelasan gambar pada suatu cermin tergantung kepada kualitas kebeningan cermin itu. Semakin bening atau bersih cermin, semakin jelas dan sempurna gambar yang dipantulkanya. Cermin paling sempurna bagi Tuhan adalah manusia sempurna, karena ia memantulkan semua nama dan sifat Tuhan, sedangkan makhluk-makhluk lain memantulkan hanya sebagian nama dan sifat itu.
            Ibn al Arabi mengatakan bahwa alam dapat hidup dan terpelihara secara terus-menerus karena adanya manusia. Manusia bagi alam bagaikan “pengikat permata”  (fass) pada cincin bagi harta benda raja yang disegel dengannya. Pengikat permata itu adalah tempat ukiran dan tanda yang digunakan raja untuk menyegel harta bendanya. Karena alasan ini, manusia disebut khalifah karena dengan dialah Tuhan memelihara alam seperti segel memelihara harta benda. Selama segel raja terdapat pada harta benda itu, tak seorang-pun berani membukanya kecuali seizin sang raja. Disini segel berfungsi sebagai pemelihara harta benda sang raja. Tuhan menunjuk manusia sebagai khalifah-Nya untuk memelihara alam. Alam akan tetap terpelihara selama manusia sempurna berada di dalamnya[45]. Dalam doktrin Ibn al Arabi, manusia sempurna bukan hanya sebab bagi adanya alam, tetapi juga adalah pemelihara dan pelestari alam.
            Pada kesempatan lain Ibn al Arabi berkata:
Dia (Allah) menundukkan (sakhkhara) kepadanya (adam, manusia) segala sesuatu, yang tinggi dan yang rendah, karena kesempurnaan bentuknya. Sebagaimana tidak sesuatu pun dalam alam yang tidak memuji Tuhan, demikian pula tidak sesuatu pun dalam alam yang tidak tunduk (musakhkhar) kepada manusia karena sesuatu yang diberikan kepadanya oleh hakikat bentuknya. Allah Ta’ala berfirman: “Dia menundukkan kepadamu semua yang ada di langit dan yang ada dibumi, [sebagai rahmat] dari Dia.”-  Q.S Al Jasiah, 13- karena itu segala sesuatu yang ada dalam tunduk kepada manusia. Barang siapa yang mengetahui ini adalah manusia sempurna, sedangkan barang siapa yang tidak mengetahuinya adalah manusia binatang (al insan al hayawan).[46]
            Menurut Ibn al Arabi yang dimaksudkan manusia sempurna diatas adalah manusia sempurna pada tingkat universal. Ibn al Arabi pun menujukkan perbedaan antara manusia sempurna (al insan al kamil) dan manusia binatang (al insan al hayawan). Dengan menunjukkan perbedaan itu, ia ingin menegaskan bahwa tidak semua manusia menjadi manusia sempurna, hanya manusia-manusia pilihan khusus tertentu menjadi manusia sempurna. Manusia-manusia pilihan itu adalah para nabi dan para wali Allah.
            Tentang perbedaan antara manusia sempurna dan manusia binatang, antara lain Ibn al Arabi berkata:
            Karena wujud manusia sempurna adalah menurut gambar sempurna [Tuhan], maka ia berhak menerima khilafah dan kewakilan dari Allah swt di alam. Mari kita jelaskan pada bagian ini timbulnya khalifah, kedudukanya, dan gambar hakikinya. Kita tidak mengartikan manusia dengan manusia binatang belaka, tetapi dengan manusia dan khalifah. Dengan kemanusian dan khilafah, ia berhak menerima gambar dalam kesempurnaan. Setiap manusia bukanlah khalifah. Menurut pendapat kita, manusia binatang benar-benar bukanlah khalifah.[47]
            Sebagaimana yang dijelaskan diatas bahwa manusia diberi oleh Allah suatu kedudukan sebagai khalifah karena ia adalah “perpaduan” (jam’iyyah) atau paduan (majmu) semua nama Tuhan dan semua realitas alam. Manusia mempunyai sifat-sifat ketuhanan dan sifat-sifat kemakhlukan. “maka aspek lahir manusia adalah makhluk dan aspek batinya adalah Tuhan. Inilah manusia sempurna, yang diidamkan. Apapun selain ini (manusia sempurna) adalah manusia binatang. Tingkat manusia binatang dalam hubungan dengan manusia sempurna adalah tingkat kera (alnisnas) dalam hubungan dengan manusia binatang.[48] Manusia binatang memiliki sifat persis seperti sifat semua binatang. Ia berbeda dengan binatang-binatang lain hanya dalam differentia yang merupakan sifatnya, seperti perbedaan antara sebagian binatang dengan sebagian lainya dalam differentia.[49]
            Pengklasifikasian manusia oleh Ibn al Arabi kepada dua kategori, yaitu manusia sempurna dan manusia binatang, seperti yang telah di jelaskan diatas, dapat pula disamakan dengan pengklasifikasian manusia juga olehnya pada kesempatan lain kepada dua kategori pula, yaitu “hamba Tuhan” (‘abd rabb) dan “hamba nalar” (abd nazar).[50] Kategori pertama, “hamba Tuhan” yang disebut pula “sufignostik,” “gnostik” (‘arif) adalah manusia yang jiwa dan kalbunya suci, bebas dari hawa nafsu dan ikatan badaniah, dan menyingkap realitas-realitas segala sesuatu. Manusia ketegori pertama ini berada dalam keadaan yang oleh Ibn al Arabi disebut “formasi ukhrawi” (an nasyah al ukhrawiyah) meskipun secara lahiriah tampak dalam keadaan yang olehnya disebut “formasi duniawi”  (annasyah ad dunyawiyyah). Manusia kategori ini mengetahui Allah dari segi tajalliNya kepadanya.bukan dari segi nalar rasionalnya. Ia mengetahui Allah dengan penyingkapan intuitif (kasyf) dan rasa (dzawq), bukan dengan akal (‘aql). Manusia seperti ini bukan mengabaikan, apalagi menolak akal tetapi menempatnya pada wilayah kekuasaanya. Melalui teorinya tentang “hamba Tuhan” ini, Ibn al Arabi ingin mengemukakan sikapnya terhadap penggunaan akal. Ia berkata: “tidak ada yang lebih berakal dari pada rasul. Mereka membawa berita langsung dari Tuhan. Mereka menetapkan apa yang tidak dapat ditangkapnya dan apa yang mustahil baginya pertama kali meskipun ditetapkanya ketika penampakan diri Tuhan.[51]
            Kategori kedua, “hamba nalar” adalah orang yang terikat kepada badan dan hawa nafsunya. Tidak mengetahui realitas-realitas segala sesuatu dan hijab tebal antara hamba dan Rabbnya. Manusia kategori ini berada dalam “formasi duniawi”. Ia mengetahui Tuhan dengan nalar pikiran, dengan akal. Ia menundukan Tuhan dibawah hukum nalar. Dengan demikian ia telah mereduksi Tuhan menjadi sesuatu yang dirasional belaka. Manusia seperti ini tidak bisa membebaskan dirinya dari belenggu akal. Ia adalah abdi akal, bukan abdi Rabb.

G. Penutup
            Demikianlah sedikit makalah sebagai pengantar bahan diskusi materi sejarah pemikiran dan peradaban Islam dengan mengangkat seorang tokoh sufi fenomenal “Muhyiddin Ibnu al Arabi” yang bisa penulis sampaikan, tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan perlu penambahan-penambahan maka dari itu dengan kerendahan hati penulis mengharapkan, saran dan juga masukan-masukan dari Bapak Dr. H. Syamsuri, M.A. selaku dosen pembimbing mata kuliyah Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam serta rekan-rekan peserta Program Pasca sarjana IIQ konsentrasi ilmu syari’ah 2008/ 2009 untuk perbaikan makalah ini, baik dari segi aspek metodologi dan teknik penulisanya ataupun dari aspek yang lainya.
            Penulis juga memohon ma’af apabila ada khilaf baik mengenai penulisan dan juga penyampaian makalah yang kurang berkenan di hati, dan tidak lupa juga penulis sampaikan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas arahan dan bimbingan yang telah di berikan oleh Bapak Dr. H. Syamsuri, M.A. selaku dosen pembimbing serta kritikan, ide-ide dan masukan yang telah rekan-rekan sampaikan.
Wallahu ‘alam bi al shawab.
Referensi
1. Ibn al Arabi, Futuhat al Makkiyah, 4 vol, (Kairo, 1911, di cetak ulang di Beirut: Daar al Fikr, t.th
2. Kautsar Azhari Noer, Ibn Al Arabi Wahdat al Wujud dalam Perdebatan. Paramadina, Jakarta.
3. Khalil ibn Aybak Safadi, al Wafi bi al Wafayat (Wiesbaden, 1966)
4. Al Maqarri, Nafh al Tib, di edit oleh Ibn Abbas (Beirut, 1968)
5. Al Sya’rani, Kitab al Yawaqit wa al Jawahir (Kairo, 1305/1888).
6. Ibn al Arabi, Rosail Ibn al Arabi (Hyderabada-Deccan: The Dairatu’l Ma’arifil Osmania, 1948.
7. Ibn Arabi, Fusus al Hikam, di edit dan diberi komentar oleh Abu al Ala Afifi, 2 vol.`(Beirut: Daar Al Kitab Al Arabi, 1980)
8. Ibn Al Arabi, “Ijazah li al Malik al Muzaffar,” Al Andalus, 20, no.1 (1955).


[1]. J. Robson, “Ibn al’Arabi, The Enclopaedia of Islam, New Edition (London dan Leiden: Luzac dan Brill, 1979), 3:707.
[2]. Khalil ibn Aybak Safadi, al Wafi bi al Wafayat (Wiesbaden, 1966) 4: 178, Al Maqarri, Nafh al Tib, di edit oleh Ibn Abbas (Beirut, 1968), 2:163
[3]. Kautsar Azhari Noer, Ibn Al Arabi Wahdat al Wujud dalam Perdebatan. Paramadina, Jakarta, hal 17 
[4]. Claude Addas, Ibn Arabi ou La quete du Soufre Rouge (Paris: Gallimard, 1989).
[5]. T. Izutsu “Ibn Arabi” The Encyclopedia of Relegion, diedit oleh Mircea Eliade, 16 vol. (New York dan London: Macmillan dan Collier Macmillan, 1987), 6:553
[6]. Lihat Futuhat al Makkiyah, 4 vol, (Kairo, 1911, di cetak ulang di Beirut: Daar al Fikr, t.th), 1:363, 2: 27, 3: 235. (Selanjutnya karya ini disebut Futuhat).
[7]. Percakapanya dengan Ibn Rusyd diungkapkanya kembali dalam “Futuhat”, 1:153. Percakapan itu sering dikutip dan dikomentari oleh para sarjana, yang diantara mereka adalah M.Asin Palacios dalam karyanya Ibn Arabi: Hayatuhu wa Madzhabuhu, diterjemahkan oleh Abd Rahman Badawi (Kuwait dan Beirut: Wakalat al Matbua dan Dar al Qalam, 1979), h.12-13, H. Corbin dalam karyanya Creative Imangination in the Sufism of Ibn Arabi, diterjemahkan oleh R.Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969) hal 41-42.
[8]. T.Izutsu, loc.cit. suatu uraian kritis yang membuktikan bahwa Ibn al Arabi adalah seorang mistikus dan filsuf sekaligus dapat di baca dalam Franz Rosenthal, “Ibn Arabi between Philosophy and Mysticism” Oriens (Leiden: Brill, 1988), 31:1-35.
[9]. A.E. Afifi, The Mystical Phylosophy of Muhyid Din Ibn al Arabi (Combridge: Cambridge University Press, 1939), h.xvi
[10]. H. Corbin Creative Imangination in the Sufism of Ibn Arabi, diterjemahkan oleh R.Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969) hal 52-53
[11]. Futuhat, op.cit, juz , hal 47-48
[12]. Pelantikan seperti ini telah diterimanya di Seville (580/1184) dan di Makkah (599/1202)
[13]. Futuhat, Juz 4 hal 560
[14]. H. Corbin, op.cit., h.69; Austin, Sufis of Andalusia, h.41, dan The Bezels of Wisdom, h.10.
[15]. Pembagian periode atau tahap kehidupan sufi ini, seperti telah disebut di atas, dianut oleh H.Corbin (Creative Imagination, h.24-77), T. Izutsu (“Ibn al Arabi, “h.552-554), dan M. Gloton (Ibn Arabi, Traite de L’amour, pengantar, terjemahan dan catatan oleh M.Gloton, Paris: Albin Michel, 1986, h. 14-17).
[16]. Ibn Arabi, Fusus al Hikam, di edit dan diberi komentar oleh Abu al Ala Afifi, 2 vol.`(Beirut: Daar Al Kitab Al Arabi, 1980), Juz 1, hal 47.
[17]. Ibn Al Arabi, “Ijazah li al Malik al Muzaffar,” Al Andalus, 20, no.1 (1955), futuhat, juz 1, hal 2
[18]. C. brokelmann, Geschicte der arabischen (GAL), 2 vol. plus 2 vol. Suplement (Leiden, 1934-49), juz 1 hal 571-82, Suppelment , Juz 1 hal 791-802.
[19]. A. Ates, “Ibn al Arabi,” The Encyclopedia of Islam, New Edition, 3:708.
[20]. Osman Yahia, Histoire et classification de I’oeuvre d’Ibn ‘Arabi (Damaskus: Institut Francais de Damas, 1964), h. no. 681.
[21]. Ibn al Arabi, Ijazah al Malik al Muzaffar.” 
[22]. Sayyed Hossen Nasr, op.cit, hal 97-98.
[23]. Al Sya’rani, Kitab al Yawaqit wa al Jawahir (Kairo, 1305/1888), Juz 1: 31, berdasarkan bab-bab 89 dan 348 dalam Futuhat, dikutip oleh H.Corbin, op.cit. hal.74
[24]. W.C. Chittick, “A Suffi Appoach to Religious Diversity: Ibn al Arabi on the Metaphysics of Revalation, “Relegion of the Heart, diedit oleh Sayyed Hossein Nasr dan William Stoddart (Washington: Foundation for Traditional Studies, 1991), hal 87-88, catatan no.5. Sebelumnya W.C. Chittick memberikan perhitungan kiraan bahwa Futuhat edisi Osman Yahia membutuhkan 17.00 halaman. Perhitungan semula itu di ungkapkanya dalam karyanya The Sufi Path of Knowledge, hal xi.
[25]. H.S. Nyberg, Kleinere Schriften des Ibn al Arabi (Leiden: W.J. Brill, 1919)
[26]. Ibn al Arabi, Rosail Ibn al Arabi (Hyderabada-Deccan: The Dairatu’l Ma’arifil Osmania, 1948).
[27]. Ibn al Arabi, Le Livre del’ Extinction dans la Contemplation, di terjemahkan oleh M. Valsan (Paris: Les Editions de l’Oeuvre, 1989).
[28]. Ibn al Arabi, The “Tarjuman al Asywaq”. A Collection of Mystical Odes by Muhyiuddin Ibn al Arabi, diterjemahkan oleh R.A. Nicholson (London: Oriental Translation Fund, 1911, di cetak ulang, London: Theosophical Publishing House, 1978).
[29].  A. Jeffery, “Ibn al Arabi’s Shajarat al Kawn,”Studia Islamica, 10 (1959): 45-47, 11(1960): 113-160.
[30]. Ibn al Arabi, L’Arbre du Monde, diterjemahkan oleh M.Gloton (Paris Les Deux Oceans, 1982).
[31].  Ibn al Arabi’s “Instruction to a Postulant” di terjemahkan oleh A. Jeffer dalam karyanya A Reader on Islam (The Hague Mouton, 1962), hal 640-655.
[32]. T.B. al Jerrahi “What the Student Needs: Ibn al Arabi’s Mala Budda minhu lil Murid, JMAIS, 5 (1986): hal 28-55.
[33]. Ibn al Arabi, Le Livre d’Ensdeignement par les Formules Indicativesdes Gens Inspires, diterjemahkan, diberi pengantar dan catatan oleh M. Valsan (Paris Les Editions de l’Oeure, 1985).
[34].  Inb Al Arabi wahdat al wujud dalam perdebatan, op.cit, hlm 40
[35]. Arti baru itu ialah” yang ada rupa dan bentuknya (dapat diraba, dilihat, dsb), “benda yang nyata (bukan roh dsb), “maksud” , “tujuan”. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, disusun oleh Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Jakarta: Dep. P&K  dan Balai Pustaka, 1989), hal. 984 dan 1013. 
[36]. Futuhat, 3: 274, 4: 39, 2: 486
[37]. Perbedaan antara teori al Hallaj tentang dualitas al Lahut dan al Nasut pada satu pihak dan teori Ibn al Arabi tentang kesatuan Tuhan dan manusia  (mikrokosmos) pada pihak lain dijelaskan dengan singkat antara lain oleh A.E.Affifi, “Ibn ‘Arabi,” A History of Muslim Philosophy, diedit oleh M.M. Sharif, 2 vol. (Karachi: Pakistan Philosophical Congress, 1963; dicetak ulang di Pakistan pada 1983), 1:415-16.  
[38]. T. Izutsu, The Consept and Reality of Existence (Tokyo: The Keio Institute of  Cultural and Linguistic Studies. 1971). hal 45.
[39]. Simbol cermin, atau simbol air jernih yang berfungsi sebagai cermin, telah digunakan oleh orang-orang Cina kuno, Yunani Kuno, dan Persia Kuno. Simbol air jernih dan cermin ditemukan dalam sastra Konfusian dan Taois abad ketiga sebelum Masehi, sebagaimana yang digunakan oleh Hsun-tzu (air jernih), Chuang-tzu (cermin dan air jernih), dan Hui-neng (cermin). Dalam mitologi Yunani kuno, Narcissus diceritakan sebagai seorang manusia muda yang elok rupanya jatuh cinta pada gambaranya sendiri dalam air. Kemudian sikap mencintai diri sendiri atau memperhatikan penampilan, kesenangan, kepentingan, kemam-puan, dan lain-lain diri sendiri disebut “narcissisme”. Dalam legenda Persia Kuno, Jamsyid, raja peri dan jin dapat melihat dirinya dalam Jam’I Jamsyid, sejenis khusus dari cermin, yang dapat memantulkan dirinya. Greogorius dari Nyssa (337-400), seorang mistikus Kristen, memandang jiwa manusia sebagai cermin yang menerima gambar dan bentuk Tuhan,  sehingga Tuhan menjadi hadir di dalamnya. Lihat Julia Ching, “The Mirror Symbol Revisited: Confucion and Taoist Mysticism, “dalam Steve: T. Ketz, ed., Mysticism and Religious Traditions (Oxford: Oxford Universrity Press, 1983, hh. 226, 236-9; Akhtar Qamber, “The Mirror Symbol in the Teachings and Writings of Some Sufi Master, “Islamic culture, 62 iv 1988): 61-64.
[40]. Hadits ini diungkapkan oleh Ibn al Arabi sebagai berikut: “Aku adalah harta simpanan yang tidak dikenal, karena itu Aku rindu untuk dikenal. Maka Aku ciptakanlah makhluk dan Aku perkenalkanlah diri-Ku kepada mereka, sehingga mereka mengenal-Ku. “Aku adalah harta simpanan tersembunyi, karena itu Aku rindu untuk di kenal. Maka Aku ciptakan makhluk, sehingga melalui-Ku mereka mengenal-Ku.
Pada umumnya para ahli hadits menganggapnya hadits palsu, alias bukan perkataan Nabi saw. Al Sakhawi, misalnya, mengatakan bahwa perkataan ini bukan dari Nabi, tidak diketahui apakah memiliki sanad sahih atau lemah. Sekalipun demikian, al-Qari memandang makna yang dikandungnya sahih berdasar pada firman Allah, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka mengabdi kepada-Ku. “(Q.S 51-Adz Zaariyat-ayat 56) Frasa” supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (li ya’buduni) berarti”supaya mereka mengenal-Ku” (liya’rifuni)- yang sesuai dengan makna perkataan tadi-sebagaimana ditafsirkan oleh Ibn Abbas. Dalam pandangan Ibn al Arabi, keotentikan perkataan ini sebagai hadits dibuktikan dengan kasyf (penyingkapan), atau melihat Nabi dalam alam imajinal. Karena itu ia mengatakan bahwa hadits ini”adalah sahih atas dasar kasyf, bukan ditetapkan dengan cara naql (transmisi)”(futuhat, 2-al-Baqarah: 399) lihat W.C. Chittick, Sufi Path, hal 391, catatan no. 14, Suad al Hakim, Mu’jam, hal 500.
[41]. Ibn al Arabi, Fusus al Hikam, di edit dan di beri komentar oleh Abu al Ala Afifi, 2 vol. (Beirut: Dar al Kitab al Arabi, 1980), Juz 1: 61
[42]. Ibid, Juz 1: 61-62
[43]. Ungkapan ini muncul dalam Fi Ara’i al Tabai’iyah Pseudo-Plutarch (H. Daiber, Aetius Arabus, Die Vorsokratiker in Arabischer Uberlieferung [Weisbeden, 1980], h. 92.) ungkapan ini tidak digunakan sebagai istilah teknis, Asal-usul ungkapan ini yang mungkin berasal dari Ismailiyyah dibicarakan oleh Mustafa al Syaybi dalam al Silah bayna al Tasawwuf wa al Tasyayu’ (Kairo, 1969), hal 464-465. catatan ini tercantum dalam Masataka Takeshita, 
“The Theory of the Perfect Man in Ibn Arabi’s Fusus al Hikam, Orient, 19 (Tokyo, 1983): 98, catatan no.7
[44]. R.A. Nicholson, Studies in Islamic Mysticism, hal. 77; idem, “al Insan al-Kamil, “ E.J. Brill First Encyclopedia of Islam, 1913-1936, 9 vol. (Leiden: E.J. Brill, 1987), idem “al Insan al Kamil” Shorter Encyclopedia of Islam (Leiden: EJ. Brill, 1974), hal 170, idem, The Sufi Doctrine of the Perfect Man (Edmonds, WA: The Near Eastrn Press, 1984), h. 5; A. Jeffrery, “Ibn al Arabi’s Shajarat al Kawn, “Studia Islamica 10 (1959): 51; S.H. Nasr, Three Muslim Sages, h. 110.

[45]. Fusus al Hikam, 1:150
[46]. Futuhat, 2: 214
[47]. ‘Uqlat al Mustawfiz, dalam H.S. Nyberg, Kleinere, hh. 45-46
[48]. Futuhat, Juz 3; hal 296
[49]. Ibid, Juz 3, hal 297
[50] Fusus, 1: 118, 2: 273
[51]. Fusus, 1: 185-186

Tidak ada komentar:

Posting Komentar