Kamis, 05 Mei 2011

Mekanisme dan Produk Bank Syari'ah

Oleh: Kholid Ma'mun


MEKANISME DAN PRODUK BANK SYARIAH

A. PENDAHULUAN
Sistem perbankan syariah yang sekarang ini kita kenali telah berkembang didunia islam selama sekitar setengah abad lamanya, dimulai pada dekade 1940-an [1] Rintisan sistem perbankan syariah, atau ada yang menyebutnya sebagai bank Islam, dimulai di Pakistan dalam pengelolaan dana haji. Lalu di Mesir dengan berdirinya bank desa Mit Ghamr pada tahun 1963. Pada dekade 1970-an lah perbankan syariah berkembang di banyak negara Mesir dan Sudan, lalu Kuwait, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladish, serta Turki. Bahkan sejak 1997, di Russia pasca peruntuhan Uni Soviet perbankan Islam juga mulai berkembang dimulai dengan lahirnya Badr Bank di Moskow. Belakangan, pasar perbankan syariah bahkan di masuki oleh perusahaan-perusahaan perbankan internasional seperti Citibank, Jardine Felmming, ANZ, Golden Sach, dan lain sebagainya. Fakta yang menunjukan bahwa bisnis perbankan syariah kemudian menarik minat dan telah dimasuki oleh kelompok non muslim.
Meskipun demikian pesatnya perkembangan ini baru dirasakan di Indonesia dalam kurun sepuluh tahun terakhir, ketika hubungan pemerintahan Orde Baru dan Umat Islam mengalami masa “bulan madu”  di pelopori pada 1991 dengan pendirian Bank Muamalat, Bank Syariah pertama yang direstui penguasa dinegeri ini, perbankan Syariah Indonesia kini telah menghadirkan sejumlah bank syariah, maupun “turunanya” berupa puluhan BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah) maupun ratusan BMT (Baitul Mal Wa Tamwil) di seantero negeri.    
Keterlambatan perkemangan perbankan syariah ini, tentu saja, tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang secara resmi membolehkan beroperasinya bank syariah sejak 1992, melalui undang-undang No 7 tahun 1992 tentang perbankan. Meski tidak secara tegas menggunakan istilah perbankan syariah, UU no 7/1992 membolehkan bank “melakukan kegiantan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil”. Setelah UU ini direvisi dengan UU tentang perabankan yang baru, yakni UU No.10/1998, secara eksplisit ditetapkan bahwa bank boleh beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Bahkan kemudian, UU No 23/1999 tentang bank Indonesia sebagai bank sentral dapat “melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah”.
Dampak dari kejelasan pemerintah terhadap pertumbuhan perbankan syariah ini terlihat nyata di lapangan. Sampai dengan februari 2003, menurut data di bank Indonesia, telah berdiri 231 kantor cabang bank syariah. Diantaranya 114 merupakan bank umum syariah, 32 unit usaha syariah, dan 85 BPR Syariah. Beberapa bank besar yang membuka unit Syariah, antara lain, BNI, BRI, Bank Danamon, BII, dan Bank Mandiri. Sampai Desember 2002 pertumbuhan total aset perbankan syariah naik Rp. 326 Miliyar, dari Rp 2,719 triliun pada Desember 2001 menjadi Rp 4,045 triliun pada kurun yang sama. Total pembiayaan yang telah disalurkan perbankan Syariah telah mencapai Rp 3,227 triliun. Demikian juga dalam hal pengumpulan dana pihak ketiga telah menjadi lonjakan. Pada Desember 2001dana terhimpun adalah Rp 1,806 trilun dan melonjak menjadi Rp 2,5 triliun pada Desember 2002.[2]
Meskipun aset totalnya masih relatif kecil dibandingkan dengan perbankan konvensional[3] yakni dibawah 1% perbankan syariah di Indonesia mendapat dukungan dan sambutan luas dari berbagai pihak[4]. Berbagai kalangan pendukung perbankan syariah telah pula mendirikan institusi-institusi penopang, misalnya Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) dan Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES), yang umumnya beremisi “medorong ekonomi syariah berjalan lebih mantap dan simultan”. Tidak kalah meriahnya dikalangan mahasiswa dan perguruan tinggi. Hampir merata di semua kampus, negeri maupun swasta, yang berbasis Islam maupun umum, berdiri dan aktif ”klub-klub ekonomi syariah” kajian-kajian rutin tentang ekonomi syariah bahkan telah berkembang menjadi “kurikulum” dan kegiatan “ekstra kurikuler” sendiri, dengan atau tanpa pengabsahan formal dari kampus.
Keunggulan nyata dari perbankan syariah yang acap didengung-dengungkan oleh berbagai pihak adalah terhindarnya perbankan ini dari resiko negative spreed. Yakni keuntungan minus akibat bunga yang dibayarkan lebih tinggi daripada bunga yang didapat. Bank syariah tidak mengenal negative spreed karena keuntungan yang dibagikan kepada penyimpan tergantung kepada keuntungan usaha nasabah yang menggunakan dana yang bersangkutan. Kalau usaha yang dikelola mitra bank untung, penyimpan dan mendapatkan untung pula. Sebaliknya, bila usaha tersebut tidak memberikan keutungan, maka para penyimpan tidak akan mendapatkan apa-apa.

B. TUJUAN SISTEM PERBANKAN SYARIAH
ISLAM adalah suatu dien (way of life) yang praktis, mengajarkan segala yang baik dan bermanfaat bagi manusia, dengan mengabaikan waktu, tempat atau tahap-tahap perkembanganya. Selain itu, Islam adalah agama fitrah, yang sesuai dengan sifat dasar manusia (human nature).
Aktifitas keuangan dan perbankan dapat dipandang sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk membawa mereka kepada, paling tidak, pelaksanaan dua ajaran Qur’an yaitu:
1). Prinsip at ta’awun, yaitu saling membantu dan saling bekerjasama diatara anggota masyarakat untuk kebaikan, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an:
 (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 
Arti: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam(mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...”(QS: 5:2)
2). Prinsip menghindari al iktinaz, iddikhar yaitu menahan uang (dana) dan membiarkanya menganggur (idle) dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum sebagaimana dinyatakan di dalam Al Qur’an:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB
 Arti: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
Prinsip utama yang dianut oleh Bank Islam adalah:
1). Larangan riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi.
2). Menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada perolehan keuntungan yang pada perolehan keuntungan yang sah menurut syariah.
3). Memberikan zakat[5]

C. BISNIS DAN USAHA YANG DIBIAYAI
Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah. Karena itu, bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang terkandung didalamnya  hal-hal yang diharamkan.[6]
Dalam perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan di setujui sebelum dipasktikan beberapa hal pokok, diantaranya sebagai berikut.
1). Apakah objek pembiayaan halal atau haram?
2). Apakah proyek menimbulkan kemudharatan untuk masyarakt?
3). Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan asusila?
4). Apakah proyek berkaitan dengan perjudian?
5). Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata yang ilegal atau berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh masal?
6). Apakah proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung.[7]

D. LINGKUNGAN KERJA DAN CORPORATE CULTURE
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq, harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Di samping itu, karyawan bank syariah harus skillful dan profesional (fathanah), dan mampu melakukan tugas secara team work dimana informasi merata diseluruh fungsional organisasi (tabligh). Demikian pula dalam hal reward dan panishment, diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.[8]
Selain itu, cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah laku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlaq harus senantiasa terjaga. Nabi saw. mengatakan bahwa senyum adalah sedekah.[9]

E. PRODUK PERBANKAN SYARIAH
Produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu[10]:
(I). Produk Penyaluran Dana.
(II). Produk  Penghimpunan Dana.
(III). Produk yang berkaitan dengan jasa yang diberikan perbankan kepada nasabahnya.
I. Penyaluran Dana
Dalam menyalurkan dana pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi kedalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan kepada nasabahnya yaitu:
a). Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli.
b). Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa yang dilakukan dengan prinsip sewa.
c). Transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.
Pada kategori (a) dan (b), tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk kelompok ini adalah produk yang menggunakan prinsip jual beli seperti: murabahah, salam, dan istishna serta produk yang menggunakan prinsip sewa yaitu ijarah. Sedangkan pada kategori (c), tingkat keuntungan bank di tentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prinsip bagi hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati dimuka. Produk perbankan yang termasuk dalam kelompok ini adalah musyarakah dan mudharabah.
I.a Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank di tentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang yang di jual. Transaksi jual beli di bedakan berdasarkan bentuk pembayaranya dan waktu penyerahan barang seperti:
a. Pembiayaan Murabahah
Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keutungan yang disepakati.[11] Dalam ba’i Al murabahah, penjual harus membeli tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keutungan sebagai tambahanya. Misalnya, pedagang eceran membeli komputer dari grosir dengan harga 5.000.000,00, kemudian ia menambahkan keuntungan sebesar 250.000,00, dan ia menjual kepada si pembeli dengan harga Rp. 5.250.000,00. pada umumnya, si pedagang eceran tidak akan memesan dari grosir sebelum ada pesanan dari calon pembeli dan mereka sudah menyepakati tentang lama pembiayaan, besar keuntungan yang akan diambil pedagang eceran, serta besarnya angsuran kalau memang akan dibayar secara angsuran.
Ba’i al murabahah dapat dilakukan untuk pembelian secara pemesanan dan biasa disebut sebagai murabahah kepada pemesan pembelian (KPP). Dalam kitab al Umm, Imam Syafi’i menamai transaksi sejenis ini dengan istilah al aamir bisy syira (الامر باالشراء  )[12].

Dalil Mudharabah
a. Al Qur’an:
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#
Artinya: Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.....(al Baqarah: 275)
b. Al Hadits:
Dari Suhaib ar Rumi r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan: Jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk di jual” (HR Ibnu Majah)
Syarat Ba’i Al Murabahah:
a. Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah.
b. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
c. Kontrak harus bebas dari riba.
d. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pemblian.
e. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian di lakukan secara utang.
Secara prinsip, jika syarat dalam (a), (d), (e) tidak di penuhi, pembeli memiliki pilihan:
a. melanjutkan pilihan.
b. kembali kepada penjual dan menyatakan ketidak setujuan atas barang yang dijual,
c. membatalkan kontrak.
b. Salam
Dalam pengertian yang sederhana, ba’i salam berarti pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan dimuka.[13]
Atau salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tangguh sedangkan pembayaran secara tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kuantitas, kualitas, harga dan watku penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.
Dalil Salam:
a. Al Qur’an
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù
Artinya: Hai orang orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskanya......(al Baqarah: 282)
b. Al Hadits
من اسلف في شيء ففي كيل معلوم ووزن معلوم الى اجل معلوم [اخرجه الائمة الستة]
“ Barang siapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang di ketahui”.
Rukun ba’i as salam:
a. Muslam (pembeli)
b. Muslam ilaih (penjual)
c. Modal atau uang
d. Muslam fihi(barang)
e. Shigat (ucapan)[14]    
Dalam praktek perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridging financing). Sedangkan dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti pembelian komoditi pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau secara cicilan.
Ketentuan Umum Salam:
-) Pembelian hasil produksi harus deketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Misalnya jual beli 100 kg mangga harum manis kualitas A dengan harga 5000/kg, akan diserahkan pada panen dua bulan mendatang.
-) Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab dengan cara antara lain mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai dengan pesanan.
-) Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesanya sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada ketiga (pembeli kedua) seperti bulog, pedagang pasar induk atau rekanan. Mekanisme seperti ini disebut dengan paralel salam.[15]
C. Istishna
Transaksi ba’i istishna merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran: apakah pembayaran dilakukan dimuka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.[16]
Menurut jumhur fuqaha, ba’i istishna merupakan suatu jenis khusus dari akad ba’i salam. Biasanya, jenis ini di pergunakan dibidang manufaktur dan konstruksi. Dengan demikian, ketentuan bai’ al istishna mengikuti ketentuan dan aturan akad ba’i salam.
Dalam leteratur fiqih klasik, masalah istishna mulai mencuat setelah menjadi bahan bahasan Madhab Hanafi seperti yang di kemukakan dalam Majallat al ahkam al Adhliya. Akademi Fiqh Islami pun menjadikan masalah ini sebagai salah satu bahasan khusus. Karena itu, kajian akad bai’ al-istishna’ ini didasarkan pada ketentuan yang di kembangkan oleh fiqih Hanafi, dan perkembangan fiqih selanjutnya di lakukan fuqaha kontemporer.
Mengingat ba’i istishna’ merupakan lanjutan dari ba’i as salam maka secara umum ladasan syariah yang berlaku pada ba’i as salam juga berlaku pada ba’i al istishna.
I.b. Prisnsip Sewa (Ijarah)
Transaksi Ijarah dilandasi adanya perpindahan manfa’at. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli., namun perbedaanya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakanya kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah dikenal ijarah muntahiyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian.
I.c. Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Produk pembiayaan syariah yang didasarkan prinsip bagi hasil adalah:
a. Musyarakah
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/ expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[17]
Dalil Tentang Musyarakah:
a. Al Qur’an:
4 bÎ*sù (#þqçR%Ÿ2 uŽsYò2r& `ÏB y7Ï9ºsŒ ôMßgsù âä!%Ÿ2uŽà° Îû Ï]è=W9$#>> .....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar