Kamis, 24 April 2014

 Hukum melakukan puasa dalam keadaan junub (belum mandi besar)

Apabila terbit fajar shadiq (waktu subuh) dan kemudian datang haid atau nifas maka tidak sah berpuasa, apabila perempuan yang haid atau nifas tetap memaksakan berpuasa maka batal/ tidak sah puasanya. Akan tetapi apabila darah haid/ nifas sudah berhenti (mampet) sebelum terbit fajar shadiq sementara perempuan tersebut baru melakukan mandi besar (junub) setelah fajar shadiq (subuh) maka puasanya tetep sah begitu juga dengan junub dengan sebab salain haid dan nifas (hubungan badan baik dalam keadaan sadar atau dengan tidak sadar/ mimpi basah) maka puasa tetap sah walaupun belum melakukan mandi besar sampai waktu subuh tiba. Karena pada dasarnya mandi besar (mandi junub) adalah merupakan syarat untuk mengerjakan shalat dan ibadah yang lain tapi bukan merupakan syarat sah dan tidaknya puasa. Di sebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra: “ bahwa Nabi Muhammad saw. Pernah dalam kedaan junub pada waktu subuh dan beliau dalam keadaan menjalankan ibadah puasa (sudah masuk waktu subuh akan tetapi beliau belum sempat untuk melakukan mandi besar-junub) kemudian beliau saw. Dengan segera mengerjakan mandi besar dan langsung mengejakan shalat subuh berjamaah dengan para sahabat”.

Disarikan oleh: Kholid Ma'mun  dari kitab فتاوى من احسن الكلام فى الفتاوى والاحكام لفضيلة الشيخ عطية صقر – الجز الثانى- المكتبة التوفيقية- hal 31

Rabu, 23 April 2014

Status Anak di Luar Nikah




Sudah jelas bahwa yang melakukan zina (hubugan badan di luar nikah) adalah zani (laki-laki yang berbuat zina) dan zaniah (perempuan yang berbuat zina) dan bukan anak yang dilahirkan dari hubungan haram tersebut. Dalam agama Islam di jelaskan bahwa manusia tidak dibebani dengan beban dosa dan kesalahan orang lain, hal ini sebagaimana yang di Firmankan Allah swt. Dalam Al-Qur’an surat At-Thur ayat 21:
كل امرئ بما كسب رهينة
Artinya: “tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya”
Begitu juga dalam surat Al-An’am ayat 164:
ولا تكسب كل نفس الا عليها ولا تزر وازرة وزر اخرى
Artinya: “dan tidaklah seseorang berbuat dosa melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri”.
Rasulullah saw. Juga bersabda yang di sampaikan oleh Aisyah ra.:
ليس على ولد الزنا من وزرأبويه شيئ- ولا تزر وازرة وزراخرى (رواه الحاكم)
Artinya: “tidaklah sedikitpun anak zina itu membawa beban dosa dari kedua orang tuanya”.
Banyak sekali hadits yang mencela tentang “anak hasil zina” akan tetapi hadits-hadits tersebut tidak ada yang sahih, diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra yang berbunyi:
ما روي عن النبى صلى الله عليه وسلم انه قال: "لا يدخل الجنة ولد زينة" رواه البيهقى
Artinya: “diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. Bahwa sesunggguhnya: “anak zina tidak masuk surga”.
Dan pendapat yang benar adalah bahwa anak yang dilahirkan dari hasil zina bisa masuk surga apabila meninggal dalam keadaan Islam (muslim/muslimah) dan tidak ada pengaruh terhadap statusnya karena yang melakukan zina tersebut adalah orang lain dan bukan dia.
Hukum yang berlaku terhadap anak hasil zina:
1.      Hukum Nasab:
Anak zina tidak dinisbatkan kepada zani (lelaki pelaku zina) dan zani tidak mempunyai tanggung jawab atas nafkah dan tempat tinggal, akan tetapi nisbat anak hasil zina ini di kepada wanita yang melahirkanya begitu juga dengan nafkah atas anak tersebut ditanggung oleh wanita yang melahirkanya.

Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "الولد للفراش وللعاهر الحجر" متفق عليه

Artinya: “ Bahwa Rasulullah saw. Bersabda: “ Status (kewalian) anak adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan. Dan bagi pelaku zina (dihukum) batu.”



Di Jelaskan dalam Hasyiah As-Shawi ‘Ala Syarhi As-Shaghir:
لان ماء الزانى فاسد ولذا لا يلحق به الولد
Artinya: “karena sesungguhnya air mani zina itu rusak maka dari itu anak yang dihasilkan dari perbuatan zina tersebut tidak bisa di nasabkan kepada bapaknya.
2.      Hukum Waris:
Anak yang dihasilkan dari hubungan zina ini tidak bisa mewarisi dari harta warisan laki-laki yang menghamili perempuan yang melahirkanya begitu juga sebaliknya.
Diriwayatkan dalam Sunan At-Tirmidzi:
روى الترمذي فى سننه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:  ايما رجل عاهر بحرة او امة فالولد ولد زنا ولا يرث ولا يورث

Artinya: “di riwayatkan oleh Imam Tirmidzhi dalam sunan nya bahwa Rasulullah saw. Bersabda: “lelaki mana saja yang berzina dengan perempuan merdeka atau hamba sahaya maka anaknya di sebut anak zina tidak bisa mewarisi dan di  warisi”.

Berdasar atas hadits ini Imam Tirmidzi berpendapat: para Ahlul Ilmi berpendapat bahwa anak hasil zina tidak bisa mewarisi harta dari bapaknya”.
3.      Hukum Nikah
Tidak ada satu Fuqaha pun yang mengatakan haram menikahi anak zina- hanya saja ada perbedaan pendapat dalam madzhab Hambali (حنابلة) tentang apakah dalam hal pernikahan ini apakah  harus sekufu (sederajat) atau tidak? Sebagian mengatakan harus sekufu dan sebagian lagi mengatakan tidak harus sekufu.

                                                            Kholid Ma’mun
Wallahu ‘Alam bi Shawab

Selasa, 22 April 2014

Wanita sedang melakukan haji dan tiba-tiba mengalami haid/ datang bulan




Dijelaskan dalam shahih bukhari dan muslim dari Aiyah radhiyallahu ‘anha. Bahwa Rasulullah saw. Pernah menjumpai Aisyah pada waktu menjalankan ibadah haji dan  menangis, kemudian dRasulullah saw. Bertanya kepadanya: “apakah kamu sedang haid?” kemudian Aisyah menjawab: “iya”, kemudian Rasullah saw. Bersabda:
إن هذا شيئ كتبه الله على بنات ادم, فاقضي ما يقضى الحاج غير أن لا تطوفى با لبيت حتى تغتسلى ) رواه البخاري ومسلم
Artinya: “sesungguhnya ini (haid) adalah sesuatu yang telah di tetapkan oleh Allah kepada semua perempuan keturunan anak adam, maka tunaikanlah apa yang di tunaikan orang yang sedang menjalankan ritual ibadah haji akan tetapi janganlah thawaf di baitullah sehingga kamu telah mandi junub. (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Hadits diatas adalah merupakan suatu isyarat bahwa semua amalan manasik ibadah haji boleh dikerjakan oleh wanita yang sedang haid kecuali tawaf, hal ini dikarenakan yang pertama pelaksanaan ibadah tawaf bertempat dimasjid dan alasan yang kedua dikarenakan bahwa ibadah tawaf sama dengan ibadah shalat (harus sama-sama dalam keadaan suci), dan boleh bagi wanita yang haid mengerjakan wuquf diarafah, melempar jumrah, bahkan juga boleh mengerjakan sa’i antara shafa dan marwah, begitu juga membaca dzikir dan juga memanjatkan do’a.
Pendapat ulama tentang wanita yang sedang haid dan melaksanakan tawaf:
1.      Jumhur ulama’ (mayoritas ulama’) bahwa suci dari hadats adalah merupakan syarat sah nya tawaf
2.      Abu Hanifah bahwa suci bukan merupakan syarat sah nya tawaf, apabila tawaf dan dalam keadaan hadats atau junub  maka tetap sah tawafnya. Namun demikian para sahabat imam Abu Hanifah (الاحناف) berbeda pendapat bahwa suci dari hadats ketika tawaf adalah merupakan wajib dan mereka bersepakat mengatakan bukan merupakan syarat sahnya tawaf. Mereka yang mensyaratkan suci dari hadats ketika tawaf sebagian mengatakan: “apabila tawaf dalam keadaan hadats maka wajib baginya dam/ membayar dam (kambing), dan apabila tawaf dalam keadaan junub maka wajib baginya unta( badanah).  Mereka juga  mengatakan: “wajib bagi wanita tersebut untuk mengulang tawafnya apabila sudah suci dan masih berada di makkah”.
Dalil argument dua kelompok diatas:
1.      Dalil yang dipakai oleh Jumhur (mayoritas ulama’) adalah hadits Aisyah sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim diatas.

2.      Dalil yang dipakai oleh Abu Hanifah dan kelompok yang bersepakat atas pendapatnya yaitu menggunakan dalil:
وليطوفوا با لبيت العتيق
Artinya: “dan hendaklah mereka melakukan thawaf disekeliling rumah tua (Baitullah).
Dalam ayat diatas mengandung artian bahwa tawaf boleh dikerjakan walau tanpa bersuci/ dalam keadaan hadats hal ini karena mengqiyaskan (menganalogikan) bahwa wuquf diarafah dan semua rukun haji boleh dikerjakan walau dalam keadaan tidak suci.

Disarikan oleh Kholid Ma'mun, dari kitab فتاوى واحكام للمرأة المسلمة- لفضيلة الشيخ عطية صقر   hal 80-82

Hukum Memotong Rambut dan Kuku ketika Junub




Memang ada penjelasan dalam kitab Syarah Al-Iqna’ Matan Abi Suja’ (Fiqh Syafi’iyah):
 شرح الاقناع لمتن ابى شجاع فى فقه الشافعىية قال فى الاحياء: لا ينبغى أن يحلق او يقلم او يستحد –يحلق عانتة- اويخرج دما او يبين –يقطع- من نفسه جزأ وهو جنب, اذ ترد اليه سائر أجزائه فى الاخرة فيعود جنبا, ويقال:إن كل شعرة تطالبه بجنابته.
Artinya: “ di katakan dalam kitab syarah iqna’ matan Abi Suja’ dalam fiqh Syafi’iah di kutib dari kitab Al-Ihya: “tidak di perkenankan mencukur atau memotong rambut kemaluan, atau mengalirkan darah dari anggota badan (dalam keadaan junub), karena semua anggota badanya kelak di akhirat akan di kembalikan dalam keadaan junub, dan di katakan: sesungguhnya setiap helai rambut  di tanyakan.
Akan tetapi ungkapan diatas merupakan ungkapan yang tidak ada dasar dalilnya. Pertanyaan yang sama pernah diajukan kepada Ibnu Taimiyah “ apakah dilarang bagi seorang junub untuk memotong bagian tubuhnya dan apakah apabila nanti memotongnya akan ditanyakan pada hari kiamat?” maka beliau menjawab: “  bahwa telah ditetapkan dari Nabi Muhammad Saw. Ketika disebut tentang junub beliau menjawab: ان الؤمن لا ينجس حيا ولا ميت kemudian beliau meneruskan bicaranya dan mengatakan bahwa: “aku tidak mengetahui dalil yang menunjukkan tentang larangan memotong rambut ataupun kuku ketika junub, akan tetapi Nabi Muhammad saw bersabda ketika ada kasus orang yang baru masuk Islam:  الق عنك شعر الكفر واختتن maksudnya Nabi menyuruh orang tersebut untuk segera memotong rambutnya dan menyuruhnya untuk mengkhitan (menyunat) kemaluannya tanpa harus menunggu mandi junub terlebih dahulu. Demikian juga Nabi saw. Menyuruh wanita yang sedang haid untuk menyisir rambutnya ketika mandi, walaupun menyisir rambut juga bisa menghilangkan/ merontokkan rambut. Maka atas dasar ini memotong rambut dan juga kuku ketika haid bukanlah merupakan suatu yang makruh apalagi haram.
Disarikan oleh Kholid Ma'mun, dari kitab فتاوى واحكام للمرأة المسلمة- لفضيلة الشيخ عطية صقر   hal 28-29

Wanita yang sedang haid mengajarkan bacaan Al-Qur’an




Hal-hal yang diharamkan bagi wanita yang sedang haid, nifas dan sedang dalam keadaan junub: antara lain: Shalat, thawaf, berdiam di masjid, membaca dan menyentuh Al-Qur’an.
Adapun membawa kitab/buku agama (yang didalamnya ada ayat-ayat Al-Qur’an) maka diperbolehkan karena itu bukan termasuk mushaf yang masuk dalam cakupan dalil Al-Qur’an surat Al Waqi’ah ayat 77-79 :
انه لقران كريم * فى كتاب مكنون * لا يمسه الا المطهرون
Artinya: “sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia * pada kitab yang terpelihara (lawh mahfuz) * tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. (QS. Al-Waqi’ah 77-79)
Hukum membaca Al-Qur’an bagi orang junub walaupun tanpa menyentuh dan membawanya:
1.      Jumhur ulama’ tidak boleh, hal ini berdasarkan hadits yang di riwayatkan oleh اصحاب السنن imam-imam Hadits:
ان النبى صلى الله عليه وسلم كان لا يحجبه عن القرأة شيئ الا الجنابة. وصصحه الترمذي هذاالحديث.
Artinya: “ Bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabda tidak ada yang menghalangi untuk baca Al-Qur’an kecuali janabah (junub). dan hadits ini di shahihkan oleh Imam Tirmidzi.

Dalam riwayat lain juga disebutkan:
وللحديث الذي رواه احمد عن على رضي الله عنه قال: رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم توضأ ثم قرأ شيأ من القران, ثم قال " هكذا لمن ليس بجنب, اما الجنب فلا ولا اية"

Artinya: “dan dari hadits yang di riwayatkan Imam Ahmad dari Ali ra. Berkata: “ aku melihat Rasulullah saw. Berwudhu kemudian membaca sebagian dari ayat Al-Qur’an, kemudian beliau saw. Bersabda: “beginilah tata cara bagi orang yang tidak junub, sedangkan bagi orang junub maka tidak boleh membaca walau hanya ayat”.

2.      Selain Jumhur (menurut imam Bukhari: boleh bagi wanita yang haid membaca ayat Al-Qur’an- madzhab Maliki المالكية- boleh bagi wanita yang sedang haid dan nifas membaca Al-Qur’an dalam masa masih menetesnya darah akan tetapi apabila darah sudah tidak menetes lagi-mampet- maka tidak diperbolehkan membaca nya kecuali mandi junub terlebih dahulu hal ini dikarenakan memungkinkan baginya untuk melakukan bersuci).
Adapun apabila hanya sekedar membaca Hadits, membaca dzikir (selain/di luar Al-Qur’an), membaca shalawat atas nabi Muhammad saw., menjawab muadzin maka tidak di makruhkan dan juga tidak diharamkan.
Hukum wanita membaca Al-Qur’an dengan kepala terbuka (tidak menutup aurat) atau dengan memakai pakaian yang biasa diguanakan didalam rumah?
Boleh selama tidak ada ajnabi (laki-laki bukan muhrom/muhrim) akan tetapi yang lebih ufdhal  menutup aurat,dalam keadaan suci dan menghadap kiblat.
Hukum wanita yang haid, nifas masuk kedalam masjid.
1.      Menurut Jumhur Ulama’ Tidak boleh walaupun dengan niat untuk belajar agama, hal ini berdasarkan atas larangan Nabi Muhammad saw.sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah.
2.      Menurut Zaid bin Tsabit, Boleh selama yakin akan terjaganya darah tidak akan keluar dan mengenai masjid. Wallahu ‘Alam

Disarikan oleh: Kholid Ma'mun, dari kitab فتاوى واحكام للمرأة المسلمة- لفضيلة الشيخ عطية صقر  hal 31-32