Rabu, 04 Mei 2011

Karekteristik dan Keistimewaan hukum Islam

A. Pendahuluan
Allah swt. menurunkan Al-Qur’an sebagai sumber petunjuk hukum dalam kehidupan manusia untuk mencapai kehidupan yang baik didunia dan kehidupan yang baik diakhirat. Kehidupan manusia terdiri dari kehidupan lahiriah/ jasmani dan kehidupan bathiniah/ rohani. Dengan demikian hukum Allah dalam Al-Qur’an mencakup segala bidang kehidupan jasmaniah maupun rohaniah, baik yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan (haqqullah) dengan tujuan agar manusia bisa mendapatkan kebahagian di akhirat maupun yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia (haq al adami)  dengan tujuan agar manusia bisa mendapatkan kehidupan yang baik di dunia.
 Difinisi hukum menurut Prof. Dr. Wahbah Zuhaili: Ahkam merupakan bentuk jamak dari hukm, hukum secara bahasa adalah: menyandarkan sesuatu kepada yang lain baik dalam bentuk suatu menetapkan, ketetapan (itsbatan) ataupun meniadakan (nafyan), seperti: bulan itu nampak atau tidak nampak, sedangkan hukum secara istilah adalah: Khitab Allah yang berhubungan dengan perbuatan manusia mukallaf baik berupa tuntutan/ iqtida’ (perintah dan larangan) atau pilihan/ takhyir ataupun sebab akibat/ wadh’i.[1] Dengan demikian hukum-hukum yang terdapat dalam Al Qur’an secara garis besar terbagi menjadi tiga:

a. Hukum i’tiqadiyah yaitu yang mengatur hubungan rohaniah antara manusia dengan Tuhan dan hal-hal yang menyangkut dengan keimanan. Hukum dalam bidang ini kemudian berkembang menjadi ilmu-ilmu usuluddin, ilmu kalam.
b. Hukum-hukum khuluqiyah yang menyangkut tingkah laku dan moral lahir manusia dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Hukum ini berkembang kemudian menjadi ilmu akhlak dan tasawwuf.
c. Hukum-hukum amaliyah yang menyangkut hubungan lahiriyah antara manusia dengan Tuhanya, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya (af’al al mukallaf). Hukum-hukum ini berkembang menjadi ilmu syari’ah (fiqh, usul fiqh).[2]
Hukum syari’ah secara garis besarnya terbagi menjadi dua:

a. Hukum ibadat  (fiqh ibadat) yaitu ketentuan ketentuan yang mengatur hubungan lahiriah antara manusia dengan Tuhan, seperti shalat, puasa, haji, dan ibadah lainya. Perbedaan ibadat dengan aqidah atau ‘itiqadiyah, terletak pada hubungan yang berlaku. I’tiqadiyah dalam bentuk hubungan rohaniah sedangkan ibadat adalah bentuk hubungan lahiriah.
b. Hukum-hukum mu’amalat (fiqh mu’amalat), yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam sekitarnya.
Hukum-hukum mu’amalat di rinci menjadi tujuh bidang hukum:

a. Ahkam al ahwal as syahsiyat (hukum orang dan keluarga), yaitu hukum tentang orang (subyek hukum) dan hukum keluarga, seperti hukum perkawinan.
b. Ahkam al Madaniyat (Hukum benda), yaitu hukum yang mengatur masalah yang berkaitan dengan benda, seperti jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, penyelesaian harta warisan atau hukum kewarisan.
c. Ahkam al Jinayat (Hukum pidana islam) yaitu hukum yang berhubungan dengan perbuatan yang dilarang atau tindak pidana (delict, jarimah) dan ancaman atau sanksi hukum bagi yang melanggarnya (uqubat).  
d. Al ahkam al Qadla wa al murafa’at  (Hukum acara), yaitu hukum yang berkaitan dengan cara di peradilan (hukum formil), umpama aturan yang berkaitan dengan alat-alat bukti, seperti saksi, pengakuan, sumpah, yang berkaitan dengan pelaksanaan hukuman dan lain-lain.
e. Ahkam al Dusturiyah (hukum tata negara dan perundang-undangan), yaitu hukum yang berkaitan dengan masalah politik, seperti mengaenai pengaturan dasar dan sistem negara, perundang-undangan dalam negara, syarat-syarat, hak dan kewajiban pemimpin, hubungan pemimpin dengan rakyatnya, dan lain-lain.
f. Ahkam al Dauliyah (Hukum Internasional), yaitu hukum yang mengatur hubungan antarnegara, baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang.
g. Ahkam al Iqtishadiyah wa al Maliyah (hukum perekonomian dan moneter), yaitu hukum tentang perekonomian dan keuangan dalam suatu negara dan antarnegara .
            Hukum yang keluar dari al-Qur’an sebagai sumber hukum (mashadir al-ahkam) yang utama, pada umumnya masih bersifat global (ijmaly) hanya beberapa bagian hukum yang sudah rinci misalnya seperti pengaturan tentang hukum perkawinan dan hukum warisan. Selanjutnya rincian terhadap hukum yang masih global tersebut kemudian dijelaskan oleh Rasulullah Muhammad saw. dalam sunahnya.[3]     
Secara global (ijmaly) Tujuan syar’i (Allah) dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan manusia secara keseluruhan, baik di dunia maupun akhirat. Kemaslahatan tersebut mencakup hal-hal yang terangkum dalam istilah Al Maqashidu al Khamsah. Kelima tujuan tersebut ditujukan untuk:
1. Memelihara kemaslahatan agama (hifdz al adin) dari upaya pencampuradukan kebenaran ajaran islam dengan berbagai paham dan aliran yang salah sehingga bisa merusak akidah, ibadah dan akhlak seorang mu’min. Padahal agama adalah sesuatu yang telah dimiliki manusia untuk memenuhi hajat jiwanya dan dapat mempertinggi martabat kemanusianya, serta merupakan nikmat Allah yang tertinggi dan sempurna.
 2. Memelihara Jiwa (nafs) untuk tujuan memelihara jiwa islam melarang pembunuhan, penganiayaan dan pelaku pembunuhan atau penganiayaan tersebut di ancam dengan hukuman qishash.
 3. Memelihara aqal (hifdz al ‘aql) yang membedakan manusia dengan makhluk lain, adalah pertama: manusia telah dijadikan dalam bentuk yang paling baik dibanding dengan makhluk yang lain. Dan kedua: manusia dianugrahi akal, oleh karena itu akal perlu dipelihara, dan yang merusak akal perlu dilarang. Aplikasi pemeliharaan akal ini antara lain larangan minum khamr (minuman keras), dan minuman lain yang dapat merusak akal, karena khamr dan minuman tersebut dapat merusak dan menghilangkan fungsi akal manusia.
 4. Memelihara keturunan (hifdz al nasl) untuk memelihara kemurnian keturunan, maka Islam mengatur tata cara pernikahan dan melarang perzinaan tersebut.
 5. Memelihara harta benda dan kehormatan (hifdz al mal wal ‘irdh), adapun aplikasi pemeliharaan harta antara lain pengakuan hak pribadi, pengaturan mu’amalat seperti jual beli, sewa menyewa , gadai dan sebagainya. Pengharaman riba, larangan penipuan, larangan mencuri, ancaman hukuman bagi pencuri dan sebagainya. Sedangkan aplikasi pemeliharaan kehormatan nampak dalam larangan menghina orang lain, ancaman hukuman bagi penuduh zina (qadzaf).[4]

B. Karektreistik dan Keistimewaan Hukum Islam
Pensyari’atan hukum Islam ditujukan pada tingakah laku manusia muslim yang aqil balig (mukallaf), baik selaku pribadi maupun selaku anggota masyarakat. Sedangkan, sebagaimana kita ketahui, hukum diluar Islam hanya ditujukan pada tindak perbuatan manusia yang dewasa selaku anggota masyarakat. Sementara itu, aturan yang menyangkut perbuatan pribadi dinamakan “budi pekerti”. Demikianlah perbedaan hukum Islam dengan hukum diluar Islam.[5]
Sesungguhnya prinsip dan penetapan hukum Islam adalah kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat. Hukum Islam itu semuanya adil, membawa rahmat, mengandung maslahat dan membawa hikmah. Setiap masalah yang keluar dari keadilan menuju kezaliman, dari rahmat ke arah sebaliknya/ laknat, dari maslahat ke mafsadat, dan dari hikmah kepada sesuatu yang hampa, tidaklah termasuk dalam hukum Islam, sekalipun hal itu dimasukan kedalamnya lewat takwil.
Hukum Islam adalah keadilan Allah diantara hamba-Nya, kasih sayang Allah terhadap makhluknya, naungan Allah kepada manusia diatas bumi, dan hikmah Allah yang menunjukkan kepada-Nya dan kebenaran Rasul-Nya secara tepat dan benar.[6]   
Kemaslahatan yang ingin diwujudkan dan diraih oleh hukum Islam itu bersifat universal, kemaslahatan sejati, bersifat duniawi dan ukhrawi, lahir, batin, material spiritual, maslahat individu juga maslahat umum, maslahat hari ini dan maslahat hari esok. Semua terlindungi dan terlayani dengan baik, tanpa membedakan jenis dan golongan, status sosial, daerah dan asal keturunan, orang lemah atau kuat, penguasa atau rakyat.[7]
            Semua Produk hukum Islam, baik yang berasal dari sumber hukum yang disepakati (al-Qur’an dan al-Hadits) ataupun yang bersumber dari sumber hukum yang diperselisihkan (selain al Qur’an dan al-Hadits) tak satupun yang terlepas dari prinisip kemaslahatan bagi manusia. Atas dasar ini, maka hukum Islam kategori syari’ah yang memang dijamin pasti mengandung dan membawa kemaslahatan bagi manusia sepanjang zaman, penerapan dan aplikasinya tidak dapat ditawar –tawar, dalam arti dalam kondisi apapun mesti diterapkan seperti apa adanya, tanpa ditambah dan dikurangi, dimana kondisi dan situasi harus tunduk kepadanya. Sementara itu, fiqh penerapan dan aplikasinya justru harus mengikuti kondisi dan situasi sesuai dengan tuntutan kemaslahatan dan kemajuan zaman, hal ini dikarenakan agar supaya prinsip maslahat tetap terpenuhi dan terus melekat ada padanya, sebab fiqh adalah produk zaman. Dari pengertian ini bisa kita tarik kesimpulan bahwa ada hukum islam yang tetap tidak berubah karena perubahan zaman, ruang dan waktu (al ahkam asyar’iyiyah as tsabitah) dan ada pula hukum Islam yang bisa berubah karena perubahan ruang dan waktu, kondisi dan situasi (al ahkam asysyar’iyah al mutaghayyirah wa al mutathawwirah) . Hukum Islam kategori pertama kenapa tidak mengalami perubahan lantaran perubahan kondisi dan situasi? Sebab maslahat yang ada padanya bersifat up to date, tak lekang karena panas dan tak lapuk karena hujan, karena ia langsung dari Allah (Syari’i al Hakim). Sementara maslahat yang ada pada hukum islam kategori kedua bersifat nisbi, relatif dan tidak up to date. Inilah yang dikehendaki oleh kaidah hukum Islam yang dirumuskan oleh imam ibn al-Qayyim, yang juga dipedomani oleh mayoritas pakar hukum Islam, yang artinya:[8] “fatwa hukum Islam itu dapat berubah karena berubahnya masa, tempat, situasi, dorongan dan motivasi”.
            Betapa besar kedudukan kaidah hukum Islam tersebut dalam kaitanya dengan upaya menjaga eksistensi dan relevansi hukum Islam, Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa hal itu merupakan sesuatu yang amat besar manfa’atnya . tanpa mengetahui kaidah tersebut akan terjadi kekeliruan besar dalam pandangan atau penilaian terhadap hukum Islam dan akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan yang tidak dikehendaki oleh hukum Islam itu sendiri. Sebab prinsip hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan didunia dan akhirat.
            Tujuan hukum syara’ menurut Imam Muhammad Abu Zahrah[9]: Syariat Islam datang dengan membawa rahmat bagi umat manusia. Firman Allah swt:
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9
Artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” (al Anbiya:107) dan juga firman Allah swt:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# ôs% Nä3ø?uä!$y_ ×psàÏãöq¨B `ÏiB öNà6În/§ Öä!$xÿÏ©ur $yJÏj9 Îû ÍrßÁ9$# Yèdur ×puH÷quur tûüÏYÏB÷sßJù=Ïj9
Artinya:“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembah bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (Yunus: 57) oleh karena itu, ada tiga sasaran hukum Islam:
(1). Penyucian jiwa (tahzibu al fardi), agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan –bukan sumber keburukan- bagi masyarakat lingkunganya. Hal ini ditempuh melalui berbagai ragam ibadah yang di syari’atkan, yang kesemuanya dimaksudkan untuk membersihkan jiwa serta memperkokoh kesetiakawanan sosial. Ibadah-ibadah itu dapat membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran (penyakit) dengki yang melekat dihati manusia. Dengan demikian akan tercipta suasana saling mengasihi, bukan saling berbuat zalim dan keji diantara sesama muslim. Dalam hubungan ini Allah swt berfirman:
 žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìs3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çŽt9ò2r&
Artinya: “sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaanya dari ibadah-ibadah yang lain) (al Ankabut: 45). Ibadah shalat yang dikerjakan secara berjama’ah memiliki fungsi membersihkan jiwa masyarakat, baik secara individual maupun kelompok. Begitu pula ibadah puasa dan haji. Ibadah haji dengan amat jelas mengandung implikasi ketertiban masyarakat (at tanzhim al ijtima’y), sedang zakat dalam pengertianya yang lebih mendalam mengandung aspek ta’awun (kesetiakawanan sosial) antara si kaya dan si miskin. Karena itu, Nabi Muhammad saw. Dalam memberikan instruksi kepada para petugas pengumpul zakat mengatakan: “ambilah zakat dari orang-orang kaya, dan berikanlah kepada orang-orang fakir”.

(2). menegakkan keadilan dalam masyarakat Islam: adil baik menyangkut urusan diantara sesama kaum muslimin maupun dalam berhubungan dengan pihak lain (non muslim), firman Allah swt:
 Ÿwur öNà6¨ZtBÌôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã žwr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)­G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 
Artinya: “Dan janganlah sekali-kali kebencian terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (al Maidah:8) tujuan ditegakkanya keadilan dalam Islam amatlah luhur. Ia menyangkut berbagai aspek kehidupan: adil di bidang hukum, peradilan dan persaksian serta adil dalam bermuamalah (bergaul) dengan pihak lain. Bahwa setiap orang mempunyai hak-hak yang sama dengan dirinya. Dalam kaitan ini Nabi Muhammad saw. Memberikan penjelasan sangat gamblang, dengan sabdanya: “Gaulilah sesama manusia dengan sikap dan perbuatan yang kalian suka” .
            Islam mengacu kepada keadilan sosial. Di dalam Islam, setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di depan undang-undang dan pengadilan. Tidak di beda-bedakan antara si kaya dan si miskin. Islam tidak mengenal stratifikasi sosial (kasta) dengan memberikan prevelege kepada suatu kelas tertentu. Bahkan orang yang kuat adalah lemah, sehingga dapat diambil suatu hak dirinya; dan orang yang lemah adalah kuat, sehingga dapat mengambil haknya. Sebab semua manusia adalah sama, berasal dari tanah liat yang satu; tidak bisa dibeda-bedakan oleh perbuatan warna kulit atau jenis/ kebangsaanya. Mereka sama di depan hukum Islam. Dalam hubungan ini Nabi Muhammad saw. Bersabda: “ kamu sekalian adalah keturunan Adam. Dan, Adam tercipta dari tanah. Tidak ada keutamaan bagi bangsa Arab atas Ajam (non Arab) kecuali dengan taqwa”.   
            Dan Allah swt. berfirman:

            Dan Allah swt. berfirman:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal”. (al Hujurat:13).
Dalam usaha mewujudkan keadilan sosial dengan cara yang maksimal, Islam mengharuskan agar dijunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Karenanya Islam melarang tindakan penyiksaan, meski dalam kancah peperangan. Allah swt. menerangkan kemuliaan derajat manusia dengan firma-Nya:
ôs)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä öNßg»oYù=uHxqur Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur Nßg»oYø%yuur šÆÏiB ÏM»t7ÍhŠ©Ü9$# óOßg»uZù=žÒsùur 4n?tã 9ŽÏVŸ2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxŠÅÒøÿs?

Artinya: “Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan”. (al Isra’ 70)
            Dalam rangka mewujudkan keadilan sosial itu pula, Allah swt. memberi kesempatan sama kepada setiap orang yang bernaung di bawah naungan panji-panji Islam untuk melakukan pekerjaan yang sanggup di kerjakanya. Ketika membicarakan perihal fardhu kifayah telah di uraikan bagaimana Islam mewajibkan kepada semua umatnya untuk mencoba melaksanakan tugas/ kewajiban pada tahap pertama. Jika gagal, dan hanya berhenti pada tahap pertama, dan tidak melanjutkan pada tahap kedua, maka ia berarti tertinggal pada suatu tingkatan yang dituntut oleh fardhu kifayah. Dan barang siapa mampu meneruskan perjalanan pada tahap kedua, dan berhenti hanya sampai situ, maka ia berhenti pada fardhu kifayah juga. Begitu pula pada tahap ketiga dan seterusnya. Ini semua, tak lain, merupakan pemberian kesempatan kepada semua orang dengan bekal kemampuan yang dimilikinya untuk saling memberi dan menerima manfaat bersama pihak lain. Agar masing-masing orang memperoleh bagian yang menjadi haknya dengan penuh, tidak di rugikan dan tidak teraniaya, maka Allah swt. memberi imabalan atas hasil karyanya setimpal dengan usahanya. Siapa yang menabur kebaikan akan menuainya, dan sesuai dengan jerih payah dan hasil karyanya seseorang memperoleh imbalanya. Allah swt.telah mewujudkan keadilan dengan sangat sempurna ketika menjadikan hak seimbang dengan kewajiban. Kaum wanita, misalnya, dibebani kewajiban-kewajiban sesuai dengan hak-hak yang diperolehnya. Sebagaimana firman Allah swt.:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿwur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3tƒ $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya”. (al Baqarah: 228).
            Demikianlah di dalam Islam setiap hak selalu diimbangi dengan kewajiban. Dengan kata lain, hubungan timbal balik antara hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang mesti ada.
            Oleh karena itu, Syari’at Islam menetapkan sanksi hukuman untuk hamba sahaya/ budak (‘abd) setengah dari sanksi hukuman untuk orang merdeka dalam hal pidana-pidana yang dapat dibagi dua. Sebab hak-hak hamba sahaya/ budak lebih sedikit dibanding hak-hak yang dimiliki orang merdeka. Maka sangat wajar jika sanksi hukuman hamba sahaya di bawah sanksi hukuman orang merdeka. Oleh karena itu, perihal amat amat (budak wanita) Allah swt. berfirman:
!#sŒÎ*sù £`ÅÁômé& ÷bÎ*sù šú÷üs?r& 7pt±Ås»xÿÎ/ £`ÍköŽn=yèsù ß#óÁÏR $tB n?tã ÏM»oY|ÁósßJø9$# šÆÏB É>#xyèø9$#
Artinya:”Dan apabila mereka Telah menjaga diri dengan kawin, Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami”.(an Nisa’ 25).
            Usaha mewujudkan keadilan akan terhambat, kecuali apabila sifat-sifat utama (al fadhilah), dan kasih sayang (al mahabbah) telah berkembang merata di tengah masyarakat, dan kemaslahatan bagi satu anggota masyarakat juga telah dirasakan sebagai kemaslahatan bagi sesamanya. Ayat al Qur’an yang dipandang menghimpun intisari hukum islam, adalah firman Allah swt:
¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGƒÎ)ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcr㍩.xs?

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.(an Nahl: 90).

(3). Dan ini merupakan tujuan puncak yang hendak dicapai, yang harus terdapat di dalam setiap hukum Islam, ialah maslahat (kemaslahatan). Tidak sekali-kali suatu perkara disyari’atkan oleh Islam melalui al-Qur’an maupun Sunah melainkan di situ terkandung maslahat yang hakiki, walaupun maslahat itu tersamar pada sebagian orang yang tertutup oleh hawa nafsunya.
                Maslahat yang dikehendaki oleh Islam bukanlah maslahat yang seiring dengan keinginan hawa nafsu. Akan tetapi,  maslahat yang hakiki yang menyangkut kepentingan umum, bukan kepentingan pihak tertentu (khusus).[1]
           
            Adapun tujuan dasar hukum syara’ menurut Dr. Rasyad Hasan Khalil[2]:

(1). Menjaga/ memperhatikan  kemaslahatan manusia secara keseluruhan (Ria’yat Mashalih an Nas Jami’a), Syari’at Islam di tujukan untuk mewujudkan kemaslahatan baik bagi individu ataupun golongan baik di dalam dunia maupun akhirat, dan hal tersebut nampak dalam beberapa contoh diantaranya:
a. Hikmah di utusnya Rasulullah Muhammad saw sebagai pembawa rahmat untuk umat manusia dan alam semesta.
b. Hikmah di jadikanya kehidupan dan kematian untuk menguji manusia, mana yang paling banyak amal kebaikanya .
c. Maslahat yang terdapat dalam suatu kewajiban, seperti: Shalat, puasa, haji dll.
d. Maslahat di berlakukanya hukum qishash untuk menjaga eksistensi manusia.  

(2). Terikatnya  kemaslahatan terhadap hukum ada dan tidak adanya (Rabtu al Hukmi  bi al Maslahah wujudan wa adaman.) maksudnya bahwa hukum syari’ah Islam itu mempunyai illat, dan illat itu berlaku sesuai dengan hukum tersebut (al illal yaduru ma’a al hukmi wujudan wa ‘adaman), dengan kata lain jika ada illat pasti ada hukum begitu juga sebaliknya jika tidak ada illat maka tidak ada hukum. Contohnya:
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îƒÍtã ÒOŠÅ3ym
a. Artinya: ” Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(al Maidah: 38)
!$¨B uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu ô`ÏB È@÷dr& 3tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ös1 Ÿw tbqä3tƒ P's!rߊ tû÷üt/ Ïä!$uŠÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$#
b. Artinya: “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.(al Hasyr; 7).

(3). Terwujudnya keadilan secara mutlak (tahqiq al ‘adalah al mutlaqah).
Syari’at islam cenderung bersifat umum bukan untuk satu golongan saja akan tetapi untuk kemaslahatan seluruh umat manusia, tidak membedakan ras, golongan, warna kulit, tidak membedakan antara yang arab dan ‘ajam akan tetapi yang membedakaan antara yang satu dan yang lainya hanyalah ketakwaan dan amal shaleh. Maka dari itu keadilan yang mutlak (persamaan derajat) merupakan salah satu esensi yang membedakan antara syari’at Islam dengan yang lainya, hal ini sebagaimana yang di fimankan oleh Allah dalam al Qur’an:
¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGƒÎ)ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcr㍩.xs?
Artinya: “ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (An Nahl: 90) dan juga firman Allah:
¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat”.(an Nisa’ 58).

(4). Tidak adanya kesempitan dalam menjalankan ajaran agama dan sedikitnya beban (‘adamu al haraj wa qillah at takalif), Syari’at Islam sangat manusiawi karena tidak memberikan beban diatas batas kemampuan manusia serta memberikan kemudahan kepada pemeluknya hal ini sesuai dengan firman Allah swt.:
 ßƒÌãƒ ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan” (al Baqarah: 185) dan juga firman Allah swt:
$tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym
Artinya: “...dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. Al-Hajj, 78)[3]. Sebagai contoh dalam hal ibadah, misalnya shalat yang wajib kita kerjakan itu tidak memerlukan waktu yang banyak dan bagi yang bepergian (musafir) diperbolehkan mengqasar dan menjamak shalat. Begitu juga puasa yang wajib kita kerjakan tidak setahun penuh tetapi hanya satu bulan saja dalam satu tahun yaitu pada bulan ramadhan.

(5). Pembebanan yang bertahap (at tadarruj fi at tasyri’), syari’at Islam ketika menurunkan suatu hukum tidak sekaligus kepada intinya akan tetapi memakai uslub dan gaya bahasa yang bisa diterima oleh akal dan tabi’at manusia sehingga manusia bisa menerima dan tidak merasa terbebani dengan hukum yang di bebankan kepadanya, seperti yang penulis jelaskan di pendahuluan bahwa hukum Islam memuat tiga aspek yaitu i’tiqadiyah, khuluqiyah, dan juga amaliyah, ketiga aspek inilah yang di turunkan oleh Allah swt. kepada manusia dengan bertahap sebagaimana urutanya. Contoh lain ketika Allah swt, memerintahkan shalat, pada masa awal permulaan Islam shalat hanya di wajibkan dua reka’at di pagi hari dan dua reka’at di sore hari karena pada masa itu manusia belum mengetahui keutama’an dan fadhilah shalat yang ternyata bisa menjadikan kenikmatan taqqarrub kepada Allah swt, baru ketika manusia mengetahui fadhilah dan keutamaan shalat maka pada saat itulah Allah swt, mewajibkan shalat sebanyak lima waktu dalam sehari dan semalam, begitu juga dengan zakat, larangan minum khamr dan yang lainya.[4]  


            Di antara keistimewaan hukum Islam menurut Dr. Abdul Sattar Fathullah Said[5]:

(1). Janji Allah swt dengan akan terjaganya syari’at Islam dari penyimpangan, hal ini seperti yang terdapat dalam Al Qur’an surat Al Hijr ayat 9:
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm:
Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.

(2). Menjadikan Al Qur’an sebagai kitab yang bisa dicerna oleh akal dan juga fitrah manusia sehingga Al Qur’an bisa menjadi ‘ijaz (mukjizat) dan juga memberi pengaruh hingga hari kiyamat, sedangakan mukjizat yang lain (sebelum datangnya syaria’t Islam) hanya bersifat sementara dan terbatasi dengan waktu, hal ini seperti yang di sabdakan oleh Nabi Muhammad saw:
ما من الانبياء من نبي الا وقد اعط من الا يات ما مثله امن عليه البشر, وانما كان الدى اوتيته وحيا اوحاه الله الي, فارجو ان اكون اكثرهم تابعا يوم القيامه (رواه الشيغان واحمد عن ابي هريرة)

 (3). Bahwa Islam ditujukan kepada seluruh umat manusia sepanjang masa sedangkan syari’at yang dibawa para Anbiya’ a.s sebelum Nabi Muhammad saw hanya ditujukan dan diperuntukan kepada suatu kaum tertentu.

(4). Menjadikan hukum-hukum Islam yang amaliah (furu’iyah) dengan sangat toleran, tidak kaku sehingga sesuai dengan setiap generasi walaupun dalam keadaan zaman yang berbeda-beda.

(5). Walaupun dengan adanya bentuk masalah dan problemantika yang baru meskipun demikian akan selalu ditemukan solusi hukumnya.

 (6). Membenarkan syari’at dan juga ajaran yang telah diselewengkan oleh orang-orang ahli kitab.

            Tujuan syara’ yang berhubungan dengan makhluk ada lima: menjaga agama (hifdz ad din), menjaga jiwa (hifdz nafs), menjaga akal (hifdz aql), menjaga keturunan (hifdz nasl), menjaga harta (hifdz mal). Maka setiap hal yang mengandung upaya menjaga lima perkara pokok tersebut adalah maslahat. Sebaliknya, setiap hal yang tidak mengandung lima perkara pokok tersebut adalah mafsadah, dan menolaknya termasuk maslahat.[6] Menurut penelitian memang lima urutan diatas yang banyak disepakati oleh para fuqaha dan juga usuliyyin, bila dibanding dengan apa yang ditulis al Imam as Syatibi (730-790 H) didalam kitab al Muwaafaqat yaitu: menjaga agama (hifdz ad din), menjaga jiwa (hifdz nafs), menjaga keturunan (hifdz nasl), menjaga harta (hifdz mal), dan menjaga akal (hifdz aql).[7] Bahkan pentahkik kitab al Muwafaqat sendiri Syekh Abdullah Daraz lebih cenderung mengikuti apa yang di tulis imam al Ghazali (wafat th 505 H) dalam kitab al Mustasyfa.[8]
Jika maslahat menjadi tujuan hukum taklify dan hukum wadh’iy-diantara keduanya terdapat keterkaitan yang erat –maka dengan demikian hukum syari’ semuanya amat memperhatikan kemaslahatan pribadi seseorang. Kemaslahatan pribadi ini tidak bisa ditinggalkan kecuali apabila berhadapan dengan kemaslahatan yang lebih besar, atau apabila kemaslahatan pribadi merugikan orang lain. Misalnya, seseorang memakan harta orang lain demi menutupi kebutuhan pribadinya. Hal ini merupakan kemaslahatan yang tidak bisa di terima, karena kemelaratan yang menimpa orang lain lebih berat dibanding kemanfaatan yang diperoleh untuk kepentingan diri sendiri. Di samping itu, kerugian yang diakibatkan memperbolehkan memakan harta orang lain lebih berat dibanding kemaslahatan yang diperoleh dari mengambil harta itu.
            Maka dari itu, islam menetapkan bahwa apabila kepribadian seseorang terancam dalam keadaan darurat yang tidak bisa dihindari kecuali dengan meraih barang terlarang yang bukan hak orang lain, maka ia boleh mengambil barang terlarang itu, bahkan wajib. Para ulama’ fiqih telah membuat sebuah kaidah yang berbunyi: “ adh-dhaarurah tubihu al mahzhurat” (keadaan darurat bisa menyebabkan diperbolehkanya meraih barang terlarang). Bahkan pada kondisi tertentu, meraih barang yang semula dilarang menjadi wajib. Syaratnya apabila di situ tidak mengambil hak orang lain atau tidak termasuk perbuatan yang oleh islam dijanjikan akan mendapat pahala jika dihadapi dengan penuh kesabaran. Karena itu Allah berfirman:
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ͍ƒÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§
 Artinya: “ Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah,. tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(al Baqarah: 173).
            Islam sangat memperhatikan kemaslahatan manusia. Islam tidak menetapkan taklif atas manusia kecuali taklif yang mampu mereka kerjakan dan bisa dijalani secara kontinyu. Dengan demikian, taklif syar’i secara umum merupakan taklif yang tingkat kesulitanya dapat diatasi dengan cara menjalaninya secara kontinyu. Sebab kemaslahatan yang bisa terealisir  melalui taklif tidak akan terwujud kecuali ditempuh dengan mengerjakanya secara kontinyu.[9]
            Demikianlah, Islam dengan hukum-hukum syari’ahnya mengacu kepada usaha mewujudkan kemalahatan yang nyata, tidak mengacu kepada lainya, dan memberi kemudahan menuju jalan kearah taat. Atas dasar ini, para ulama ahli fiqh menetapkan kaedah-kaedah yang diambil dari tujuan tersebut, antara lain”adh-dharar yuzalu” (bahaya itu harus dihilangkan); yudfa’ asyaddu adha-rarayn” (ditolak bahaya yang lebih berat dengan memilih yang lebih ringan); dalam menghadapi dua bahaya, maka bahaya khusus dapat dipakai sebagai sarana untuk mengatasi bahaya yang umum); daf’u adh-dharar muqaddaman ‘ala jalb al-mashalih” (menolak bahaya didahulukan atas menarik kemanfaatan).
            Begitulah para ulama telah mengambil dari ayat-ayat al-Qur’an kaidah yang bertujuan mengambil maslahat dan menolak bahaya. Hal itu bukanlah berarti suatu upaya meniadakan nash, karena ia tidak mampu mewujudkan kemaslahatan. Bagaimanapun kemaslahatan harus sesuai dengan nash, karena kemaslahatan yang bertentangan adalah rekayasa nafsu dan fikiran manusia, yang berarti menetapkan keinginan nafsu terhadap ketetapan nash.[10]
C. Kesimpulan
            Dari beberapa penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa hukum Islam mempunyai karekteristik dan keistimewaan tersendiri bila dibandingkan dengan hukum yang lain dan hal tersebut nampak pada beberapa hal diantaranya:
1. Syariat Islam akan selalu terjaga dari penyimpangan dan penyelewengan karena Allah swt. sendiri yang akan menjaganya  hal ini seperti yang di firmankan Allah swt. dalam Al-Qur’an, surat Al-Hijr ayat:9.
2. Berlaku sepanjang masa.
3. Mempunyai sanksi balasan di dunia dan akhirat.
4. Penyucian jiwa (Tahzibu al Fardi)   
5. Menegakkan keadilan (Tahqiq al ‘Adalah) dalam masyarakat Islam
6.Menjaga/ memperhatikan  kemaslahatan manusia secara keseluruhan (Ria’yat Mashalih an Nas Jami’a).
7.Tidak adanya kesempitan dalam menjalankan ajaran agama dan sedikitnya beban (‘Adamu al Haraj wa Qillah at Takalif)
8. Pembebanan yang bertahap (Attadarruj fi at Tasyri’)       


                                                                                    Kholid Ma’mun
                                                                                    Ciputat, 14 Februari 2009



Dartar Pustaka
1. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul al Fiqh, al Haramain li an Nasyr wa at Tauzi’, Singapura, Jeddah, Indonesia, th 2004 M/ 1425 H.
2. Al Imam Muhammad Abu Zahrah, Usul Fiqh Muhammad Abu Zahrah, Dar Al Fikr Al Arabi, t.th.
3. Al Imam al Ghazali, al Mustasyfa, dar al Fikr, th. 1997
4. Dr. Abdul Karim Zaidan, Al Wajiz fi Usul al Fiqh, Dar at Tauzi’ wa an Nasyr al Islamiyah, cet 1993 M/ 1414 H.
5. Dr. Wahbah Az Zuhaili, Usul Fiqh al Islami, Dar al Fikr, Damaskus, cet ke 3, th 2005.
6. Dr. Muhammad Zaki Abdul Barr, Taqnin Usul Fiqh, Maktabah Dar at Turats, Cairo, th 2004 M/ 1425 H.
7. Abi Ishaq as Syatibi, Al Muwafaqat fi usul as Syari’ah, Dar al Hadits, Cairo, th. 2006 M/ 1427 H.
8. Dr. Yusuf al Qaradhawi, Al Ijtihad fi al Syari’ah al Islamiyah ma’a Nadzarat Tahliliyah fi al Ijtihad al Mu’ashir, Dar Qalam li Ansyr wa at Tauzi’, Kuwait, th.1989 M/ 1420 H.
9. Dr. Yusuf al Qaradawi, Madkhal li Dirasah asy Syari’ah al Islamiyah, Cairo: Maktabah Wahbah.
10. Al Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al Madzahib al Islamiyah, Dar al Fikr al A’rabi, Cairo. Th. 1996.
11. Ibn al Qayyim, I’lam al Muwaqqi’in an Rabb al Alamin, Bairut : Dar al Fikr, 1977.
12. Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh tasyri’ al Islami Adwaru Tatawwurihi, Mashadiruhu, Madzahibuhu al Fiqhiyah, Muqarrar kuliyah syari’ah Islamiyah tingakat 1 Universitas Al Azhar, th. 2002.
13. Dr. Abdul Sattar Fathullah Said, Al Manhaj Al-Qur’ani fi At Tasyri’, Jami’ah Al Azhar Kulliyah Usuluddin Takhassus at Tafsir wa al Hadits, th 1992 m/ 1413 h.
14. Dr. KH. Ahmad Munif Suratmaputra, MA, Filsafat Hukum Islam Al Ghazali Maslahah Mursalah dan relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam.
15. Prof. Dr. KH. Ibrahim Hosen, Buanga Rampai dari Percikan Filsafat Hukum Islam, Yayasan Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) Jakarta 1997.
16. Prof. Dr. Ismail Muhammad Syah, S.H., dkk, Filsafat Hukum Islam.



[1]. Ibid, hal 308.
[2]. Tarikh at Tasyri’ al Islami Adwaru Tathawwurih Mashadirih Madhahibihi al Fiqhiyah, Dr. Rasyad Hasan Khalil, Diktat Kuliyah Syari’ah Islamiyah, tk 1, Universitas Al Azhar
[3]. Ibid, hal 38 
[4]. Ibid, hal 64-65
[5]. Dr. Abdul Sattar Fathullah Said, Al Minhaj Al-Qur’ani fi At Tasyri’, Jami’ah Al Azhar Kulliyah Usuluddin Takhassus At Tafsir wa Al Hadits, th 1992 m/ 1413 h, hal 138-141. 
[6].  Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al Madzahib Al Islamiyah, Dar al Fikr Al Arabi, Cairo th 1996,
op.cit, hal 310. Lihat juga Al Imam al Ghazali, Al Mustasyfa, dar al Fikr 1997,juz 1 hal 258.
[7]. Abu Ishaq as Syatibi, Al Muwafaqat fi usul As Syari’ah, Dar Al Hadits, Cairo, Juz 2 hal 266
[8]. Ibid, hal 266 
[9]. Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al Madzahib al Islamiyah, Dar al Fikr al Arabi, cairo th 1996, op.cit,hal 319
[10]. Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al Madzahib al Islamiyah, Dar al Fikr al Arabi, cairo th 1996, op.cit , hal 320

Tidak ada komentar:

Posting Komentar