Apabila terbit fajar shadiq (waktu subuh) dan kemudian datang haid
atau nifas maka tidak sah berpuasa, apabila perempuan yang haid atau
nifas tetap memaksakan berpuasa maka batal/ tidak sah puasanya. Akan
tetapi apabila darah haid/ nifas sudah berhenti (mampet) sebelum terbit
fajar shadiq sementara perempuan tersebut baru melakukan mandi besar
(junub) setelah fajar shadiq (subuh) maka puasanya tetep sah begitu juga
dengan junub dengan sebab salain haid dan nifas (hubungan badan baik
dalam keadaan sadar atau dengan tidak sadar/ mimpi basah) maka puasa
tetap sah walaupun belum melakukan mandi besar sampai waktu subuh tiba.
Karena pada dasarnya mandi besar (mandi junub) adalah merupakan syarat
untuk mengerjakan shalat dan ibadah yang lain tapi bukan merupakan
syarat sah dan tidaknya puasa. Di sebutkan dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra: “ bahwa Nabi
Muhammad saw. Pernah dalam kedaan junub pada waktu subuh dan beliau
dalam keadaan menjalankan ibadah puasa (sudah masuk waktu subuh akan
tetapi beliau belum sempat untuk melakukan mandi besar-junub) kemudian
beliau saw. Dengan segera mengerjakan mandi besar dan langsung
mengejakan shalat subuh berjamaah dengan para sahabat”.
Disarikan
oleh: Kholid Ma'mun dari kitab فتاوى من احسن الكلام فى الفتاوى
والاحكام لفضيلة الشيخ عطية صقر – الجز الثانى- المكتبة التوفيقية- hal 31
Kamis, 24 April 2014
Rabu, 23 April 2014
Status Anak di Luar Nikah
Sudah jelas bahwa yang melakukan zina (hubugan
badan di luar nikah) adalah zani (laki-laki yang berbuat zina) dan zaniah (perempuan
yang berbuat zina) dan bukan anak yang dilahirkan dari hubungan haram tersebut.
Dalam agama Islam di jelaskan bahwa manusia tidak dibebani dengan beban dosa
dan kesalahan orang lain, hal ini sebagaimana yang di Firmankan Allah swt.
Dalam Al-Qur’an surat At-Thur ayat 21:
كل امرئ بما كسب رهينة
Artinya: “tiap-tiap manusia terikat dengan apa
yang dikerjakannya”
Begitu juga dalam surat Al-An’am ayat 164:
ولا تكسب كل نفس الا عليها ولا تزر وازرة وزر
اخرى
Artinya: “dan tidaklah seseorang berbuat dosa melainkan
kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri”.
Rasulullah saw. Juga bersabda yang di
sampaikan oleh Aisyah ra.:
ليس على ولد الزنا من وزرأبويه شيئ- ولا تزر
وازرة وزراخرى (رواه الحاكم)
Artinya: “tidaklah sedikitpun anak zina itu membawa beban dosa dari
kedua orang tuanya”.
Banyak sekali hadits yang mencela tentang
“anak hasil zina” akan tetapi hadits-hadits tersebut tidak ada yang sahih,
diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra yang berbunyi:
ما روي عن النبى صلى الله عليه وسلم انه قال:
"لا يدخل الجنة ولد زينة" رواه البيهقى
Artinya: “diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. Bahwa sesunggguhnya:
“anak zina tidak masuk surga”.
Dan pendapat yang benar adalah bahwa anak yang
dilahirkan dari hasil zina bisa masuk surga apabila meninggal dalam keadaan
Islam (muslim/muslimah) dan tidak ada pengaruh terhadap statusnya karena yang
melakukan zina tersebut adalah orang lain dan bukan dia.
Hukum yang berlaku terhadap anak hasil zina:
1. Hukum Nasab:
Anak zina tidak dinisbatkan kepada zani
(lelaki pelaku zina) dan zani tidak mempunyai tanggung jawab atas nafkah dan
tempat tinggal, akan tetapi nisbat anak hasil zina ini di kepada wanita yang
melahirkanya begitu juga dengan nafkah atas anak tersebut ditanggung oleh
wanita yang melahirkanya.
Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi
dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
"الولد للفراش وللعاهر الحجر" متفق عليه
Artinya: “ Bahwa Rasulullah saw. Bersabda: “ Status (kewalian) anak
adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan. Dan bagi pelaku
zina (dihukum) batu.”
Di Jelaskan dalam Hasyiah As-Shawi ‘Ala Syarhi
As-Shaghir:
لان ماء الزانى فاسد ولذا لا يلحق به الولد
Artinya: “karena sesungguhnya air mani zina itu rusak maka dari itu
anak yang dihasilkan dari perbuatan zina tersebut tidak bisa di nasabkan kepada
bapaknya.
2. Hukum Waris:
Anak yang dihasilkan dari hubungan zina ini
tidak bisa mewarisi dari harta warisan laki-laki yang menghamili perempuan yang
melahirkanya begitu juga sebaliknya.
Diriwayatkan dalam Sunan At-Tirmidzi:
روى الترمذي فى سننه أن رسول الله صلى الله عليه
وسلم قال: ايما رجل عاهر بحرة او امة
فالولد ولد زنا ولا يرث ولا يورث
Artinya: “di riwayatkan oleh Imam Tirmidzhi dalam sunan nya bahwa
Rasulullah saw. Bersabda: “lelaki mana saja yang berzina dengan perempuan
merdeka atau hamba sahaya maka anaknya di sebut anak zina tidak bisa mewarisi
dan di warisi”.
Berdasar atas hadits ini Imam Tirmidzi
berpendapat: para Ahlul Ilmi berpendapat bahwa anak hasil zina tidak bisa
mewarisi harta dari bapaknya”.
3. Hukum Nikah
Tidak ada satu Fuqaha pun yang mengatakan
haram menikahi anak zina- hanya saja ada perbedaan pendapat dalam madzhab
Hambali (حنابلة) tentang apakah dalam hal
pernikahan ini apakah harus sekufu
(sederajat) atau tidak? Sebagian mengatakan harus sekufu dan sebagian lagi
mengatakan tidak harus sekufu.
Kholid
Ma’mun
Wallahu ‘Alam bi Shawab
Selasa, 22 April 2014
Wanita sedang melakukan haji dan tiba-tiba mengalami haid/ datang bulan
Dijelaskan dalam shahih bukhari dan muslim
dari Aiyah radhiyallahu ‘anha. Bahwa Rasulullah saw. Pernah menjumpai Aisyah
pada waktu menjalankan ibadah haji dan menangis,
kemudian dRasulullah saw. Bertanya kepadanya: “apakah kamu sedang haid?”
kemudian Aisyah menjawab: “iya”, kemudian Rasullah saw. Bersabda:
إن هذا شيئ كتبه الله على بنات ادم, فاقضي ما
يقضى الحاج غير أن لا تطوفى با لبيت حتى تغتسلى ) رواه البخاري ومسلم
Artinya: “sesungguhnya ini (haid) adalah sesuatu yang telah di
tetapkan oleh Allah kepada semua perempuan keturunan anak adam, maka
tunaikanlah apa yang di tunaikan orang yang sedang menjalankan ritual ibadah
haji akan tetapi janganlah thawaf di baitullah sehingga kamu telah mandi junub.
(HR. Al Bukhari dan Muslim).
Hadits diatas adalah merupakan suatu isyarat bahwa
semua amalan manasik ibadah haji boleh dikerjakan oleh wanita yang sedang haid
kecuali tawaf, hal ini dikarenakan yang pertama pelaksanaan ibadah tawaf
bertempat dimasjid dan alasan yang kedua dikarenakan bahwa ibadah tawaf sama
dengan ibadah shalat (harus sama-sama dalam keadaan suci), dan boleh bagi
wanita yang haid mengerjakan wuquf diarafah, melempar jumrah, bahkan juga boleh
mengerjakan sa’i antara shafa dan marwah, begitu juga membaca dzikir dan juga
memanjatkan do’a.
Pendapat ulama tentang wanita yang sedang haid
dan melaksanakan tawaf:
1. Jumhur ulama’ (mayoritas ulama’) bahwa suci dari hadats adalah merupakan
syarat sah nya tawaf
2. Abu Hanifah bahwa suci bukan merupakan syarat sah nya tawaf, apabila tawaf
dan dalam keadaan hadats atau junub maka
tetap sah tawafnya. Namun demikian para sahabat imam Abu Hanifah (الاحناف) berbeda pendapat bahwa
suci dari hadats ketika tawaf adalah merupakan wajib dan mereka bersepakat
mengatakan bukan merupakan syarat sahnya tawaf. Mereka yang mensyaratkan suci
dari hadats ketika tawaf sebagian mengatakan: “apabila tawaf dalam keadaan
hadats maka wajib baginya dam/ membayar dam (kambing), dan apabila tawaf dalam
keadaan junub maka wajib baginya unta( badanah). Mereka juga
mengatakan: “wajib bagi wanita tersebut untuk mengulang tawafnya apabila
sudah suci dan masih berada di makkah”.
Dalil argument dua kelompok diatas:
1. Dalil yang dipakai oleh Jumhur (mayoritas ulama’) adalah hadits Aisyah
sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim diatas.
2. Dalil yang dipakai oleh Abu Hanifah dan kelompok yang bersepakat atas
pendapatnya yaitu menggunakan dalil:
وليطوفوا با لبيت العتيق
Artinya: “dan hendaklah mereka melakukan
thawaf disekeliling rumah tua (Baitullah).
Dalam ayat diatas mengandung artian bahwa
tawaf boleh dikerjakan walau tanpa bersuci/ dalam keadaan hadats hal ini karena
mengqiyaskan (menganalogikan) bahwa wuquf diarafah dan semua rukun haji boleh
dikerjakan walau dalam keadaan tidak suci.
Disarikan oleh Kholid Ma'mun, dari kitab فتاوى واحكام للمرأة المسلمة- لفضيلة الشيخ عطية
صقر hal 80-82
Hukum Memotong Rambut dan Kuku ketika Junub
Memang ada penjelasan dalam kitab Syarah Al-Iqna’ Matan
Abi Suja’ (Fiqh Syafi’iyah):
شرح الاقناع لمتن ابى شجاع فى فقه الشافعىية قال
فى الاحياء: لا ينبغى أن يحلق او يقلم او يستحد –يحلق عانتة- اويخرج دما او يبين
–يقطع- من نفسه جزأ وهو جنب, اذ ترد اليه سائر أجزائه فى الاخرة فيعود جنبا, ويقال:إن
كل شعرة تطالبه بجنابته.
Artinya: “ di katakan dalam kitab syarah iqna’
matan Abi Suja’ dalam fiqh Syafi’iah di kutib dari kitab Al-Ihya: “tidak di
perkenankan mencukur atau memotong rambut kemaluan, atau mengalirkan darah dari
anggota badan (dalam keadaan junub), karena semua anggota badanya kelak di
akhirat akan di kembalikan dalam keadaan junub, dan di katakan: sesungguhnya
setiap helai rambut di tanyakan.
Akan tetapi ungkapan diatas merupakan ungkapan yang tidak
ada dasar dalilnya. Pertanyaan yang sama pernah diajukan kepada Ibnu Taimiyah “
apakah dilarang bagi seorang junub untuk memotong bagian tubuhnya dan apakah
apabila nanti memotongnya akan ditanyakan pada hari kiamat?” maka beliau
menjawab: “ bahwa telah ditetapkan dari Nabi
Muhammad Saw. Ketika disebut tentang junub beliau menjawab: “ان الؤمن لا ينجس حيا ولا ميت” kemudian beliau meneruskan bicaranya dan mengatakan
bahwa: “aku tidak mengetahui dalil yang menunjukkan tentang larangan memotong
rambut ataupun kuku ketika junub, akan tetapi Nabi Muhammad saw bersabda ketika
ada kasus orang yang baru masuk Islam: “الق عنك شعر الكفر واختتن” maksudnya Nabi menyuruh orang tersebut untuk
segera memotong rambutnya dan menyuruhnya untuk mengkhitan (menyunat)
kemaluannya tanpa harus menunggu mandi junub terlebih dahulu. Demikian juga
Nabi saw. Menyuruh wanita yang sedang haid untuk menyisir rambutnya ketika
mandi, walaupun menyisir rambut juga bisa menghilangkan/ merontokkan rambut.
Maka atas dasar ini memotong rambut dan juga kuku ketika haid bukanlah merupakan
suatu yang makruh apalagi haram.
Disarikan oleh Kholid Ma'mun, dari kitab فتاوى واحكام للمرأة المسلمة- لفضيلة الشيخ عطية
صقر hal 28-29
Wanita yang sedang haid mengajarkan bacaan Al-Qur’an
Hal-hal yang diharamkan bagi wanita yang sedang haid,
nifas dan sedang dalam keadaan junub: antara lain: Shalat, thawaf, berdiam di
masjid, membaca dan menyentuh Al-Qur’an.
Adapun membawa kitab/buku agama (yang didalamnya ada
ayat-ayat Al-Qur’an) maka diperbolehkan karena itu bukan termasuk mushaf yang
masuk dalam cakupan dalil Al-Qur’an surat Al Waqi’ah ayat 77-79 :
انه لقران كريم * فى كتاب مكنون * لا يمسه الا
المطهرون
Artinya: “sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah
bacaan yang sangat mulia * pada kitab yang terpelihara (lawh mahfuz) * tidak
menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. (QS. Al-Waqi’ah 77-79)
Hukum membaca Al-Qur’an bagi orang junub walaupun tanpa
menyentuh dan membawanya:
1. Jumhur ulama’ tidak boleh, hal ini berdasarkan hadits yang di riwayatkan
oleh اصحاب السنن imam-imam Hadits:
ان النبى صلى الله عليه وسلم كان لا يحجبه عن
القرأة شيئ الا الجنابة. وصصحه الترمذي هذاالحديث.
Artinya: “ Bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabda
tidak ada yang menghalangi untuk baca Al-Qur’an kecuali janabah (junub). dan
hadits ini di shahihkan oleh Imam Tirmidzi.
Dalam riwayat lain juga disebutkan:
وللحديث الذي رواه احمد عن على رضي الله عنه قال:
رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم توضأ ثم قرأ شيأ من القران, ثم قال " هكذا
لمن ليس بجنب, اما الجنب فلا ولا اية"
Artinya: “dan dari hadits yang di riwayatkan
Imam Ahmad dari Ali ra. Berkata: “ aku melihat Rasulullah saw. Berwudhu
kemudian membaca sebagian dari ayat Al-Qur’an, kemudian beliau saw. Bersabda:
“beginilah tata cara bagi orang yang tidak junub, sedangkan bagi orang junub
maka tidak boleh membaca walau hanya ayat”.
2. Selain Jumhur (menurut imam Bukhari: boleh bagi wanita yang haid membaca
ayat Al-Qur’an- madzhab Maliki –المالكية- boleh bagi wanita yang sedang haid dan nifas
membaca Al-Qur’an dalam masa masih menetesnya darah akan tetapi apabila darah
sudah tidak menetes lagi-mampet- maka tidak diperbolehkan membaca nya kecuali
mandi junub terlebih dahulu hal ini dikarenakan memungkinkan baginya untuk
melakukan bersuci).
Adapun apabila hanya sekedar membaca Hadits,
membaca dzikir (selain/di luar Al-Qur’an), membaca shalawat atas nabi Muhammad
saw., menjawab muadzin maka tidak di makruhkan dan juga tidak diharamkan.
Hukum wanita membaca Al-Qur’an dengan kepala terbuka
(tidak menutup aurat) atau dengan memakai pakaian yang biasa diguanakan didalam
rumah?
Boleh selama tidak ada ajnabi (laki-laki bukan
muhrom/muhrim) akan tetapi yang lebih ufdhal
menutup aurat,dalam keadaan suci dan menghadap kiblat.
Hukum wanita yang haid, nifas masuk kedalam masjid.
1.
Menurut Jumhur Ulama’ Tidak boleh walaupun
dengan niat untuk belajar agama, hal ini berdasarkan atas larangan Nabi
Muhammad saw.sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah.
2.
Menurut Zaid bin Tsabit, Boleh selama yakin
akan terjaganya darah tidak akan keluar dan mengenai masjid. Wallahu ‘Alam
Disarikan oleh: Kholid Ma'mun, dari kitab فتاوى واحكام للمرأة المسلمة- لفضيلة الشيخ عطية
صقر hal 31-32
Langganan:
Postingan (Atom)