Minggu, 31 Januari 2016

Profil KH. Suyuthi Abdul Qadir, Guyangan, Pati - Jawa Tengah


KH. Suyuthi Abdul Qadir (yang selanjutnya dipanggil Kyai Suyuthi) lahir pada tahun 1904 (tepatnya pada tanggal 4 Dzulqaidah) di desa Guyangan. Sebuah Desa di sebelah utara Kota Pati, di pinggiran pesisir kecamatan Trangkil. Beliau terlahir dari pasangan K.H. Abdul Qadir dengan Ibu Nyai Hj. Arum. Sejak kecil beliau sudah dikenal masyarakat luas sebagai sosok anak cerdas, jujur serta ramah pada sesamanya. Beliau adalah figur berbudi luhur dan bisa ngemong masyarkat. Sehinga tak heran jika penduduk disekelilingnya begitu kagum dan bangga kepadanya. Dan perjuangan dakwah semasa hayatnya mengantarkan beliau menjadi sosok kharismatik di dalam masyarakat.
Karir Pendidikan
Sejak kecil, Kyai Suyuthi sudah serius belajar agama melalui orang tuanya sendiri. Belajar dengan orang tua sendiri membuat dia merasa tidak cukup untuk menimba ilmu. Sehingga kemudian untuk mempertajam pengetahuannya beliau merasa perlu menimba ilmu di Pesantren. Setelah berumur 15 tahun, atas restu orang tua dan keluarganya beliau mengaji di Pondok Pesantren Mamba’ul Ulum Jamseran Solo. Di pesantren ini beliau diasuh oleh Kyai H. Idris selama tiga tahun. Meskipun tergolong santri yang relatif muda, namun beliau mampu berkontestasi dengan teman-temannya dan tergolong santri yang berkualitas.
Pada tahun 1923-1924, beliau melanjutkan belajarnya di pondok Pesantren Kasingan Rembang, dan diasuh oleh Bapak K.H. Kholil dan K.H. Mas’ud selama 2 tahun. Selanjutnya pada tahun 1924-1926 beliau melanjutkan mengaji di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jatim, di bawah bimbingan K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri NU). Pada tahun 1926-1927, beliau melanjutkan mengaji di Pondok Pesantren Sampang Madura dan diasuh oleh K.H. Munawir selama dua tahun. Di Madura ini di samping belajar dan mengaji beliau juga menghafal al-Qur’an. Akhirnya pada tahun 1927, beliau berangkat ke Makkah untuk mengaji sekaligus menunaikan ibadah haji. Beliau berada di Makkah kurang lebih sekitar 5 tahun. Selama masa itu beliau juga turut membantu untuk mengajar di pondokan yang beliau tempati. Pada tahun 1931 sepulang dari Makkah, beliau kembali mengaji di Pondok Pesantren Sedayu Gresik Jatim dan diasuh oleh K. H. Munawir selama 3 tahun hingga tahun 1933.
Setelah sekian lama berekspedisi dari pesantren ke pesantren, pada tahun 1933-1937, beliau kembali lagi mengaji di Pondok Pesantren Tebuireng dan diasuh langsung oleh K.H. Hasyim Asy’ari selama empat tahun. Karena kecerdasan dan kualitas ilmunya, maka beliau mendapat kepercayaan dari K.H. Hasyim Asy’ari untuk membantu mengajar, bahkan sering ditunjuk mewakilinya dalam pertemuan-pertemuan tokoh ulama.
Membangun Pesantren, Mengurus Umat
Setelah berpetualang di berbagai Pondok Pesantren, beliau pulang dengan hasrat yang tinggi membangun pendidikan masyarakat desanya. Tanpa menunggu lama, beliau mulai mengajar para santri dan masyarakat di sekitar desa kelahirannya. Boleh dibilang, saat itu pendidikan masyarakat sekitar masih minim termasuk pendidikan agama belumlah begitu maju. Kondisi masyarakat yang seperti itu, justru semakin membakar spirit beliau untuk mengamalkan ilmu yang diperoleh selama ini.
Hari demi hari jumlah santri yang menimba ilmu dengan beliau bertambah banyak. Rumah beliau yang dijadikan tempat mengaji pun tak mampu menampung para santrinya. Dengan kondisi seperti itu, akhirnya beliau mendirikan pondok pesantren dan madrasah sebagai wadah yang bisa menampung para santri dari berbagai penjuru. Karena yang mengaji dengan beliau tak terbatas hanya dari desa Guyangan. Sehingga eksistensi bangunan pondok pesantren dan madrasah tentu sangat krusial sebagai infrastruktur yang menunjang jalannya proses pendidikan. Akhirnya sekitar tahun 1932-1940 di masa penjajahan Belanda hingga penjajahan Jepang beliau mendirikan madrasah. Madrasah tersebut diberi nama Mambaul Ulum (sumber Ilmu). Bangunan pondok pesantren dan madrasah tersebut terletak di komplek masjid Desa Guyangan.
Karena situasi yang tidak kondusif saat itu, akhirnya aktivitas pendidikan di madrasah tersebut terbengkelai. Namun, hal tersebut tidak mengurangi tekad beliau dalam mengajar walau dalam keadaan yang serba sederhana. Sampai akhirnya pada masa kemerdekaan tepatnya pada awal tahun 1950 dengan dibantu rekan-rekan dan santri senior, madrasah tersebut bangkit kembali dengan berubah nama menjadi Madrasah Raudlatul Ulum (MRU).

Banyak harapan yang ingin beliau realisasikan melalui pendidikan di madrasah ini. Beliau mendambakan generasi bangsa ini memiliki moralitas dan budi pekerti yang baik serta menjadi manusia yang berkualitas. Madrasah ini diharapkan mampu menjadi media untuk memberantas kebodohan. Secara tidak langsung Kyai Suyuthi menginginkan agar pendidikan Islam memiliki visi untuk mencetak manusia yang kreatif dan produktif, karena manusia yang seperti inilah yang kemudian ditunggu kehadirannya baik secara individual maupun sosial. Sehingga dunia pendidikan harus mampu mencetak manusia-manusia yang bisa memberikan kontribusi signifikan bagi masyarakat.

Dalam perjalanannya, madrasah tersebut semakin menampakkan eksistensinya dan terlihat dominan. Dengan perkembangan sepesat ini pada tanggal 26 Januari 1972, Madrasah Raudlatul Ulum resmi menjadi Yayasan Perguruan Islam Raudlatul Ulum (YPRU) dengan akte tertanggal 26 Januari 1972 yang dibuat dihadapan notaris R.M. Poerbo Koesoemo di Kudus. Sekarang ini, tentu kita bisa menyaksikan bagaimana berkah yang ditinggalkan Kyai Suyuthi, YPRU kini dilengkapi dengan fasilitas infrastruktur yang megah, menjadi salah satu yayasan yang paling banyak diminati di Kabupaten Pati.

Sudah menjadi common sense bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kesalehan individual dan sosial. Kyai Suyuthi adalah sosok yang memegang kuat dua nilai tersebut. Beliau adalah seorang yang alim, suka menolong orang yang hidupnya kekurangan. Beliau senantiasa ikhlas memberi apa yang mampu diberikan.

Sebagai bagian dari wujud kepekaan sosialnya, ditengah kesibukannya, beliau selalu berusaha untuk menghadiri setiap undangan masyarakat. Ada cerita menarik di tahun 1970-an, beliau diundang kondangan (hajatan) oleh seorang penduduk yang rumahnya terpencil dan jauh dari jalan raya. Lebih parahnya lagi waktu itu kondisinya sedang banjir sehingga di sekitar rumah sohibul hajat tergenang air hingga lutut. Banyak yang menyangka dan bahkan memastikan bahwa Kyai Suyuthi tidak berkenan hadir karena banjir hampir masuk rumah. Namun tak terduga dari kejauhan Kyai Suyuthi nampak datang dengan mengangkat sarungnya sampai lutut beliau kelihatan. Begitu terharunya orang tersebut sampai menangis karena tak mengira Kyai Suyuthi masih menyempatkan hadir ke rumahnya.

Kyai Suyuthi dikenal sebagai ulama yang ramah, sehingga di kalangan Kyai saat itu beliau cukup disegani. Di antara Kyai yang dikenal dekat dengan beliau antara lain; K.H. Bisri Musthofa, K.H. Bisri Syamsuri (kakek Gus Dur). Masyarakat mengenal beliau sebagai pendiri Yayasan Perguruan Islam Raudlatul Ulum yang aktif aktif dalam beorganisasi. Beliau pernah menjabat sebagai Rais Syuriah NU cabang Pati pada tahun 1960-an sampai beliau wafat. Selain itu, beliau juga pernah terlibat dalam percaturan politik, beliau pernah menjadi aggota DPRD pada tahun 1960-an. Tidak seperti politisi sekarang ini yang sangat ambisius dengan kekuasaan, beliau justru mengundurkan diri, beliau menjabat kira-kira hanya setengah tahun. Pilihan ini membawa beliau lebih bekonsentrasi dalam mengelola pesantren. Dengan demikian masyarakat semakin percaya bahwa Kyai Suyuthi adalah seorang ulama yang benar-benar mengurusi umat dan berjuang untuk mereka sepi ing pamrih.

Wafat

Banyaknya kesibukan dan usia yang semakin bertambah membuat beliau mulai sakit-sakitan yang puncaknya sampai dirawat di rumah sakit dr. Karyadi Semarang. Akhirnya beliau dipanggil oleh Allah swt, tepatnya hari Selasa 25 September 1979 atau bertepatan 04 dzulqa’dah. Rasa pilu menghampiri keluarga, sahabat dan para santrinya. Puluhan ribu kepala tertunduk pilu kehilangan seorang ulama besar tempat sandaran meminta nasehat.

Bagaianapun dukanya semua itu adalah ketetapan Allah yang harus diterima penuh keikhlasan. Berita wafatnya segera menyebar ke mana-mana sehingga seluruh masyarakat yang mengetahui perjuangan beliau berdatangan memberikan penghormatan terakhir. Pada saat beliau dikebumikan, puluhan ribu orang berduyun-duyun mengantarkan ke pemakaman.

Peran yang dilakukan oleh Kyai Suyuthi semasa hidupnya adalah bukti bahwa Kyai merupakan tokoh utama yang menjadi panutan masyarakat. Kyai tidak hanya menjadi tempat meminta nasehat dalam masalah agama, tapi juga dalam masalah sosial-kemasyarakatan. Sehingga tidak berlebihan jika kemudian kita menyebut kyai sosok pembawa agenda perubahan sosial keagamaan, karena sebuah perubahan sosial keagamaan tentu sangat membutuhkan partisipasi kiyai. Perjuangan Kiyai adalah perjuangan untuk umat, tidak untuk “yang lain”
 

Selasa, 12 Januari 2016

FADHILAH SHOLAWAT

لسلام عليك ايها النبى ورحمة الله وبركاته
السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين
Ada seorang laki-laki mengeluh kefaqiran dan sempitnya kehidupan kepada Rosululloh.
Kemudian Beliau memberikan solusi dengan sabdanya:
"Ketika engkau masuk rumah, maka ucapkanlah salam السلام عليكم ورحمة الله وبركاته, apabila ada orang di dalamnya. Kalau tidak ada orang di dalam rumah, maka ucapkanlah salam kepadaku السلام عليك ايها النبى ورحمة الله وبركاته, dan bacalah سورة الاخلاصsatu kali.
Kemudian laki-laki itu melakukan petunjuk Nabi dan Setelah itu ALLOH meluaskan serta mengalir deraskan rizqinya hingga meluber kepada para tetangganya.
Tafsir Al-Showy juz 4.
Hal ini juga sering diingatkan oleh Syaikhina Maimoen kepada tamu yang mengeluhkan sempitnya rizqi.

SOLEHKAN DIRIMU!!!


Suatu hari beberapa santriwati Daruzzahra menemui ibundanya Alhabib Umar bin Hafidz.
Kemudian salah satu santri diantara mereka bertanya kepada beliau, “Ya Hubabah, bagaimana caranya engkau mendapatkan anak-anak yang sholeh seperti beliau-beliau ini ?
(yaitu: Al habib Ali Al-Masyhur bin Hafidz, Al habib Ahmad ‘Athas bin Hafidz dan Alhabib Umar bin Hafidz)".

Hubabah pun menjawab,
“Sholehkan dirimu dulu, baru kamu akan mendapatkan anak-anak yang sholeh”.
Subhanallah!
Jawaban yang sangat sederhana tapi begitu berbobot dan penuh kandungan makna.
Mungkin hal ini yang sering kita lalaikan, kita terlalu sibuk untuk menuntut dan memohon anak yang sholeh/sholehah, tapi lupa untuk memantaskan diri untuk menjadi pribadi yang sholeh.
Mudah-mudahan bermanfaat buat teman-teman yang telah atau pun InsyaAllah akan menjadi ibu dan juga Ayah bagi anak-anaknya nanti.
Semoga kita bisa menjadi ibu dan ayah yang sholeh dan sholehah, sehingga anak-anak kita nantinya insyaAllah menjadi sholeh dan sholehah pula.
ﺁﻣﻴﻦ الله يا مجيب السائلين يا رب العالمين

Nasehat Syaikh Mutawalli As sya'rowi


(Dikisahkan dan dipetik dari syarahan yang disampaikan oleh Sayyidil Habib Umar bin Hafidz, Mudir Darul Mustafa Hadhramaut Yaman)
Dikisahkan pada suatu hari ada seorang lelaki yang bekerja di sebuah hotel yang biasa menyajikan arak dan menjual barang-barang syubhat bertemu dengan Syaikh Mutawali asy-Sya’rawi rahimahullah.
Kemudian Syaikh asy-Sya’rawi menyuruh lelaki tadi untuk berhenti bekerja di hotel tersebut. Akan tetapi lelaki ini beralasan bahwa dia terpaksa bekerja di hotel itu kerna ingin menyara ahli keluarganya dan untuk membayar hutangnya.

Syaikh asy-Sya’rawi kemudian berkata, “Wahai anakku, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَن يَتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا – الطلاق:٢
Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah maka Allah akan menunjukan kepadanya jalan keluar dari kesusahan (Qur’an Surah Ath-Thalaq:2)”. Lalu Syaikh bertanya kepada lelaki itu, “Adakah Allah menyebut taqwa dahulu atau jalan keluar dahulu?”. “Allah menyebut taqwa dahulu,” jawab si lelaki itu.
Syaikh pun berkata, “Jadi kenapa kamu mahu mencari jalan keluar dahulu sebelum taqwa? Kenapa duduk di tempat mungkar ini untuk mencari jalan keluar dahulu, kemudian baru bertaqwa? Kamu semestinya bertaqwa dahulu dan kemudian pasti Allah akan menunjukan kamu jalan keluar”. Setelah mendengarkan nasihat Syaikh asy-Sya’rawi maka lelaki ini pun setuju. Dia meninggalkan pekerjaannya dengan gajinya yang tinggi di hotel tersebut.
Tak lama kemudian, ada seseorang datang bertemu dengan lelaki ini dan menawarkannya sebuah pekerjaan sebagai pengurus di hotel yang berada di Madinah Al Munawwarah berdekatan dengan makam Nabi Muhammad Rasulullah ﷺ. Pekerjaan barunya ini ternyata lebih baik dan hutang-hutangnya pun selesai dilunaskan disebabkan dia mahu mendengarkan nasihat Syaikh asy-Sya’rawi dulu, . “Yang mana lebih dahulu, taqwa atau jalan keluar?”. Utamakan taqwa dahulu dan Allah akan memberi jalan keluar. Apakah kamu hendak mencari jalan keluar sedang kamu dalam keadaan ingkar kepada Allah? Kegilaan apa ini? “Siapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan menunjukan jalan keluar”.

MBAH HAMID PASURUAN


الى حضرة النبى المصطفى محمد صلى الله عليه وسلم والى جميع المسلمين والمسلمات وبالخصوص مباه حميد فاسوروان لهم الفاتحة
"Terkuaknya Kewalian Kyai Hamid Pasuruan"
Suatu ketika seorang Habib dari Kota Malang, ketika masih muda, yaitu Habib Baqir Mauladdawilah (sekarang beliau masih hidup), diijazahi sebuah doa oleh al-Ustadzul Imam Al-Habr al-Quthb al-Habib Abdulqadir bin Ahmad Bilfaqih, Habib Abdulqadir Bilfaqih berpesan kepada Habib Baqir untuk membaca doa tersebut ketika akan menemui seseorang agar tahu sejatinya orang tersebut siapa, orang atau bukan.
Suatu kesempatan datanglah Habib Baqir menemui seorang waliyullah di daerah Pasuruan, Jawa Timur, yang masyhur dengan nama Mbah Hamid Pasuruan.
Ketika itu di tempat Mbah Hamid banyak sekali orang yang sowan kepada beliau, meminta doa atau keperluan yang lain.
Setelah membaca doa yang di ijazahkan, Habib Baqir merasa kaget. Ternyata orang yang terlihat seperti Mbah Hamid sejatinya bukan Mbah Hamid.
Beliau mengatakan: “Ini bukan Mbah Hamid, ini adalah khodamnya. Mbah Hamid tidak ada di sini” Kemudian Habib Baqir mencari di manakah sebetulnya Mbah Hamid.
Setelah bertemu dengan Mbah Hamid yang asli, Habib Baqir bertanya kepada beliau: “Kyai, Kyai jangan begitu.”
Mbah Hamid menjawab: “Ada apa Bib?”
Habib Baqir kembali berkata: “Kasihan orang-orang yang meminta doa, itu doa bukan dari panjenengan, yang mendoakan itu khodam. Panjenengan di mana waktu itu?”
Mbah Hamid tidak menjawab, hanya diam. Namun Mbah Hamid pernah menceritakan masalah ini kepada Seorang Habib sepuh. Habib sepuh tersebut juga pernah bertanya kepada beliau,
Saat itu Habib sepuh tersebut bertanya: “Kyai Hamid, waktu banyak orang-orang meminta doa kepada njenengan, yang memberikan doa bukan njenengan, njenengan di mana. Kok tidak ada..?”
Jawab Mbah Hamid: “Hehehee.. ke sana sebentar”
Habib sepuh tersebut semakin penasaran: “Ke sana ke mana Kyai?”
Jawab Mbah Hamid: “Kalau njenengan pengen tahu, datanglah ke sini lagi.”
Singkat cerita, Habib sepuh tersebut kembali menemui Mbah Hamid, ingin tahu di mana tempat persembunyian beliau. Setelah bertemu, bertanyalah Habib sepuh tadi: “Di mana Kyai?”
Mbah Hamid tidak menjawab, hanya langsung memegang Habib sepuh tadi. Seketika itu, kagetlah Habib sepuh tadi, melihat suasana di sekitar mereka berubah menjadi bangunan Masjid yang sangat megah.
“Di mana ini Kyai?” Tanya Habib sepuh tadi.
“Monggo njenengan pirsani piyambek niki teng pundi” (Silakan habib lihat sendiri ini di mana) jawab Mbah Hamid.
Subhanalloh, ternyata Habib sepuh tadi dibawa oleh Mbah Hamid mendatangi Masjidil Haram.
Habib sepuh kembali bertanya kepada Kyai Hamid: “Kenapa njenengan memakai doa?”
Mbah Hamid kemudian menceritakan: “Saya sudah terlanjur terkenal, saya tidak ingin terkenal, tidak ingin muncul, hanya ingin asyik sendirian dengan Allah, saya sudah berusaha bersembunyi, bersembunyi di mana saja, tapi orang-orang selalu ramai datang kepadaku. Kemudian saya ikhtiar menggunakan doa ini, itu yang saya taruh di sana bukanlah khodam dari jin, melainkan Malakul Ardhi, Malaikat yang ada di bumi. Berkat doa ini, Allah Ta’ala menyerupakan malaikatNya dengan rupaku.”
Habib sepuh yang menyaksikan secara langsung peristiwa tersebut, sampai meninggalnya merahasiakan apa yang pernah dialaminya bersama Mbah Hamid, hanya sedikit yang diceritakan kepada keluarganya.
Lain waktu, ada tamu dari Kendal sowan kepada Mbah Hamid. Lantas Mbah Hamid menitipkan salam untuk si fulan bin fulan yang kesehariannya berada di Pasar Kendal, menitipkan salam untuk seorang yang dianggap gila oleh masyarakat Kendal. Fulan bin fulan kesehariannya berada di sekitar pasar dengan pakaian dan tingkah laku persis seperti orang gila, namun tidak pernah mengganggu orang-orang di sekitarnya.
Tamu tersebut bingung kenapa Mbah Hamid sampai menitip salam untuk orang yang dianggap gila oleh dirinya.
Tamu tersebut bertanya: “Bukankah orang tersebut adalah orang gila Kyai.?”
Kemudian Mbah Hamid menjawab: “Beliau adalah wali besar yang menjaga Kendal, rahmat Allah turun, bencana ditangkis, itu berkat beliau, sampaikan salamku.”
Kemudian setelah si tamu pulang ke Kendal, menunggu keadaan pasar sepi, dihampirilah “orang yang dianggap gila tersebut” yang ternyata Shohibul Wilayah Kendal.
“Assalamu’alaikum…” Sapa si tamu.
Wali tersebut memandang dengan tampang menakutkan layaknya orang gila sungguhan, kemudian keluarlah seuntai kata dari bibirnya dengan nada sangar: “Wa’alaikumussalam.. ada apa..!!!”
Dengan badan agak gemetar, si tamu memberanikan diri. Berkatalah ia: “Panjenengan dapat salam dari Kyai Hamid Pasuruan, Assalamu’alaikum…”
Tak beberapa lama, wali tersebut berkata: “Wa’alaikumussalam” dan berteriak dengan nada keras: “Kurang ajar si Hamid, aku berusaha bersembunyi dari manusia, agar tidak diketahui manusia, kok malah dibocor-bocorkan. Ya Allah, aku tidak sanggup, kini telah ada yang tahu siapa aku, aku mau pulang saja, gak sanggup aku hidup di dunia.”
Kemudian wali tersebut membaca sebuah doa, dan bibirnya mengucap: (“Laa Ilaaha Illallah Muhammadun Rasulullah…”)
Seketika itu langsung meninggallah sang Wali di hadapan orang yang diutus Mbah Hamid.
Subhanallah… begitulah para Walinya Allah, saking inginnya berasyik-asyikkan hanya dengan Allah sampai berusaha bersembunyi dari keduniawian, tak ingin ibadahnya diganggu oleh orang-orang ahli dunia, Bersembunyinya mereka memakai cara mereka masing-masing. Oleh karena itu janganlah kita su’udzon terhadap orang-orang di sekitar kita, jangan-jangan dia adalah seorang Wali yang “bersembunyi”.
Jadi ingat nasihat Maha Guru Al-Quthb Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih: “Jadikanlah dirimu mendapat tempat di hati seorang Auliya.”
Semoga nama kita tertanam di hati para kekasih Allah, sehingga kita selalu mendapat nadzrah dari guru-guru kita, dibimbing ruh kita sampai terakhir kita menghirup udara dunia ini, Aamiin...
Sumber: KH. Achmad Sa’idi bin KH. Sa’id (Pengasuh Ponpes Attauhidiyyah Tegal)